Akhir-akhir ini ada banyak duo folk yang menarik di skena independen
Indonesia, dan salah satunya adalah Stars and Rabbit. Terdiri dari Elda Suryani
dan Adi Widodo, musik mereka membuat kita membayangkan seekor kelinci yang berdiri
pada kedua kaki belakangnya di puncak bukit berumput hijau, menengadah pada
bintang-bintang. Warna vokal yang kekanak-kanakan tapi kuat, permainan gitar
yang sederhana namun mumpuni, serta curahan perasaan yang menghanyutkan pada
jalinan liriknya menjadi ciri khas lagu-lagu Stars and Rabbit. Yang membuat
mereka unik juga adalah bahwa mereka selalu menyuguhkan keindahan yang
terpancar dari suatu bentuk kenaifan.
Mahkota bunga-bunga kuning masih bertengger di puncak kepala
Elda ketika ia ditemui di ruang artis selepas pertunjukan yang meriah di “Sound
of Aphrodite”, Sabtu (23/11). Keramahan dan gayanya yang lucu di atas pentas
juga tidak hilang walau sudah turun panggung. Beberapa saat sebelumnya ia baru
saja mempesona sekerumun penggemar, memainkan 45 menit musik yang ia nyanyikan
dengan penuh perasaan. Ia menyanyi sambil mendekap erat tamborin dan memejamkan
mata, sesekali memainkan maracas dan terus-terusan menari mengikuti
perasaannya. Musik Stars and Rabbit, tarian tangannya yang mungil, dan lirik
lagunya yang sedih, mengalun mengikuti gelombang hati seorang Elda yang mungil
ini.
Dengan polos dan jujur berbagi suasana hati, mungkin itu
salah satu kenikmatan yang dialami Elda dan Adi dalam bermusik. “Ketika kamu mendengarkan
lagu itu dan kamu merasakan sesuatu, for
me my mission accomplished.”kata Elda, sang penyanyi dan penulis lirik. Dia
akan sangat puas jika lagu-lagunya yang bertemakan kehidupan cinta itu
didengarkan orang dan orang tersebut jadi merasakan apa yang ia rasakan. Mungkin
Elda dan Adi akan sangat bangga kalau ada yang mengaku mendengarkan “Worth It”
saat jatuh cinta, memutar “You were the Universe” untuk menemani menangis saat
patah hati, dan “Man up on the Hill” untuk mengenang cerita yang telah lalu. Menurut
mereka, melihat sekerumunan orang ikut bernyanyi dengan sepenuh hati saat
mereka manggung adalah penghargaan yang luar biasa. “I saw their happy faces dan itu priceless.”
kata Elda mengomentari penonton yang baru saja mereka hibur di kampus FISIP
Atma malam itu. “Itu booster yang
luar biasa. Bikin kita selalu semangat lagi.”kata Adi.
Baru-baru ini mereka merilis “Live at Deus” via The Rolling
Stones. Lima lagu tersebut disebarkan secara unduh gratis karena “…kami kan
bukan band yang tiap bulan bisa manggung. Jadi biar temen-temen di kota lain,yang
belum sempat kita datangi, juga kebagian lah.”kata Adi berbaik hati. “Live at
Deus” terdiri dari lima lagu yang mereka mainkan di Deus, Bali, di sebuah gigs
mendadak yang diadakan ketika mereka mendatangi pulau itu dalam sebuah tour Maret
lalu. Sebenarnya rekaman lima lagu tersebut adalah dokumentasi biasa yang
selalu mereka ambil ketika manggung. Kebetulan Wendy dari The Rolling Stones menyukai
konsep mereka dan akhirnya merilisnya lewat platform unduh gratis di website
majalah tersebut.
Setelah merilis EP live ini, mereka masih merasa punya PR
untuk diri sendiri, yaitu merilis album mereka yang pertama. “Pertanyaan kapan
albumnya keluar itu udah ngalahin pertanyaan kapan nikah deh,”kata Adi sambil
terkekeh. “Kami ingin segera merilis album ini, tapi nggak mau terburu-buru
juga. Karena ini album kami yang pertama, kami ingin semuanya sesempurna
mungkin.”kata Elda. Menurut Adi, Elda lumayan rewel dalam hal pemilihan additional player, padahal mereka ingin
semua elemen dalam lagu mereka nanti rekaman sungguhan, bukan sekedar sampling.
Terkadang pemilihan additional
player yang cocok dengan gaya bermusik Adi dan bisa membuat Elda nyaman
mengharuskan mereka berkorespondensi dengan orang-orang dari luar kota. Hal ini
menambah repot pola produksi mereka yang berlangsung di Jogja dan Jakarta. Memang,
walau Adi sudah menetap di Jakarta, Elda lebih memilih mondar-mandir
Jogja-Jakarta daripada tinggal lama-lama di sana. “Stress!”katanya
menggambarkan kehidupan ibukota yang tak tertahankan baginya.
“Semuanya dikerjakan
di Jakarta, soalnya sarana dan prasarana yang mumpuni ada di sana.” Kata Elda. Didit
dari Dagobah Studio, orang di belakang layar yang paling berpengaruh dalam
produksi musik Stars and Rabbit juga tinggal di ibukota. “Didit itu dulu
gitarisku di Evo,”tutur Elda. Menurutnya Didit membantunya dan Adi
mengeksplorasi musik Stars and Rabbit, membantu mereka menerjemahkan inspirasi-inspirasi
yang terkadang absurd, dan mengawal mereka menemukan variasi-variasi yang masih
dalam batasan benang merah musik mereka.
Menurut Elda, album pertama Stars and Rabbit akan seperti
sebuah buku yang merekam satu fase hidup. Lagu-lagunya bercerita tentang
kehidupan pribadinya, dan album itu akan merangkum kisah-kisah itu seperti buku
cerita kumpulan dongeng. “Buku ini harus ditutup dulu. Fase hidup yang itu
sudah selesai. Makanya album ini harus dikeluarkan karena saya harus membuat
lagu-lagu baru lagi dengan mood baru, dengan lirik-lirik baru…”kata Elda.
Merekam jejak langkah sendiri dengan karya memang sudah seperti kewajiban untuk
mereka. Mereka sudah ingin segera membuat karya yang baru, yang bercerita
tentang fase hidup yang baru, sementara rangkuman kisah hidup yang lama masih
harus dipoles, diselesaikan, dan dipersembahkan pada pendengar yang menunggu.
Akan ada 10-12 lagu dalam album pertama mereka. Rencananya,
mereka menyelesaikan aransemen lagu di bulan Desember ini. Setelah itu mereka
akan memulai pra-produksi di awal tahun depan. “Cari player… cari studio…”tutur
Elda dan Adi, menghitung-hitung apa-apa saja yang harus mereka kerjakan. “Kami
jalan pelan-pelan, sambil belajar manajemen lah, soalnya kami ngerjain semuanya
sendiri.”
Elda Suryani melepaskan diri dari kemapanan major label yang
ia jalani bersama Evo, sebuah band all
star yang posisi vokalnya ia menangkan di ajang Revolution di Indosiar lama
berselang. Februari 2011 ia bertemu dengan Adi Widodo, dengan siapa ia mulai
membuat musik di pertengahan tahun yang sama. Sangat berbeda dengan Evo yang
megah dengan attitude rock star, duo ini hanya mengandalkan genjrengan gitar
akustik yang mengiringi suatu kisah cinta yang dinyanyikan. Ketika harus diberi
nama, mereka menamai unit musik ini Stars and Rabbit. “Sebenarnya itu nama akun
twitterku, akun nyampah, yang ngomongin rumput, langit, hutan, hehehe…”aku Elda
yang berkicau lewat akun @starsandrabbit itu.
Semua lagu Stars and Rabbit tercipta saat mereka berdua
sedang iseng nongkrong berdua. Inspirasi bisa datang dari mana-mana dan kapan
saja. Diinterupsi inspirasi bertubi-tubi dari waktu ke waktu pasti melelahkan. Selain
kisah hidup yang harus didokumentasikan lewat lagu, mereka juga menyerap
berbagai inspirasi nada dari musisi-musisi favorit mereka. Karena terlalu
terbuka terhadap influens, Adi merasa bahwa lagu-lagu mereka jadi berbeda satu
dengan yang lain. Ia menyebutkan Rabbit Run yang berbeda dari Old Man Finger,
Man up on the Hill yang berbeda dari Worth It. Namun mereka memang tidak mau
terjebak konsep genre. “Orang-orang menyebut kami folk pop. Mungkin itu yang
paling menggambarkan musik kami, walau tidak tepat juga sih.”kata Elda. “Orang
boleh nyebut apa aja. Kami hanya ingin main musik.”
Elda dan Adi memang jarang merepotkan diri mencari alasan mengenai
keluaran musiknya yang begini atau begitu. Kenaifan dalam bermusik, perasaan
yang tidak malu-malu diungkapkan dalam lirik, dan dandanan menggemaskan seperti
peri hutan yang cantik menjadi ciri khas yang selalu dinantikan penontonnya. Mungkin
kualitas estetis Stars and Rabbit terletak pada kepolosan dan kejujurannya,
seperti seekor kelinci yang terpesona memandang bintang-bintang di atas bukit
berumput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar