Kamis, 12 September 2013

Babad dalam Pemahaman Teks ala Jawa

“Teks adalah segala sesuatu yang dapat ditafsirkan.” Romo Bagus Laksana - 2013

Sebagai makhluk hidup yang bertutur, manusia cenderung memandang sejarahnya sebagai suatu teks narasi besar. Perjalanan sejarah suatu individu mempengaruhi pembentukan karakternya, dan suatu pemahaman kembali akan sejarah itu bisa menjadi acuan untuk memperbaiki hidup di masa sekarang maupun di masa mendatang. Gitu sih hasil obrolan bergizi saya sama Romo Bagus Laksana, dosen pembimbing saya dalam penulisan tugas akhir. Di bawah ini adalah pengertian saya tentang Babad yang dibagi oleh Romo Bagus. Saya agak males cari dan baca referensi jadi ya mungkin yang dibawah ini agak deviasi dan sok tau tapi ya gitu deh, hehehe...


Ketika kita mengartikan teks sebagai segala sesuatu yang dapat ditafsirkan, artian teks dalam studi ini akan lebih luas dibandingkan teks berbentuk buku seperti yang disuguhkan oleh orang-orang Barat. Teks dalam konteks Jawa adalah narasi yang melingkupi kehidupan sosial dan individu mereka dalam segala lakunya. Jika dalam konteks Barat teks adalah kertas bercetak huruf yang dibaca di dalam perpustakaan, Jawa “menulis” teks dalam ruang publik: dalam sesajen, dalam simbol-simbol, dalam patung-patung, dalam lukisan-lukisan dan laku spiritual. The reading room is everywhere. Dalam hitung-hitungan topografi, tingkat literasi kultur Jawa bisa dibilang rendah. Budaya merekam sejarah dalam kegiatan membaca dan menulis bisa dibilang miskin. Namun demikian, kesimpulan skeptis tersebut terjadi karena kita terkungkung dalam konsep literasi ala Barat. Sesungguhnya, narasi yang dibaca oleh masyarakat Jawa sama kayanya dengan yang dibaca oleh Barat, hanya saja cara pembacaannya yang berbeda.
Misalnya dalam hal Babad. Babad bukanlah kisah sejarah yang informatif, linear, dan objektif. Dalam pandangan Barat, Babad bisa dibilang kisah sejarah yang sangat berbelok dan bahkan mungkin berbahaya bagi demokrasi karena sifatnya yang melegitimasi kekuasaan kerajaan yang dikisahkan.

Babad berasal dari kata “babat”, dalam bahasa Jawa, mengacu pada kegiatan membabat hutan, membuka lahan, untuk membentuk komunitas (kerajaan) baru. Dari sini terlihat bahwa sebuah Babad berfungsi untuk mengisahkan asal usul suatu kerajaan atau suatu keluarga kerajaan. Babad tidak boleh ditulis oleh sembarang orang. Hanya seorang pujangga yang benar-benar ahli atau sang Raja sendiri yang boleh menulis Babad. Proses penulisannya juga tidak main-main. Sang Pujangga harus melakukan tapa, puasa, dan laku prihatin lainnya sebelum menuliskan kisahnya. Penulisan Babad membawa Si Pujangga ke suatu waktu yang telah lampau, membawanya ke proses dialogis dengan leluhurnya dan dengan konteks-konteks yang mendukung terjadinya kerajaan tersebut. Biasanya Babad ditulis oleh si Pujangga di suatu masa yang kelam, di masa kesusahan, sehingga dialog dengan leluhur membawanya ke proses refleksi yang meneguhkan identitas dirinya sebagai individu. Dengan demikian, sebuah Babad bukan sekedar kisah sejarah. Babad merupakan proses retret dan refleksi dari seorang Pujangga yang berusaha menelusuri kembali silsilah eksistensinya. Di lihat dari sudut pandang ini, sungguh berbeda dengan kisah sejarah yang ditulis akademisi modern yang berdiskusi dengan sesama akademisi sambil minum anggur untuk melancarkan pembicaraan dan membuka pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar