Di Jogja, ada banyak sekali kedai kopi yang tersebar di
berbagai titik dekat kampus. Kedai-kedai kopi ini biasanya nyaman untuk
mahasiswa, dalam artian harga menunya terjangkau, tempatnya enak untuk duduk
lama-lama, buka sampai larut malam, dan punya fasilitas wifi. Kegiatan “ngopi”
pun jadi berpindah arti jadi nongkrong ngobrol dengan teman-teman, ngerjain
tugas, atau hanya duduk ngeliatin jalan sambil nyeruput minuman yang bahkan
belum tentu kopi.
Nongkrong “ngopi” pun jadi pilihan quality time kami ketika teman dari Jakarta, Sarra, berkunjung ke
Jogja. Sore itu kami janjian untuk ngopi di tempat yang sedang sering disebut
dan bikin penasaran, Klinik Kopi. Saya duluan sampai ke tempat itu karena
kebetulan dekat dengan kampus saya di Jalan Gejayan. “Dari Togamas ke selatan 5
meter, gang pertama, masuk 50 meter, kiri jalan pas tikungan.”kata teman saya,
Aan, waktu memberi arahan via chat.
Mengikuti arahan dari Aan, saya sampai ke sebuah pintu
gerbang besar yang menjadi pintu ke sebuah kebun jati yang lumayan luas. Di
sebelah gerbang besar itu ada papan nama kecil “Klinik Kopi”. Benar-benar bikin
bingung. Saya masuk ke gerbang, membelah jalan setapak di hutan jati itu menuju
sebuah bangunan aula bertingkat dua dari kayu dan kaca. Sepi sekali. Hanya ada
suara binatang-binatang entah apa yang sembunyi di balik pohon-pohon jati dan
daun-daun kering yang terinjak kaki. Rasanya tidak seperti di daerah Gejayan
yang hiruk pikuk.
Aula bagian bawah sepi, tapi sepertinya di tingkat atas ada
orang. Maka saya menaiki tangga kayu ke lantai dua. Saat menaiki tangga itu,
aroma kopi sekilas menyergap hidung. Di lantai dua ada aula yang luas juga, dan
untungnya, ada tiga orang di sebuah meja yang dipenuhi stoples berbagai bentuk
yang berisi biji-biji kopi. Dua orang duduk di kursi lipat di depan meja,
sedangkan seorang lagi di belakang meja, sibuk dengan sebuah stoples.
“Halo! Halo!”seru orang di belakang meja dengan sangat
ramah. Namun demikian saya jadi pekewuh. Seperti terlambat masuk ke sebuah
kelas yang ketat, terutama karena dua orang di depan meja duduk dengan sikap
mahasiswa dan orang di belakang meja seperti sedang menjelaskan sesuatu pada
mereka. Setelah melepas sepatu dan dipersilakan masuk, saya mengisi sebuah buku
tamu dan duduk di kursi di depan meja penuh stoples kopi itu.
Ternyata orang di belakang meja itu si ahli kopi bernama
Pepeng. Dua orang yang lain adalah temannya, Gigih dan Siti. Kami berkenalan,
lalu saya ditanyai tentang kebiasaan ngopi saya. “Sekali sehari. Kopi kapal
api. Campur susu dan gula. Malam hari.” Begitu kira-kira ringkasnya. Mas Pepeng
terlihat sedikit khawatir. Dia pun mulai sedikit menjelaskan pada saya tentang
berbagai jenis kopi, perbedaan proses roasting
kopi, dan perbedaan warna biji kopi. “Masih nunggu temannya kan? Saya
beres-beres dulu ya.”katanya santai. Ketika dia berlalu, Gigih pun menjelaskan
pada saya. “Ini bukan cafĂ©. Dan Mas Pepeng itu bukan barista.”
Maka, ketika Sarra, Arkham, Aan, dan Eka datang, kami duduk
mengelilingi meja kopi itu dan dijelaskan macam-macam sama Mas Pepeng. Dia
memperlihatkan video proses roasting kopi,
menjelaskan berbagai karakter kopi koleksinya, dan memberi tahu berbagai
“pantangan” dalam ngopi. Contohnya, dia menjelaskan bahwa kopi tidak boleh
ditiup. “Ditunggu dingin. Kalau ditiup nanti jadi asam karena tercampur dengan
CO2 dari mulut kita.” Selain itu kopi harus diminum dalam 15 menit setelah
diseduh karena tingkat keasaman dan kepahitannya bisa meningkat kalau sudah
dingin. Lalu yang bikin saya sedih, dia tidak menyediakan gula untuk diminum
bersama kopi. Pemula yang nggak tahu apa-apa seperti saya tidak diperbolehkan minum
kopi dengan campuran apa pun walau dia bisa saja membuat cappuccino. “Kamu
masih kenalan sama kopi. Nanti kamu nggak tau karakter tiap-tiap kopi karena
ketutup susu dan gula.”katanya. Mas Pepeng juga sangat protektif dengan
biji-biji kopinya. Dia sangat hati-hati dalam membuka tutup stoplesnya dan kami
tidak boleh mencuri cium aroma biji-biji kopi itu. Baru kali ini saya
berkenalan dengan yang namanya the
pleasure of sniffing. Melihat perlakuan hati-hati atas aroma yang berharga
itu, saya melihat di sini kita diharapkan menghargai kopi lebih dengan hidung,
bukan dengan lidah. “Kopi itu bukan penghilang haus!”katanya.
Setelah penjelasannya yang menarik, kami dibikinkan kopi
sesuai pilihan kami. Saya pilih Takengon yang katanya paling manis di antara
yang lain. Aan memilih Gayo yang asam. Eka memilih Wamena yang katanya paling
cocok untuk pemula. Sarra memilih Ciwidey yang istimewa. Arkham memilih Kalosi
medium (Kalosi atau Kolasi, aku lupak, mwihihi…) yang aromanya merupakan
campuran berbagai karakter dan merupakan favorit mas Pepeng. Semua kopi
dihargai flat Rp 10.000,- per
cangkir, kecuali Ciwidey yang diperas dengan alat khusus dan dihargai Rp
15.000,- per cangkir. “Saya peringatkan ya, setelah dari sini biasanya
temen-temen pada nggak bisa minum kopi sachet lagi.”katanya. Memang, setelah
membikinkan kami secangkir dari biji-biji kopinya yang istimewa dan berharga,
ia mengambil sebuah cangkir dan dengan dramatis mengeluarkan sebungkus kopi
kapal api, menyeduhnya dan mengaduknya. “Jangan diminum. Dibandingkan saja
aromanya.”katanya pada kami. Kami saling membandingkan aroma kopi kami yang
masih panas dan tidak boleh ditiup itu dengan secangkir kopi kapal api yang
sekedar diseduh dan diaduk-aduk itu. Arkham dan Aan bisa membedakan aromanya,
tapi terus terang saja, saya clueless. Hehehee…
Setelah itu kami dipersilakan mencomot pisang goreng seribuan lalu undur ke
sudut manapun yang enak karena rombongan lain sudah menunggu.
Ternyata memang sudah ada serombongan anak muda lain yang
mengantri untuk diberi petuah ngopi oleh Mas Pepeng. Semua pengunjung diajak
ngobrol akrab sambil diedukasi tentang kopi sebelum memilih secangkir
pilihannya. Mas Pepeng dengan bersemangat memberi penjelasan dan mengarahkan
orang-orang awam seperti kami kepada jalan ngopi “yang benar”, seperti pendeta
memberi khotbah pada rasul-rasulnya. Satu-satu rombongan mendengarkan
diskusinya tentang kopi, lalu duduk di lantai aula yang luas dengan pemandangan
hutan jati sambil menyeruput cangkir masing-masing.
Arkham dan Aan sangat menikmati kopi mereka sementara saya,
Sarra dan Eka berupaya keras mencecap karakter kopi dibalik rasa asam dan
pahitnya. Tiba-tiba Mas Pepeng datang dan tertawa lalu menawarkan secangkir
susu untuk membantu kami. “Tapi jangan dicampur!”katanya mewanti-wanti. Akhirnya
dengan segelas susu untuk berlima dan tiga gelas air putih (dan dua cowok yang
ngabisin kopinya, hehehe…) lima cangkir kopi kami ludes. Jujur saya tidak menikmati
Takengon pilihan saya, tapi saya masih suka dengan Wamena-nya Eka dan
Kalosi-nya Arkham.
Walau demikian, sangat menyenangkan mendapatkan pengalaman
baru dalam “ngopi”. Klinik Kopi menepis semua bayangan kami tentang sebuah
ruangan dengan sofa-sofa empuk, wifi yang kuat, jendela besar menghadap ke
jalan, playlist paling hip, dan
secangkir latte. Sebagai gantinya
kami duduk di lantai aula yang luas, dikelilingi pohon-pohon jati yang menyembunyikan
berbagai unggas aneh, di sebelah TV tua yang hanya boleh menyala untuk nonton
bola, sambil menantang diri sendiri untuk menggeluti rasa yang berkelindan di
secangkir minuman hitam pahit-asam. Tapi tetap saja, esensi “ngopi” yang kami
cari dan kami rayakan setiap kami berkumpul bisa kami dapatkan. Kami duduk gelesotan
berjam-jam dan ngobrol ngalor-ngidul dengan seru, menciptakan quality time yang berharga karena kami
bersama. Tempat ini luar biasa nyaman, dengan atmosfer reflektif yang tidak
dibuat-buat. Tidak ada waiter atau barista yang keramahannya diatur kode
etik perusahaan. Yang ada adalah seseorang yang benar-benar ingin berbagi pada
sebanyak mungkin orang, berbagi kebahagiaannya dalam menikmati kopi, yang
menurut saya adalah suatu bentuk keramahan dan kemurah-hatian yang paling
besar.
Mas Pepeng masih asyik membikinkan kopi untuk serombongan
anak muda saat kami berpamitan. “Haha, kamu tersiksa ya? Kelihatan dari
mukamu.”kata Mas Pepeng sambil menepuk bahu saya. Saya ketawa karena merasa
cemen, tapi saya bilang akan kembali lagi bersama kakak saya yang juga
penasaran. “Oke, Wamena ya.”kata Mas Pepeng. Kami menaruh uang dan mengambil
kembalian sendiri dari sebuah kaleng di atas meja. Kami berterimakasih dan
berpamitan seperti ketika baru saja berkunjung ke rumah teman. Mas Pepeng melambaikan
tangannya dengan ramah dan gembira, lalu menyambut rombongan lain yang siap
diajak kenalan dengan seni minum kopi.
foto credit: Arkham Kurniadi
Klinik Kopi merupakan bagian dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Sanata Dharma.
Klinik Kopi merupakan bagian dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Sanata Dharma.
Mas Pepeng menggeluti kopi selama tiga tahun belakangan dan sering berkeliling Indonesia untuk mempelajari koleksi kopi Nusantara.
jadi pengen... :3
BalasHapusdeket dari rumah (2 km an). pengen banget ke sini. tapi apa daya belom sempet
BalasHapus