Senin, 04 November 2013

Belajar Ngopi di Klinik Kopi



Di Jogja, ada banyak sekali kedai kopi yang tersebar di berbagai titik dekat kampus. Kedai-kedai kopi ini biasanya nyaman untuk mahasiswa, dalam artian harga menunya terjangkau, tempatnya enak untuk duduk lama-lama, buka sampai larut malam, dan punya fasilitas wifi. Kegiatan “ngopi” pun jadi berpindah arti jadi nongkrong ngobrol dengan teman-teman, ngerjain tugas, atau hanya duduk ngeliatin jalan sambil nyeruput minuman yang bahkan belum tentu kopi.

Nongkrong “ngopi” pun jadi pilihan quality time kami ketika teman dari Jakarta, Sarra, berkunjung ke Jogja. Sore itu kami janjian untuk ngopi di tempat yang sedang sering disebut dan bikin penasaran, Klinik Kopi. Saya duluan sampai ke tempat itu karena kebetulan dekat dengan kampus saya di Jalan Gejayan. “Dari Togamas ke selatan 5 meter, gang pertama, masuk 50 meter, kiri jalan pas tikungan.”kata teman saya, Aan, waktu memberi arahan via chat.

Mengikuti arahan dari Aan, saya sampai ke sebuah pintu gerbang besar yang menjadi pintu ke sebuah kebun jati yang lumayan luas. Di sebelah gerbang besar itu ada papan nama kecil “Klinik Kopi”. Benar-benar bikin bingung. Saya masuk ke gerbang, membelah jalan setapak di hutan jati itu menuju sebuah bangunan aula bertingkat dua dari kayu dan kaca. Sepi sekali. Hanya ada suara binatang-binatang entah apa yang sembunyi di balik pohon-pohon jati dan daun-daun kering yang terinjak kaki. Rasanya tidak seperti di daerah Gejayan yang hiruk pikuk.

Aula bagian bawah sepi, tapi sepertinya di tingkat atas ada orang. Maka saya menaiki tangga kayu ke lantai dua. Saat menaiki tangga itu, aroma kopi sekilas menyergap hidung. Di lantai dua ada aula yang luas juga, dan untungnya, ada tiga orang di sebuah meja yang dipenuhi stoples berbagai bentuk yang berisi biji-biji kopi. Dua orang duduk di kursi lipat di depan meja, sedangkan seorang lagi di belakang meja, sibuk dengan sebuah stoples.

“Halo! Halo!”seru orang di belakang meja dengan sangat ramah. Namun demikian saya jadi pekewuh. Seperti terlambat masuk ke sebuah kelas yang ketat, terutama karena dua orang di depan meja duduk dengan sikap mahasiswa dan orang di belakang meja seperti sedang menjelaskan sesuatu pada mereka. Setelah melepas sepatu dan dipersilakan masuk, saya mengisi sebuah buku tamu dan duduk di kursi di depan meja penuh stoples kopi itu.

Ternyata orang di belakang meja itu si ahli kopi bernama Pepeng. Dua orang yang lain adalah temannya, Gigih dan Siti. Kami berkenalan, lalu saya ditanyai tentang kebiasaan ngopi saya. “Sekali sehari. Kopi kapal api. Campur susu dan gula. Malam hari.” Begitu kira-kira ringkasnya. Mas Pepeng terlihat sedikit khawatir. Dia pun mulai sedikit menjelaskan pada saya tentang berbagai jenis kopi, perbedaan proses roasting kopi, dan perbedaan warna biji kopi. “Masih nunggu temannya kan? Saya beres-beres dulu ya.”katanya santai. Ketika dia berlalu, Gigih pun menjelaskan pada saya. “Ini bukan cafĂ©. Dan Mas Pepeng itu bukan barista.”
Maka, ketika Sarra, Arkham, Aan, dan Eka datang, kami duduk mengelilingi meja kopi itu dan dijelaskan macam-macam sama Mas Pepeng. Dia memperlihatkan video proses roasting kopi, menjelaskan berbagai karakter kopi koleksinya, dan memberi tahu berbagai “pantangan” dalam ngopi. Contohnya, dia menjelaskan bahwa kopi tidak boleh ditiup. “Ditunggu dingin. Kalau ditiup nanti jadi asam karena tercampur dengan CO2 dari mulut kita.” Selain itu kopi harus diminum dalam 15 menit setelah diseduh karena tingkat keasaman dan kepahitannya bisa meningkat kalau sudah dingin. Lalu yang bikin saya sedih, dia tidak menyediakan gula untuk diminum bersama kopi. Pemula yang nggak tahu apa-apa seperti saya tidak diperbolehkan minum kopi dengan campuran apa pun walau dia bisa saja membuat cappuccino. “Kamu masih kenalan sama kopi. Nanti kamu nggak tau karakter tiap-tiap kopi karena ketutup susu dan gula.”katanya. Mas Pepeng juga sangat protektif dengan biji-biji kopinya. Dia sangat hati-hati dalam membuka tutup stoplesnya dan kami tidak boleh mencuri cium aroma biji-biji kopi itu. Baru kali ini saya berkenalan dengan yang namanya the pleasure of sniffing. Melihat perlakuan hati-hati atas aroma yang berharga itu, saya melihat di sini kita diharapkan menghargai kopi lebih dengan hidung, bukan dengan lidah. “Kopi itu bukan penghilang haus!”katanya.

Setelah penjelasannya yang menarik, kami dibikinkan kopi sesuai pilihan kami. Saya pilih Takengon yang katanya paling manis di antara yang lain. Aan memilih Gayo yang asam. Eka memilih Wamena yang katanya paling cocok untuk pemula. Sarra memilih Ciwidey yang istimewa. Arkham memilih Kalosi medium (Kalosi atau Kolasi, aku lupak, mwihihi…) yang aromanya merupakan campuran berbagai karakter dan merupakan favorit mas Pepeng. Semua kopi dihargai flat Rp 10.000,- per cangkir, kecuali Ciwidey yang diperas dengan alat khusus dan dihargai Rp 15.000,- per cangkir. “Saya peringatkan ya, setelah dari sini biasanya temen-temen pada nggak bisa minum kopi sachet lagi.”katanya. Memang, setelah membikinkan kami secangkir dari biji-biji kopinya yang istimewa dan berharga, ia mengambil sebuah cangkir dan dengan dramatis mengeluarkan sebungkus kopi kapal api, menyeduhnya dan mengaduknya. “Jangan diminum. Dibandingkan saja aromanya.”katanya pada kami. Kami saling membandingkan aroma kopi kami yang masih panas dan tidak boleh ditiup itu dengan secangkir kopi kapal api yang sekedar diseduh dan diaduk-aduk itu. Arkham dan Aan bisa membedakan aromanya, tapi terus terang saja, saya clueless. Hehehee… Setelah itu kami dipersilakan mencomot pisang goreng seribuan lalu undur ke sudut manapun yang enak karena rombongan lain sudah menunggu.

Ternyata memang sudah ada serombongan anak muda lain yang mengantri untuk diberi petuah ngopi oleh Mas Pepeng. Semua pengunjung diajak ngobrol akrab sambil diedukasi tentang kopi sebelum memilih secangkir pilihannya. Mas Pepeng dengan bersemangat memberi penjelasan dan mengarahkan orang-orang awam seperti kami kepada jalan ngopi “yang benar”, seperti pendeta memberi khotbah pada rasul-rasulnya. Satu-satu rombongan mendengarkan diskusinya tentang kopi, lalu duduk di lantai aula yang luas dengan pemandangan hutan jati sambil menyeruput cangkir masing-masing.

Arkham dan Aan sangat menikmati kopi mereka sementara saya, Sarra dan Eka berupaya keras mencecap karakter kopi dibalik rasa asam dan pahitnya. Tiba-tiba Mas Pepeng datang dan tertawa lalu menawarkan secangkir susu untuk membantu kami. “Tapi jangan dicampur!”katanya mewanti-wanti. Akhirnya dengan segelas susu untuk berlima dan tiga gelas air putih (dan dua cowok yang ngabisin kopinya, hehehe…) lima cangkir kopi kami ludes. Jujur saya tidak menikmati Takengon pilihan saya, tapi saya masih suka dengan Wamena-nya Eka dan Kalosi-nya Arkham.

Walau demikian, sangat menyenangkan mendapatkan pengalaman baru dalam “ngopi”. Klinik Kopi menepis semua bayangan kami tentang sebuah ruangan dengan sofa-sofa empuk, wifi yang kuat, jendela besar menghadap ke jalan, playlist paling hip, dan secangkir latte. Sebagai gantinya kami duduk di lantai aula yang luas, dikelilingi pohon-pohon jati yang menyembunyikan berbagai unggas aneh, di sebelah TV tua yang hanya boleh menyala untuk nonton bola, sambil menantang diri sendiri untuk menggeluti rasa yang berkelindan di secangkir minuman hitam pahit-asam. Tapi tetap saja, esensi “ngopi” yang kami cari dan kami rayakan setiap kami berkumpul bisa kami dapatkan. Kami duduk gelesotan berjam-jam dan ngobrol ngalor-ngidul dengan seru, menciptakan quality time yang berharga karena kami bersama. Tempat ini luar biasa nyaman, dengan atmosfer reflektif yang tidak dibuat-buat. Tidak ada waiter atau barista yang keramahannya diatur kode etik perusahaan. Yang ada adalah seseorang yang benar-benar ingin berbagi pada sebanyak mungkin orang, berbagi kebahagiaannya dalam menikmati kopi, yang menurut saya adalah suatu bentuk keramahan dan kemurah-hatian yang paling besar.

Mas Pepeng masih asyik membikinkan kopi untuk serombongan anak muda saat kami berpamitan. “Haha, kamu tersiksa ya? Kelihatan dari mukamu.”kata Mas Pepeng sambil menepuk bahu saya. Saya ketawa karena merasa cemen, tapi saya bilang akan kembali lagi bersama kakak saya yang juga penasaran. “Oke, Wamena ya.”kata Mas Pepeng. Kami menaruh uang dan mengambil kembalian sendiri dari sebuah kaleng di atas meja. Kami berterimakasih dan berpamitan seperti ketika baru saja berkunjung ke rumah teman. Mas Pepeng melambaikan tangannya dengan ramah dan gembira, lalu menyambut rombongan lain yang siap diajak kenalan dengan seni minum kopi.





foto credit: Arkham Kurniadi





Klinik Kopi merupakan bagian dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Sanata Dharma.

Mas Pepeng menggeluti kopi selama tiga tahun belakangan dan sering berkeliling Indonesia untuk mempelajari koleksi kopi Nusantara.

2 komentar: