Kamis, 28 November 2013

Menengadah pada Bintang-Bintang dengan Stars and Rabbit




Akhir-akhir ini ada banyak duo folk yang menarik di skena independen Indonesia, dan salah satunya adalah Stars and Rabbit. Terdiri dari Elda Suryani dan Adi Widodo, musik mereka membuat kita membayangkan seekor kelinci yang berdiri pada kedua kaki belakangnya di puncak bukit berumput hijau, menengadah pada bintang-bintang. Warna vokal yang kekanak-kanakan tapi kuat, permainan gitar yang sederhana namun mumpuni, serta curahan perasaan yang menghanyutkan pada jalinan liriknya menjadi ciri khas lagu-lagu Stars and Rabbit. Yang membuat mereka unik juga adalah bahwa mereka selalu menyuguhkan keindahan yang terpancar dari suatu bentuk kenaifan.

Mahkota bunga-bunga kuning masih bertengger di puncak kepala Elda ketika ia ditemui di ruang artis selepas pertunjukan yang meriah di “Sound of Aphrodite”, Sabtu (23/11). Keramahan dan gayanya yang lucu di atas pentas juga tidak hilang walau sudah turun panggung. Beberapa saat sebelumnya ia baru saja mempesona sekerumun penggemar, memainkan 45 menit musik yang ia nyanyikan dengan penuh perasaan. Ia menyanyi sambil mendekap erat tamborin dan memejamkan mata, sesekali memainkan maracas dan terus-terusan menari mengikuti perasaannya. Musik Stars and Rabbit, tarian tangannya yang mungil, dan lirik lagunya yang sedih, mengalun mengikuti gelombang hati seorang Elda yang mungil ini.

Dengan polos dan jujur berbagi suasana hati, mungkin itu salah satu kenikmatan yang dialami Elda dan Adi dalam bermusik. “Ketika kamu mendengarkan lagu itu dan kamu merasakan sesuatu, for me my mission accomplished.”kata Elda, sang penyanyi dan penulis lirik. Dia akan sangat puas jika lagu-lagunya yang bertemakan kehidupan cinta itu didengarkan orang dan orang tersebut jadi merasakan apa yang ia rasakan. Mungkin Elda dan Adi akan sangat bangga kalau ada yang mengaku mendengarkan “Worth It” saat jatuh cinta, memutar “You were the Universe” untuk menemani menangis saat patah hati, dan “Man up on the Hill” untuk mengenang cerita yang telah lalu. Menurut mereka, melihat sekerumunan orang ikut bernyanyi dengan sepenuh hati saat mereka manggung adalah penghargaan yang luar biasa. “I saw their happy faces dan itu priceless.” kata Elda mengomentari penonton yang baru saja mereka hibur di kampus FISIP Atma malam itu. “Itu booster yang luar biasa. Bikin kita selalu semangat lagi.”kata Adi.

Baru-baru ini mereka merilis “Live at Deus” via The Rolling Stones. Lima lagu tersebut disebarkan secara unduh gratis karena “…kami kan bukan band yang tiap bulan bisa manggung. Jadi biar temen-temen di kota lain,yang belum sempat kita datangi, juga kebagian lah.”kata Adi berbaik hati. “Live at Deus” terdiri dari lima lagu yang mereka mainkan di Deus, Bali, di sebuah gigs mendadak yang diadakan ketika mereka mendatangi pulau itu dalam sebuah tour Maret lalu. Sebenarnya rekaman lima lagu tersebut adalah dokumentasi biasa yang selalu mereka ambil ketika manggung. Kebetulan Wendy dari The Rolling Stones menyukai konsep mereka dan akhirnya merilisnya lewat platform unduh gratis di website majalah tersebut.

Setelah merilis EP live ini, mereka masih merasa punya PR untuk diri sendiri, yaitu merilis album mereka yang pertama. “Pertanyaan kapan albumnya keluar itu udah ngalahin pertanyaan kapan nikah deh,”kata Adi sambil terkekeh. “Kami ingin segera merilis album ini, tapi nggak mau terburu-buru juga. Karena ini album kami yang pertama, kami ingin semuanya sesempurna mungkin.”kata Elda. Menurut Adi, Elda lumayan rewel dalam hal pemilihan additional player, padahal mereka ingin semua elemen dalam lagu mereka nanti rekaman sungguhan, bukan sekedar sampling.

Terkadang pemilihan additional player yang cocok dengan gaya bermusik Adi dan bisa membuat Elda nyaman mengharuskan mereka berkorespondensi dengan orang-orang dari luar kota. Hal ini menambah repot pola produksi mereka yang berlangsung di Jogja dan Jakarta. Memang, walau Adi sudah menetap di Jakarta, Elda lebih memilih mondar-mandir Jogja-Jakarta daripada tinggal lama-lama di sana. “Stress!”katanya menggambarkan kehidupan ibukota yang tak tertahankan baginya.

 “Semuanya dikerjakan di Jakarta, soalnya sarana dan prasarana yang mumpuni ada di sana.” Kata Elda. Didit dari Dagobah Studio, orang di belakang layar yang paling berpengaruh dalam produksi musik Stars and Rabbit juga tinggal di ibukota. “Didit itu dulu gitarisku di Evo,”tutur Elda. Menurutnya Didit membantunya dan Adi mengeksplorasi musik Stars and Rabbit, membantu mereka menerjemahkan inspirasi-inspirasi yang terkadang absurd, dan mengawal mereka menemukan variasi-variasi yang masih dalam batasan benang merah musik mereka.

Menurut Elda, album pertama Stars and Rabbit akan seperti sebuah buku yang merekam satu fase hidup. Lagu-lagunya bercerita tentang kehidupan pribadinya, dan album itu akan merangkum kisah-kisah itu seperti buku cerita kumpulan dongeng. “Buku ini harus ditutup dulu. Fase hidup yang itu sudah selesai. Makanya album ini harus dikeluarkan karena saya harus membuat lagu-lagu baru lagi dengan mood baru, dengan lirik-lirik baru…”kata Elda. Merekam jejak langkah sendiri dengan karya memang sudah seperti kewajiban untuk mereka. Mereka sudah ingin segera membuat karya yang baru, yang bercerita tentang fase hidup yang baru, sementara rangkuman kisah hidup yang lama masih harus dipoles, diselesaikan, dan dipersembahkan pada pendengar yang menunggu.

Akan ada 10-12 lagu dalam album pertama mereka. Rencananya, mereka menyelesaikan aransemen lagu di bulan Desember ini. Setelah itu mereka akan memulai pra-produksi di awal tahun depan. “Cari player… cari studio…”tutur Elda dan Adi, menghitung-hitung apa-apa saja yang harus mereka kerjakan. “Kami jalan pelan-pelan, sambil belajar manajemen lah, soalnya kami ngerjain semuanya sendiri.”

Elda Suryani melepaskan diri dari kemapanan major label yang ia jalani bersama Evo, sebuah band all star yang posisi vokalnya ia menangkan di ajang Revolution di Indosiar lama berselang. Februari 2011 ia bertemu dengan Adi Widodo, dengan siapa ia mulai membuat musik di pertengahan tahun yang sama. Sangat berbeda dengan Evo yang megah dengan attitude rock star, duo ini hanya mengandalkan genjrengan gitar akustik yang mengiringi suatu kisah cinta yang dinyanyikan. Ketika harus diberi nama, mereka menamai unit musik ini Stars and Rabbit. “Sebenarnya itu nama akun twitterku, akun nyampah, yang ngomongin rumput, langit, hutan, hehehe…”aku Elda yang berkicau lewat akun @starsandrabbit itu.

Semua lagu Stars and Rabbit tercipta saat mereka berdua sedang iseng nongkrong berdua. Inspirasi bisa datang dari mana-mana dan kapan saja. Diinterupsi inspirasi bertubi-tubi dari waktu ke waktu pasti melelahkan. Selain kisah hidup yang harus didokumentasikan lewat lagu, mereka juga menyerap berbagai inspirasi nada dari musisi-musisi favorit mereka. Karena terlalu terbuka terhadap influens, Adi merasa bahwa lagu-lagu mereka jadi berbeda satu dengan yang lain. Ia menyebutkan Rabbit Run yang berbeda dari Old Man Finger, Man up on the Hill yang berbeda dari Worth It. Namun mereka memang tidak mau terjebak konsep genre. “Orang-orang menyebut kami folk pop. Mungkin itu yang paling menggambarkan musik kami, walau tidak tepat juga sih.”kata Elda. “Orang boleh nyebut apa aja. Kami hanya ingin main musik.”

Elda dan Adi memang jarang merepotkan diri mencari alasan mengenai keluaran musiknya yang begini atau begitu. Kenaifan dalam bermusik, perasaan yang tidak malu-malu diungkapkan dalam lirik, dan dandanan menggemaskan seperti peri hutan yang cantik menjadi ciri khas yang selalu dinantikan penontonnya. Mungkin kualitas estetis Stars and Rabbit terletak pada kepolosan dan kejujurannya, seperti seekor kelinci yang terpesona memandang bintang-bintang di atas bukit berumput.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar