Kesenangan paling sederhana dalam bermusik adalah bernyanyi sambil gitaran. Di bawah ini adalah teman-teman dari Jogja yang bisa bermain mempesona hanya dengan mengemban semangat genjrengan.
1. Jono Terbakar
Nihan A. Lanisy yang memainkan gitarlele dan temannya, Nur, yang memainkan perkusi lucu. Di atas panggung mereka memperkenalkan diri sebagai Si Jono dan Si Terbakar, memainkan lagu-lagu jenaka sambil bercanda satu sama lain dengan kocak pula. Lagu-lagunya seperti "Tualang" dan "Ranu Kumbolo" sebenarnya punya lirik puitis yang sangat mengesankan, tapi lagu hitsnya "Atos" adalah lagu berlirik super lucu tentang anak yang kagol beli es teh murahan di pantai, dan akhirnya curhat di twitter.
Di bawah ini adalah "Ranu Kumbolo", lagu berlirik sangat kuat tentang danau di puncak Semeru itu. Mendengarkan lagu ini sambil membaca liriknya, saya jadi membayangkan seorang pemikir yang merenung di tepiannya setelah lelah mendaki.
Saya kangen sekali ingin nonton Jono lagi setelah terakhir nonton pertunjukan kocak mereka di Lelagu#2 Juni lalu bersama perupa Mahaputra Vito yang mencorat-coret tubuh si Jono yang sedang nyanyi.
"Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi kabut. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi air. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi angin. Seandainya...Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi dingin...
Tidurku di danau, di atas, di awan, danau di atas awan yang terbentang sejauh mata memandang. tempatku yang kini... hidup ini tak cuma hanya sekali. Mati juga kehidupan.
Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi kamu. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku menjadi dia. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku jadi kalian. Seandainya... Andai saja aku bisa menjadikan diriku tetaplah aku."
2. Rabu
Balada gelap terang atmosperik, begitu Rabu mendefinisikan diri di laman soundcloudnya. Dalam kesederhanaannya, Rabu menjadi unit musik yang paling menyeramkan di antara proyek-proyek paguyuban noise Wednes yang lain misalnya Kultivasi, Slarong, dan Asangata. Saya pertama kali menonton dia manggung sebagai Rabu di acara launching albumnya M.D.A.E di JNM beberapa bulan lalu. Rabu masih terdiri dari Wednes seorang dan gitar bolong teramat butut yang susah distem. Dengan suara gitar menggaung dan vokal bariton yang seram, Wednes menyanyikan lagu-lagu kelam yang membuat kita serasa dibawa ke kastil Transylvania untuk bertemu Count Dracula.
Dalam perkembangannya, Wednes menggunakan gitar yang bagusan dan menggandeng temannya si Tempe untuk membackup gitar. Mereka tampil sangat mempesona di Lelagu #2 bulan Juni lalu, dan mendapat kehormatan membuka konser Frau tanggal 29 Agustus.
"Dalam tidur aku melihat wajah murung penuh isyarat. Dalam tidur dalam dengkur. Sekat-sekat kaca dibuka. Dalam tidur aku mendengar suara-suara makhluk tersesat. dalam tidur dalam dengkur sisa-sisa berwujud nyata."
3. Indigo Moon
Akhirnya Putro mendapatkan partner yang sepadan untuk membuat lagu bagus. Seperti Wednes, Putro sudah bekerja sama dengan banyak orang dan akhirnya punya paguyuban punk. Setelah The Frankenstone yang saya dirikan bersamanya di tahun 2007, dia punya Putro and The Money Making Machine yang menfasilitasi kegemarannya akan Social Distortion, juga Berantak! di mana dia menjadi vokalis penuh menggantikan Imok. Namun di antara band-band berisik ini, dia memutuskan membuat lagu-lagu sedih bersama Gogor Seta Dewa, teman sebangkunya di sekolah paska sarjana, dan menamai proyeknya Indigo Moon.
Dua lagu yang sudah diunggah di soundcloud mereka mengusung tema-temanya Putro yang biasa, tentang ketakutan menjadi dewasa, teman-teman yang datang dan pergi, juga hubungan yang rumit dengan orang lain. Vokal Gogor yang berada lebih di depan, membuat proyek ini terasa seperti versi akustikannya Lifehouse.
"...Somewhere in the bottom, there's an end this void. I've been floating like a paperplane while your face is haunting me.
Remember all the silence words and falling birds. All the useless plans I made, all the debts you never paid..."
4. Stars and Rabbit
Dulu waktu saya masih SMA, saya pernah tertegun di depan televisi menonton Elda menyanyikan "High and Dry" dari Radiohead dengan sangat mengesankan. Waktu itu saya belum tahu apa-apa soal band-band-an, belum tahu suara yang bagus dan skill yang mumpuni itu seperti apa, tapi saya tahu rasanya terkesan.
Setahun yang lalu, saya menonton perempuan yang saya kenali lewat kontes vokal itu di sebuah secret gig di Lir. Dia mengenakan dress hippies dan mahkota bunga-bunga, menjelma menjadi penyanyi dengan attitude yang sangat berbeda, namun bernyanyi dengan sama mempesonanya hanya diiringi temannya yang memainkan gitar akustik. Duo itu ternyata bernama Stars and Rabbit.
Saya langsung jatuh hati lagi mendengarkan "Worth It", yang nuansanya sangat awal 2000an. Selain "Worth It", ada beberapa track lagi yang pantas untuk scene seekor kelinci putih yang berlari-lari di atas bukit hijau mengejar bintang. "Man Upon the Hill" dan "You were The Universe" adalah dua favorit saya untuk didengarkan sebelum tidur.
"...It tastes like reality. You turn aside and walk away to another sound of laughter.
Left me out with nothing. With nothing but my pens and papers... The universe, you were...."
5. Answer Sheet
Saat SMA, Wafiq Giotama dan Mas Gilang Karebet mulai membuat lagu lalu memainkannya dengan format duo ukulele yang sangat unik. Beberapa tahun kemudian, duo yang bernama Answer Sheet ini menarik beberapa teman yang lain untuk memainkan bass, melodi gitar, dan perkusi sehingga mereka tidak menjadi duo ukulele lagi. Answer Sheet menjadi salah satu band terbaik di Jogja, bermain di acara-acara besar seperti Soundrenaline, konser Happy Coda Frau, dan bahkan Hello Asean di Bali.
Di bawah ini adalah genjrengan duo ukulele formasi awal untuk lagu mereka yang paling saya suka, Stay Leave.
"...Hundred hours of no direction, it will end as an elation. You may stay you may leave. They probably go and they probably win, and I choose to stay in here..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar