Kamis, 19 Desember 2013

Dina Danish dan Keseleo Lidah: Kekonyolan yang Dipikirkan




Pada suatu sore di ruang kerjanya di LAF, Dina Danish, seniman Mesir yang sedang residensi dalam rangka Biennale Jogja XII, duduk dan berbicara dengan tiga orang dalam tiga bahasa yang berbeda: ia mengobrol dengan saya, asistennya, dalam bahasa Inggris; membalas sapaan Magdi Mostafa, seniman Mesir yang berbagi ruang residensi dengannya, dalam bahasa Arab; dan mendiskusikan sesuatu dengan tunangannya Jean-Baptiste Maitre dalam bahasa Perancis.

Dina Danish memang sangat internasional. “Saya menguasai 3,5 bahasa,”katanya, “Inggris, Jerman, dan Arab. Perancis yang setengahnya. Well, kalau kita anggap Arab Mesir dan Arab Klasik dua bahasa yang berbeda berarti saya bisa 4,5 bahasa.”katanya sambil tertawa.

Perempuan 32 tahun ini berkebangsaan Mesir, lahir di Paris, tinggal di Amsterdam, akan menikah dengan orang Perancis, dan mengenyam pendidikan Amerika serta Jerman. Minatnya terhadap bahasa terbentuk sejak SMA di mana ia belajar di sekolah berkurikulum Jerman di Mesir. “Di sekolah itu saya harus belajar dengan bahasa Jerman seakan-akan itu bahasa ibu saya.”kenangnya. Bagaimana manusia mempelajari dan menyikapi bahasa yang lain dari bahasa ibunya sendiri adalah sesuatu yang menarik untuk Dina Danish. “Bahasa adalah sarana komunikasi yang paling penting bagi manusia. Selain itu saya juga senang menulis.”tuturnya. Dina sekarang sedang menggarap sebuah buku tentang lelucon dari seluruh dunia. 

Perjalanannya ke berbagai tempat di dunia juga membawanya mengumpulkan berbagai produk bahasa dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Lelucon, takhayul, salah tafsir, pokoknya segalanya yang berhubungan dengan permainan kata-kata dan cerita menggugah rasa ingin tahunya. Semua itu kerap kali ia dekonstruksi dalam berbagai bentuk karya seni, entah itu lukisan, video, penampilan,fotografi,  atau instalasi. Bentuk seninya terkadang bisa jadi sangat lucu tapi membingungkan. Menurut Buku Panduan Biennale XII, ciri khas Dina Danish adalah memadukan seni konseptual dengan bahasa. Ia tidak membatasi jenis medianya untuk berkarya. 

“Saya selalu senang mempelajari media-media yang baru. Saya tidak pernah merasa satu media lebih penting dari yang lain,”katanya. “Gisa, keahlianmu adalah bahasa bukan? Untuk jadi ahli bahasa kamu harus terus belajar kosa kata baru. Nah bagi saya media seni adalah kosa kata, yang jumlahnya ada banyak dan harus terus saya pelajari.”jelasnya. Memang, saya menyadari bahwa saya tidak bisa menjawab ketika beberapa teman saya bertanya Dina itu seniman apa. “Lukisan? Foto? Video?”tanya mereka. Saya harus menjawab dia melakukan semuanya. 

Walau demikian, Dina memulai berkesenian dengan mempelajari lukisan di The American University in Cairo. Ia mendapatkan gelar S2 di San Francisco dalam bidang lukisan dan drawing. “Tapi selama kuliah S2 saya jarang sekali melukis,”katanya. “Everyone who made any painting is usually problematic.”ujarnya sambil tertawa. Menurutnya lulus kuliah seni dengan karya lukis itu sangat susah. “Saya membuat segalanya kecuali lukisan untuk lulus kuliah,”katanya. 

Maka, daripada membatasi diri pada media berkesenian, Dina Danish memilih mencirikan diri pada sebuah metode kerja yang unik. “Saya selalu mulai dari sesuatu yang sangat sederhana. Saking sederhananya mungkin orang akan mengira itu suatu kekonyolan, kebodohan, atau kebanalan. Saya memberi perhatian pada sesuatu yang sangat sederhana, lalu mengeksplorasinya sejauh mungkin.” 

 Salah satu yang menjadi minat besarnya adalah tongue twisters, rangkaian kata-kata yang harus diucapkan dengan cepat sampai kita keseleo lidah. Pada hari-hari pertama ia bekerja di Jogja, saya memasang status di laman Facebook saya bahwa kami sedang mengumpulkan tongue twisters dari Indonesia. Responsnya luar biasa. Teman-teman mengirimkan tongue twisters yang mereka tahu dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dari yang biasa saja sampai yang sulit, dari yang lucu sampai yang saru. Dina terutama tertarik pada “Kuku kaki kakek kaku-kaku”, “Satu tongkol, dua tongkol, tiga tongkol… sepuluh tongkol”, “Satu sate tujuh tusuk”, dan “Laler lare rolas”

“Kita bisa membuat banyak hal dari sini,”jelasnya dengan bersemangat siang itu di LAF. “Misalnya ‘tongkol’ ini. Kita bisa membuat sebuah lukisan ikan tongkol, satu di baris paling atas, dua di baris bawahnya, tiga di baris bawahnya lagi, sampai sepuluh tongkol di baris paling akhir.”

“Kuku kaki kakek kaku-kaku” terpatri dalam pikirannya karena bunyinya yang lucu, sedangkan bayangan visual “Satu sate tujuh tusuk,” menurutnya sangat menggelitik. Setelah mengumpulkan materi dan memikirkannya, Dina memutuskan akan membuat sebuah karya video dari “Satu sate tujuh tusuk” dan “Laler lare rolas”. Dalam video itu, sebuah kelompok koor akan menyanyikan “Sweet Child of Mine” yang liriknya diganti seluruhnya dengan “Satu sate tujuh tusuk” dan “I Dreamed a Dream” yang liriknya diganti dengan “Laler lare rolas”. Sebagai native speaker, saya disuruh mencoba menyanyikan gubahan kami itu. Saya benar-benar merasa konyol dan bodoh, terutama saat menyanyikan nada-nada sedih “I Dreamed a Dream” dengan “laler lare rolas”, namun Dina dan Jean-Baptiste memandang saya menyanyi dengan mata berbinar-binar seperti melihat gunung emas.

Perfect,”katanya. “Kedua lagu tersebut sama-sama lagu yang familiar bagi orang-orang di seluruh dunia, maka ketika kamu menyanyikannya dengan lirik dari bahasa lain, keanehannya sangat terasa.”

Sayangnya proyek tongue twisters ini harus dibatalkan. Waktunya terlalu sempit dan biayanya mahal, sementara kami harus menyewa dan melatih sekelompok koor, mencari partitur dua lagu dan menggubah liriknya, menyewa studio untuk rekaman, menyewa tim film-maker, memproduksi setting, dan macam-macam lagi. “Tidak masalah. Kami tetap bisa menggunakan tongue twisters ini untuk hal-hal lain.”kata Dina. Sebagai gantinya, ia memamerkan video “The Sailor’s Shirt” yang ia buat di Amsterdam pada tahun 2011.

"The Sailor's Shirt" di Lantai 3 JNM, Biennale Jogja XII
Salah satu respons Dina terhadap tongue twisters. Bukannya mengucapkannya dengan cepat, Dina menuliskannya dengan cepat, lalu mengkoreksinya dengan warna yang berbeda.



Walau demikian, ide tongue twisters ini sangat unik dan menarik. Tongue twisters memenuhi kriteria “sederhana”, “konyol”, dan “banal”. Menurut Dina, kalimat-kalimat tongue twisters di seluruh dunia tidak memiliki konten yang penting. Arti dari kalimat “kuku kaki kakek kaku-kaku” memang sangat banal, tidak penting, dan bahkan konyol. Ketika ia meminta saya menerjemahkannya, saya bilang, “Grandfather’s toe nails are stiff.” yang tentu saja tidak jelas, tidak penting, konyol, dan bodoh. 

Menurut Dina, yang penting dari tongue twisters adalah trik pengucapan dan bunyi kata-katanya. Buat saya, “kuku kaki kakek kaku-kaku” konyol karena saya paham artinya, tapi untuk Dina, bunyinya sangat menarik. “Kukukakikaku… you know, just the sound of things. Nothing at all.” ujarnya. Bunyi bahasa yang menarik itu yang membuat tongue twisters susah diucapkan. Tongue twisters diciptakan supaya kita salah berucap. “They are meant to be failed at. Dalam bahasa apa pun. Mau itu bahasa ibumu, mau itu bahasa asing yang sudah sangat kamu kuasai, kamu akan selalu gagal mengucapkan tongue twisters. Seperti ‘laler lare rolas’. Kalimat ini sama susahnya buat kita berdua.”ujarnya. “The sound is bound to failure. The content is meaningless.” cukup banal dan konyol bukan?

“Jadi menurut saya, okay, kita memang ditakdirkan untuk gagal mengucapkan tongue twisters. Kenapa susah payah melakukannya?” tuturnya. Maka Dina Danish berupaya mencari alternatif pengganti pengucapan oral yang selalu gagal itu, supaya kita bisa berhasil dengan tongue twisters.

Dina menunjukkan salah satu video performance yang ia buat berdasarkan tongue twisters dalam bahasa Inggris “Yellow butter, purple jelly, red jam, black bread. Spread it thick, say it quick”. Dalam performance itu ada tiga atau empat aktor yang duduk di depan meja, mengolesi roti hitam dengan mentega, selai blueberry, dan selai strawberry, lalu memakannya dengan cepat. Aksi itu diulangi beberapa kali dengan tempo yang makin lama makin cepat. Lalu setelah selesai mereka langsung meninggalkan meja.

 Give the meaninglessness a form.” Katanya ketika menguraikan inti dari proyeknya. Memberi bentuk kepada ketiadaan arti, entah dalam bentuk performance, lukisan, patung, nyanyian, dan lain sebagainya. Dengan memberi bentuk yang berarti pada kebanalan makna, Dina Danish merasa telah mengatasi kegagalan pengucapan oral. Selain itu, terciptalah suatu karya seni yang bisa berdiri sendiri pula.

Pengucapan oral dan bunyi suatu bahasa adalah salah satu unsur bahasa yang menarik bagi Dina Danish. “Sebelum kamu menguasai suatu bahasa, kamu harus membiasakan dirimu dengan bunyi dari bahasa tersebut.”ucapnya. Ia mengambil contoh seorang anak kecil yang baru belajar berbicara. Anak kecil tersebut akan memulai belajar bahasa dengan mendengarkan dan meniru suara. Setelah itu baru ia menggunakan bentuk-bentuk suara itu untuk menyampaikan makna, misalnya minta makan atau minum. “Yang menarik dari bunyi bahasa adalah cara pengucapannya. Pronunciation. Bagaimana kamu menggerakkan mulut dan lidahmu untuk mengucapkan kata-kata itu dengan benar. Pronunciation bisa menjadi sangat menarik ketika kamu sedang mempelajari bahasa baru. Ketika kamu benar-benar bisa menguasai bahasa tersebut, kamu bisa berbicara menggunakan bahasa tersebut tanpa aksen. Itu benar-benar sulit.”katanya. 

Masih terkait dengan bahasa, Dina Danish juga tertarik dengan bentuk tulisan dari kata-kata tersebut. “Bagaimana jika bentuk-bentuk huruf itu tidak bermakna? Hanya garis-garis dan bentuk, bukan? Hanya bentuk-bentuk yang saling terkait satu sama lain.” Katanya. Selain itu Dina juga tertarik dengan ragam bentuk wadah bahasa. Maka ia punya kebiasaan mengumpulkan kertas dari tempat-tempat residensinya di seluruh dunia. Kertas bergaris adalah bentuk wadah kosong yang menunggu untuk diisi produk bahasa. Karya batiknya, Lined Paper, yang dipajang di LAF pun juga merespon bentuk kertas dari buku-buku tulis yang ia beli di Jogja. 

Walau sangat tertarik dengan bahasa, Dina tidak belajar linguistik secara khusus. Ia mengambil kuliah wajib linguistik selama kuliah master, senang membaca dan menghadiri seminar tentang linguistik, namun tidak pernah mendalaminya. Karya seninya yang merespon bahasa lebih berakar pada pengalaman personal ketika ia terekspos suatu bahasa asing atau produk bahasa yang tidak biasa. Reaksi personalnya membuatnya lebih mudah dalam mendekonstruksi teks menjadi bentuk visual. “Bentuk teks dan visual saling mendukung. Tidak ada yang lebih penting dari yang lain.”tuturnya.

Bagaimana dengan tanggapan audiens karya seninya? Ketika mereka melihat hal-hal yang lumrah dan bahkan cenderung konyol dari kehidupan sehari-hari didekonstruksi dalam bentuk karya seni? “Kebanyakan tertawa,”kata Dina. Video-video performance-nya ganjil tapi menggelitik. Menurutnya, memang bentuk karya seninya berhubungan dengan bagaimana membuat orang tertawa. 

Bekerja dengan Dina Danish selama enam minggu merupakan pengalaman baru yang sangat berharga bagi saya. Saya, yang sama sekali bukan anak seni, jadi tahu bahwa seniman tidak hanya bisa mengkhususkan diri pada suatu media, namun bisa juga mengkhususkan diri pada konsep dan metode berkarya. Dina memberi perhatian khusus pada hal-hal konyol dan bodoh yang kita lakukan sehari-hari lalu mengeksplorasinya sejauh mungkin. Hal-hal tersebut ia ubah menjadi berbagai bentuk karya seni yang bisa membuat orang mengerutkan kening karena kebingungan atau mendengus tertawa karena kekonyolan yang ia tonjolkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar