Tampilkan postingan dengan label Stars and Rabbit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Stars and Rabbit. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 November 2013

Menengadah pada Bintang-Bintang dengan Stars and Rabbit




Akhir-akhir ini ada banyak duo folk yang menarik di skena independen Indonesia, dan salah satunya adalah Stars and Rabbit. Terdiri dari Elda Suryani dan Adi Widodo, musik mereka membuat kita membayangkan seekor kelinci yang berdiri pada kedua kaki belakangnya di puncak bukit berumput hijau, menengadah pada bintang-bintang. Warna vokal yang kekanak-kanakan tapi kuat, permainan gitar yang sederhana namun mumpuni, serta curahan perasaan yang menghanyutkan pada jalinan liriknya menjadi ciri khas lagu-lagu Stars and Rabbit. Yang membuat mereka unik juga adalah bahwa mereka selalu menyuguhkan keindahan yang terpancar dari suatu bentuk kenaifan.

Mahkota bunga-bunga kuning masih bertengger di puncak kepala Elda ketika ia ditemui di ruang artis selepas pertunjukan yang meriah di “Sound of Aphrodite”, Sabtu (23/11). Keramahan dan gayanya yang lucu di atas pentas juga tidak hilang walau sudah turun panggung. Beberapa saat sebelumnya ia baru saja mempesona sekerumun penggemar, memainkan 45 menit musik yang ia nyanyikan dengan penuh perasaan. Ia menyanyi sambil mendekap erat tamborin dan memejamkan mata, sesekali memainkan maracas dan terus-terusan menari mengikuti perasaannya. Musik Stars and Rabbit, tarian tangannya yang mungil, dan lirik lagunya yang sedih, mengalun mengikuti gelombang hati seorang Elda yang mungil ini.

Dengan polos dan jujur berbagi suasana hati, mungkin itu salah satu kenikmatan yang dialami Elda dan Adi dalam bermusik. “Ketika kamu mendengarkan lagu itu dan kamu merasakan sesuatu, for me my mission accomplished.”kata Elda, sang penyanyi dan penulis lirik. Dia akan sangat puas jika lagu-lagunya yang bertemakan kehidupan cinta itu didengarkan orang dan orang tersebut jadi merasakan apa yang ia rasakan. Mungkin Elda dan Adi akan sangat bangga kalau ada yang mengaku mendengarkan “Worth It” saat jatuh cinta, memutar “You were the Universe” untuk menemani menangis saat patah hati, dan “Man up on the Hill” untuk mengenang cerita yang telah lalu. Menurut mereka, melihat sekerumunan orang ikut bernyanyi dengan sepenuh hati saat mereka manggung adalah penghargaan yang luar biasa. “I saw their happy faces dan itu priceless.” kata Elda mengomentari penonton yang baru saja mereka hibur di kampus FISIP Atma malam itu. “Itu booster yang luar biasa. Bikin kita selalu semangat lagi.”kata Adi.

Baru-baru ini mereka merilis “Live at Deus” via The Rolling Stones. Lima lagu tersebut disebarkan secara unduh gratis karena “…kami kan bukan band yang tiap bulan bisa manggung. Jadi biar temen-temen di kota lain,yang belum sempat kita datangi, juga kebagian lah.”kata Adi berbaik hati. “Live at Deus” terdiri dari lima lagu yang mereka mainkan di Deus, Bali, di sebuah gigs mendadak yang diadakan ketika mereka mendatangi pulau itu dalam sebuah tour Maret lalu. Sebenarnya rekaman lima lagu tersebut adalah dokumentasi biasa yang selalu mereka ambil ketika manggung. Kebetulan Wendy dari The Rolling Stones menyukai konsep mereka dan akhirnya merilisnya lewat platform unduh gratis di website majalah tersebut.

Setelah merilis EP live ini, mereka masih merasa punya PR untuk diri sendiri, yaitu merilis album mereka yang pertama. “Pertanyaan kapan albumnya keluar itu udah ngalahin pertanyaan kapan nikah deh,”kata Adi sambil terkekeh. “Kami ingin segera merilis album ini, tapi nggak mau terburu-buru juga. Karena ini album kami yang pertama, kami ingin semuanya sesempurna mungkin.”kata Elda. Menurut Adi, Elda lumayan rewel dalam hal pemilihan additional player, padahal mereka ingin semua elemen dalam lagu mereka nanti rekaman sungguhan, bukan sekedar sampling.

Terkadang pemilihan additional player yang cocok dengan gaya bermusik Adi dan bisa membuat Elda nyaman mengharuskan mereka berkorespondensi dengan orang-orang dari luar kota. Hal ini menambah repot pola produksi mereka yang berlangsung di Jogja dan Jakarta. Memang, walau Adi sudah menetap di Jakarta, Elda lebih memilih mondar-mandir Jogja-Jakarta daripada tinggal lama-lama di sana. “Stress!”katanya menggambarkan kehidupan ibukota yang tak tertahankan baginya.

 “Semuanya dikerjakan di Jakarta, soalnya sarana dan prasarana yang mumpuni ada di sana.” Kata Elda. Didit dari Dagobah Studio, orang di belakang layar yang paling berpengaruh dalam produksi musik Stars and Rabbit juga tinggal di ibukota. “Didit itu dulu gitarisku di Evo,”tutur Elda. Menurutnya Didit membantunya dan Adi mengeksplorasi musik Stars and Rabbit, membantu mereka menerjemahkan inspirasi-inspirasi yang terkadang absurd, dan mengawal mereka menemukan variasi-variasi yang masih dalam batasan benang merah musik mereka.

Menurut Elda, album pertama Stars and Rabbit akan seperti sebuah buku yang merekam satu fase hidup. Lagu-lagunya bercerita tentang kehidupan pribadinya, dan album itu akan merangkum kisah-kisah itu seperti buku cerita kumpulan dongeng. “Buku ini harus ditutup dulu. Fase hidup yang itu sudah selesai. Makanya album ini harus dikeluarkan karena saya harus membuat lagu-lagu baru lagi dengan mood baru, dengan lirik-lirik baru…”kata Elda. Merekam jejak langkah sendiri dengan karya memang sudah seperti kewajiban untuk mereka. Mereka sudah ingin segera membuat karya yang baru, yang bercerita tentang fase hidup yang baru, sementara rangkuman kisah hidup yang lama masih harus dipoles, diselesaikan, dan dipersembahkan pada pendengar yang menunggu.

Akan ada 10-12 lagu dalam album pertama mereka. Rencananya, mereka menyelesaikan aransemen lagu di bulan Desember ini. Setelah itu mereka akan memulai pra-produksi di awal tahun depan. “Cari player… cari studio…”tutur Elda dan Adi, menghitung-hitung apa-apa saja yang harus mereka kerjakan. “Kami jalan pelan-pelan, sambil belajar manajemen lah, soalnya kami ngerjain semuanya sendiri.”

Elda Suryani melepaskan diri dari kemapanan major label yang ia jalani bersama Evo, sebuah band all star yang posisi vokalnya ia menangkan di ajang Revolution di Indosiar lama berselang. Februari 2011 ia bertemu dengan Adi Widodo, dengan siapa ia mulai membuat musik di pertengahan tahun yang sama. Sangat berbeda dengan Evo yang megah dengan attitude rock star, duo ini hanya mengandalkan genjrengan gitar akustik yang mengiringi suatu kisah cinta yang dinyanyikan. Ketika harus diberi nama, mereka menamai unit musik ini Stars and Rabbit. “Sebenarnya itu nama akun twitterku, akun nyampah, yang ngomongin rumput, langit, hutan, hehehe…”aku Elda yang berkicau lewat akun @starsandrabbit itu.

Semua lagu Stars and Rabbit tercipta saat mereka berdua sedang iseng nongkrong berdua. Inspirasi bisa datang dari mana-mana dan kapan saja. Diinterupsi inspirasi bertubi-tubi dari waktu ke waktu pasti melelahkan. Selain kisah hidup yang harus didokumentasikan lewat lagu, mereka juga menyerap berbagai inspirasi nada dari musisi-musisi favorit mereka. Karena terlalu terbuka terhadap influens, Adi merasa bahwa lagu-lagu mereka jadi berbeda satu dengan yang lain. Ia menyebutkan Rabbit Run yang berbeda dari Old Man Finger, Man up on the Hill yang berbeda dari Worth It. Namun mereka memang tidak mau terjebak konsep genre. “Orang-orang menyebut kami folk pop. Mungkin itu yang paling menggambarkan musik kami, walau tidak tepat juga sih.”kata Elda. “Orang boleh nyebut apa aja. Kami hanya ingin main musik.”

Elda dan Adi memang jarang merepotkan diri mencari alasan mengenai keluaran musiknya yang begini atau begitu. Kenaifan dalam bermusik, perasaan yang tidak malu-malu diungkapkan dalam lirik, dan dandanan menggemaskan seperti peri hutan yang cantik menjadi ciri khas yang selalu dinantikan penontonnya. Mungkin kualitas estetis Stars and Rabbit terletak pada kepolosan dan kejujurannya, seperti seekor kelinci yang terpesona memandang bintang-bintang di atas bukit berumput.



Kamis, 19 September 2013

Jogja's Favorite Duo Folk

Kesenangan paling sederhana dalam bermusik adalah bernyanyi sambil gitaran. Di bawah ini adalah teman-teman dari Jogja yang bisa bermain mempesona hanya dengan mengemban semangat genjrengan.

1. Jono Terbakar
Nihan A. Lanisy yang memainkan gitarlele dan temannya, Nur, yang memainkan perkusi lucu. Di atas panggung mereka memperkenalkan diri sebagai Si Jono dan Si Terbakar, memainkan lagu-lagu jenaka sambil bercanda satu sama lain dengan kocak pula. Lagu-lagunya seperti "Tualang" dan "Ranu Kumbolo" sebenarnya punya lirik puitis yang sangat mengesankan, tapi lagu hitsnya "Atos" adalah lagu berlirik super lucu tentang anak yang kagol beli es teh murahan di pantai, dan akhirnya curhat di twitter.
Di bawah ini adalah "Ranu Kumbolo", lagu berlirik sangat kuat tentang danau di puncak Semeru itu. Mendengarkan lagu ini sambil membaca liriknya, saya jadi membayangkan seorang pemikir yang merenung di tepiannya setelah lelah mendaki.
Saya kangen sekali ingin nonton Jono lagi setelah terakhir nonton pertunjukan kocak mereka di Lelagu#2 Juni lalu bersama perupa Mahaputra Vito yang mencorat-coret tubuh si Jono yang sedang nyanyi.



"Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi kabut. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi air. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi angin. Seandainya...Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi dingin... 
Tidurku di danau, di atas, di awan, danau di atas awan yang terbentang sejauh mata memandang. tempatku yang kini... hidup ini tak cuma hanya sekali. Mati juga kehidupan.
Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi kamu. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi dia. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku jadi kalian. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku tetaplah aku."


2. Rabu
Balada gelap terang atmosperik, begitu Rabu mendefinisikan diri di laman soundcloudnya. Dalam kesederhanaannya, Rabu menjadi unit musik yang paling menyeramkan di antara proyek-proyek paguyuban noise Wednes yang lain misalnya Kultivasi, Slarong, dan Asangata. Saya pertama kali menonton dia manggung sebagai Rabu di acara launching albumnya M.D.A.E di JNM beberapa bulan lalu. Rabu masih terdiri dari Wednes seorang dan gitar bolong teramat butut yang susah distem. Dengan suara gitar menggaung dan vokal bariton yang seram, Wednes menyanyikan lagu-lagu kelam yang membuat kita serasa dibawa ke kastil Transylvania untuk bertemu Count Dracula.
Dalam perkembangannya, Wednes menggunakan gitar yang bagusan dan menggandeng temannya si Tempe untuk membackup gitar. Mereka tampil sangat mempesona di Lelagu #2 bulan Juni lalu, dan mendapat kehormatan membuka konser Frau tanggal 29 Agustus.



"Dalam tidur aku melihat wajah murung penuh isyarat. Dalam tidur dalam dengkur. Sekat-sekat kaca dibuka. Dalam tidur aku mendengar suara-suara makhluk tersesat. dalam tidur dalam dengkur sisa-sisa berwujud nyata."

3. Indigo Moon
Akhirnya Putro mendapatkan partner yang sepadan untuk membuat lagu bagus. Seperti Wednes, Putro sudah bekerja sama dengan banyak orang dan akhirnya punya paguyuban punk. Setelah The Frankenstone yang saya dirikan bersamanya di tahun 2007, dia punya Putro and The Money Making Machine yang menfasilitasi kegemarannya akan Social Distortion, juga Berantak! di mana dia menjadi vokalis penuh menggantikan Imok. Namun di antara band-band berisik ini, dia memutuskan membuat lagu-lagu sedih bersama Gogor Seta Dewa, teman sebangkunya di sekolah paska sarjana, dan menamai proyeknya Indigo Moon.
Dua lagu yang sudah diunggah di soundcloud mereka mengusung tema-temanya Putro yang biasa, tentang ketakutan menjadi dewasa, teman-teman yang datang dan pergi, juga hubungan yang rumit dengan orang lain. Vokal Gogor yang berada lebih di depan, membuat proyek ini terasa seperti versi akustikannya Lifehouse.




"...Somewhere in the bottom, there's an end this void. I've been floating like a paperplane while your face is haunting me.
Remember all the silence words and falling birds. All the useless plans I made, all the debts you never paid..."

4. Stars and Rabbit
Dulu waktu saya masih SMA, saya pernah tertegun di depan televisi menonton Elda menyanyikan "High and Dry" dari Radiohead dengan sangat mengesankan. Waktu itu saya belum tahu apa-apa soal band-band-an, belum tahu suara yang bagus dan skill yang mumpuni itu seperti apa, tapi saya tahu rasanya terkesan.
Setahun yang lalu, saya menonton perempuan yang saya kenali lewat kontes vokal itu di sebuah secret gig di Lir. Dia mengenakan dress hippies dan mahkota bunga-bunga, menjelma menjadi penyanyi dengan attitude yang sangat berbeda, namun bernyanyi dengan sama mempesonanya hanya diiringi temannya yang memainkan gitar akustik. Duo itu ternyata bernama Stars and Rabbit.
Saya langsung jatuh hati lagi mendengarkan "Worth It", yang nuansanya sangat awal 2000an. Selain "Worth It", ada beberapa track lagi yang pantas untuk scene seekor kelinci putih yang berlari-lari di atas bukit hijau mengejar bintang. "Man Upon the Hill" dan "You were The Universe" adalah dua favorit saya untuk didengarkan sebelum tidur.





"...It tastes like reality. You turn aside and walk away to another sound of laughter.
Left me out with nothing. With nothing but my pens and papers... The universe, you were...."

5. Answer Sheet
Saat SMA, Wafiq Giotama dan Mas Gilang Karebet mulai membuat lagu lalu memainkannya dengan format duo ukulele yang sangat unik. Beberapa tahun kemudian, duo yang bernama Answer Sheet ini menarik beberapa teman yang lain untuk memainkan bass, melodi gitar, dan perkusi sehingga mereka tidak menjadi duo ukulele lagi. Answer Sheet menjadi salah satu band terbaik di Jogja, bermain di acara-acara besar seperti Soundrenaline, konser Happy Coda Frau, dan bahkan Hello Asean di Bali.
Di bawah ini adalah genjrengan duo ukulele formasi awal untuk lagu mereka yang paling saya suka, Stay Leave.



"...Hundred hours of no direction, it will end as an elation. You may stay you may leave. They probably go and they probably win, and I choose to stay in here..."

Rabu, 27 Maret 2013

SEPULUH LAGU BAGUS YANG SAYA DENGARKAN MINGGU INI


SEPULUH LAGU BAGUS YANG SAYA DENGARKAN MINGGU INI adalah sepuluh lagu bagus yang saya dengarkan minggu ini. Mungkin bukan hits, mungkin bukan lagu baru, mungkin lagu lama yang barusan saja saya ketahui, mungkin adalah lagu lama yang dari dulu saya dengarkan, dan mungkin juga adalah lagu yang sama sekali baru. 
Daftar lagu-lagu ini disusun secara random, bukan ranking. 

Minggu ketiga bulan Maret 2013
 








“In the early morning, underneath the autumn shade. I don’t need no more reminding of the day. Now the leaves are falling and the sun won’t be around. And the words I am singing to the clouds.”
Saya selalu suka lagu sendunya The Vines, dan kalau ga salah di setiap albumnya The Vines selalu menyuguhkan lagu sendu berjudul Autumn Shade. Autumn Shade 3 atau A.S III ini adalah lagu The Vines yang paling nggerus buat saya, dan, walau ga ada hubungannya, selalu mengingatkan akan masa-masa tahun 2008 ketika saya masih maba dan terpesona melihat daun-daun pepohonan besar di realino berguguran di pagi hari.








“Kemanapun aku kan pergi ku kan slalu pulang ke hatimu. Ke manapun aku kan berjalan ke pelukmu lah ku kan singgah… Kurindu segera menghampar padang hijau yang tanpa risau.”
Mengingatkan pada saa punya Mama.








“See the dove making her nest feel the love at its best. See the squirrels up in a tree, be gentle and look for me. Papapapapapapapapapapparapapa… I love you and you love me.”
Ketika dua orang yang barusan jadian piknik di taman berumput empuk yang dikelilingi pepohonan rindang. Lalu melihat dua ekor tupai berkejar-kejaran.










“Kubisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa dibunuh di trotoar jalan. Kubisa dibuat menderita. Aku pun bisa dibuang tak bernyawa. Dikursilistrikkan ataupun ditikam. Tapi aku tak pernah mati! Tak akan berhenti!”
You can kill me but you can’t destroy me! \m/






“Are you coming baby eyes? It takes two to do the ocean… It takes two to the sky.”


6. April March – Cet Air-La



"Il restera cet air-là... À jamais au fond de moi... Car pour toujours cet air-là... Parlera de toi et moi"





“Aku bisa terbang, melayang ke awan, menghilang… datang dan pergi sendiri…”










Band ini jadi bintangnya di Japanese Whispers #2 kemaren. Selain ganteng-ganteng, musik mereka juga asik banget! Cider-cider ini enak banget didengerin di siang-siang sepanas minggu ini, sambil mengenang gembiranya bergabung di Japanese Whispers.

9. Tripping Junkie – B.E.T.A





“Pergi berpetualang ke dalam lubang hitam! Mencari jawaban di pikiranmu. Semua manusia sudah tercuci otak, tujuh keajaiban pun selesai di bangun, pasukan siap untuk menyerang, menghancurkan semua yang damai. Semua jawaban di benda terbang aneh.”
Entah kenapa mengingatkan  saya pada theme song kartun-kartun Jepang yang diputar hari minggu pagi. Terutama ninja Hatori. B.E.T.A adalah Benda Terbang Aneh, terjemahan oke dari U.F.O, Unidentified Flying Object








“I was following the pack all swallowed in their coats with scarves of red tied around their throats to keep their little heads from falling in the snow and I turned ‘round and there you go! And Michael you would fall and turn the white snow red as strawberries in the summer time.”
Cover jenius dari Fleet Foxes. Terdiri dari dua kalimat yang menggambarkan kematian seorang saudara laki-laki yang terpeleset salju dan terantuk batu.

Kamis, 07 Maret 2013

Suara Tujuh Nada di Teater Garasi, Yogyakarta: White Shoes and the Couples Company, Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari



Kemaren adalah hari yang sempurna di Jogja! Hari cerah dan sejuk, dan kebon pisang di deket rumah saya gemerisik kena angin kayak di novel-novel klasik Indonesia. Terlebih saya sudah restless dari sore karena malemnya akan dateng ke gigs super keren di Teater Garasi, rangkaian tour Suara Tujuh Nada dari G Production yang menampilkan White Shoes and the Couples Company, Dialog Dini Hari, dan Stars and Rabbit. Sejujurnya yang paling saya tungguin adalah Stars and Rabbit. Walau temen-temen saya lebih heboh karena WSATCC dan DDH, saya ga sabar pengen nonton Stars and Rabbit karena Elda itu vokalis yang bikin saya bela-belain begadang waktu muda dulu untuk nonton suatu ajang pencarian vokalis rock di Indosiar, plus single mereka 'Worth It' adalah lagu yang gak pernah absen saya putar setiap pagi untuk membangkitkan mood. I was soooo excited!
Ketika saya dan Gaby, kakak sepupu saya yang belakangan ini menjadi gokil, sampai di Teater Garasi, Bugisan, venue udah penuh sesak 250 orang yang menunggu pintu dibuka. Kami berdesak-desakan, bertemu dan berpelukan dengan beberapa teman, melihat-lihat poster dan flyer, plus membeli beberapa merch. Saya sih gak beli, ga punya duit T.T , padahal pengen beli totebag-nya Belkastrelka (50K) dan kaos Stars and Rabbit (mungkin sekitar 130K). Sekitar setengah delapan pintu venue dibuka dan kami membanjir masuk berusaha mendapatkan tempat duduk yang pewe. Saya agak beuntung bisa duduk di kursi paling depan yang tidak terlalu pinggir. Temen-temen yang ga kebagian kursi malah duduk lesehan pas di depan panggung, yang menurut saya adalah tempat sempurna untuk nonton karena yang ditonton benar-benar di depan mata.
Rizky Summerbee membuka acara sebagai MC, lalu mempersilakan Elda dan Adi untuk memulai pertunjukan. Bener-bener ga salah saya jagoin duo manis ini. Elda kueereeeeeeeeeeeeeeen bangettt, super imut dengan outfit boho, hair piece biru, dan kepang pigtails yang unyu. Suaranya yang unik dan soulful bener-bener berpadu dengan gitaran akustiknya Adi yang bener-bener menggenjreng hati semua audience. Dengan kekerenan itu agak mengherankan ketika Elda mengaku dia nerves karena berbagi gig dengan band-band bernama besar. Menurutku, you're on the way there Eldaaaa!!! Stars and Rabbit keren banget!! Dan kebahagiaan adalah menyanyikan lagu favorit kita bersama semua orang dan penyanyinya itu sendiri. Saya melebur besama seluruh ruangan menyanyikan 'Worth It' bersama-sama, and I feel eternal. Selain lagu itu, Stars and Rabbit juga menyanyikan 'You are the Universe', ',Man up on the Hill', 'Old Man Fingers', 'Like it Here', dan beberapa lagu lain.
Setelah Stars and Rabbit selesai, Rizky Summerbee muncul lagi sebagai MC, kali ini ditemani Ugoran Prasad. Mereka sempat memberi tahu beberapa acara di Teater Garasi yang akan diadakan, salah satunya Klub Menonton (atau apa ya, aku lupa deh), yang adalah nonton film bareng-bareng setiap Kamis minggu kedua di Teater Garasi. Kemudian akhirnya Dadang SH Pranoto, si green grunge gentleman, naik panggung dengan gitar akustiknya dan menyanyikan lagu yang bakalan bikin semua cewek quirky rontok hatinya. Liriknya semacam,
"Jika aku laba-laba akan kubiarkan engkau melahapku sehabis bercinta agar aku tak bisa bercinta dengan yang lain... Jika aku anjing akan kukencingi engkau supaya anjing lain tahu engkau milikku... Jika aku belalang sembah akan kubiarkan engkau memenggal kepalaku supaya aku tak bisa membuahi yang lain... namun aku hanya manusia dengan cinta dan rindu yang sederhana..."
Mai gat, gimana gak rontok hati perempuan, apalagi mas Dadang itu bentuknya super etnik dengan rambut gimbal yang diikat pakai kain tenun, dan suara merdu hampir mirip Iwan Fals. Setelah lagu pertama yang menggugah saya dan Gaby untuk menggaruk-garuk tanah itu, sang bassis (Zio) dan drummer (Denny Surya) naik panggung, dan mulailah pertunjukkan trio jazz-etnik-pop-keren dengan lirik-lirik super yang selalu bisa kita tulis pakai tinta merah dan ditempel di kamar untuk jadi kata-kata penyemangat. Mereka membawakan lagu-lagu terkenal mereka seperti 'Rehat Sekejap', 'Renovasi Otak', dan 'Oksigen'. Temen-temen penonton lain rupaya sudah sangat hafal lagu-lagu mereka ini. Salah saya saya tidak gaul, tapi tetap bisa menikmati atmosfer yang tercipta dan benar-benar menikmati pertunjukkan soulful itu.
Sesi terakhir adalah White Shoes and the Couples Company! Dengan formasi empat cowok-cowok ganteng yang terjebak masa lalu dan satu gadis sampul majalah 1960an yang naik mesin waktu ke tahun 2013, mereka benar-benar menjadi puncak acara! Sari, dengan potongan rambut bob keren, gaun hijau yang oke banget di dia, plus sepatu dansa putih, benar-benar mempertunjukkan hiburan yang diperjuangkan anak-anak muda jaman Pak Karno. Suaranya sengau dan menggelora, dipadu aksi dansa yang jadulnya otentik, dan didukung backing vokal cowok-cowok yang keren banget! Aku selalu suka band-band yang semua personelnya ikut menyanyi kayak gini, apa lagi vokalis utamanya cewek dan backing vokalnya banyak cowok. Aku suka bangetttt!!!
Sayang keyboardis mereka ga ikut manggung kali ini, tapi mereka menyajikan suatu aransemen baru dengan cello dan glockenspiel yang manis banget. Di tengah acara Sari rehat ke belakang panggung, dan para cowok pun mengambil alih acara. Mereka sempet tuker-tukeran instrumen dan memainkan beberapa lagu dengan formasi yang berbeda. Setelah Sari kembali ke panggung, mereka memainkan lagu-lagu daerah dengan aransemen mereka. Yang paling memorable mungkin 'Aksi Kucing', "untuk apa malu-malu kucing..Meong! Meong!"
Pertunjukkan berakhir, tenggorokkan saya sakit gara-gara teriak-teriak, dan tangan saya pedes karena bertepuk tangan. Saya juga sempet berfoto mentel dengan Saleh, gitaris tengil WSATCC, dan John Navid, drummer lucu dengan rambut lucu. Saya seneng banget malam itu!
Hari ini Suara Tujuh Nada manggung di Bali, gigs terakhir di rangkaian tour tiga kota itu (Bandung - Jogja - Bali).

Denty dan temannya

Rizky Summerbee sebagai MC

Saya dan Gaby dan mas-mas di sebelah saya yang kayaknya agak terganggu dengan kehebohan kami
Rizky ditemani Ugoran Prasad sebagai MC

Stars and Rabbit! Elda juga memainkan tamborin (rebana?), shaker, dan pianika

Dialog Dini Hari



White Shoes and the Couples Company



drummernya juga main glockenspiel
Saya dan Asa Belkastrelka.
dengan John Navid, foto oleh Asa
dengan Saleh Husein, foto oleh Asa

untuk foto-foto yang lebih komprehensif bisa lompat ke blog Denty Piawai Nastiti di sini dan di sini.