“Teks
adalah segala sesuatu yang dapat ditafsirkan.” Romo Bagus Laksana - 2013
Sebagai makhluk hidup yang bertutur, manusia cenderung memandang sejarahnya sebagai suatu teks narasi besar. Perjalanan sejarah suatu individu mempengaruhi pembentukan karakternya, dan suatu pemahaman kembali akan sejarah itu bisa menjadi acuan untuk memperbaiki hidup di masa sekarang maupun di masa mendatang. Gitu sih hasil obrolan bergizi saya sama Romo Bagus Laksana, dosen pembimbing saya dalam penulisan tugas akhir. Di bawah ini adalah pengertian saya tentang Babad yang dibagi oleh Romo Bagus. Saya agak males cari dan baca referensi jadi ya mungkin yang dibawah ini agak deviasi dan sok tau tapi ya gitu deh, hehehe...
Sebagai makhluk hidup yang bertutur, manusia cenderung memandang sejarahnya sebagai suatu teks narasi besar. Perjalanan sejarah suatu individu mempengaruhi pembentukan karakternya, dan suatu pemahaman kembali akan sejarah itu bisa menjadi acuan untuk memperbaiki hidup di masa sekarang maupun di masa mendatang. Gitu sih hasil obrolan bergizi saya sama Romo Bagus Laksana, dosen pembimbing saya dalam penulisan tugas akhir. Di bawah ini adalah pengertian saya tentang Babad yang dibagi oleh Romo Bagus. Saya agak males cari dan baca referensi jadi ya mungkin yang dibawah ini agak deviasi dan sok tau tapi ya gitu deh, hehehe...
Ketika
kita mengartikan teks sebagai segala sesuatu yang dapat ditafsirkan, artian
teks dalam studi ini akan lebih luas dibandingkan teks berbentuk buku seperti
yang disuguhkan oleh orang-orang Barat. Teks dalam konteks Jawa adalah narasi
yang melingkupi kehidupan sosial dan individu mereka dalam segala lakunya. Jika
dalam konteks Barat teks adalah kertas bercetak huruf yang dibaca di dalam
perpustakaan, Jawa “menulis” teks dalam ruang publik: dalam sesajen, dalam
simbol-simbol, dalam patung-patung, dalam lukisan-lukisan dan laku spiritual.
The reading room is everywhere. Dalam hitung-hitungan topografi, tingkat
literasi kultur Jawa bisa dibilang rendah. Budaya merekam sejarah dalam
kegiatan membaca dan menulis bisa dibilang miskin. Namun demikian, kesimpulan
skeptis tersebut terjadi karena kita terkungkung dalam konsep literasi ala
Barat. Sesungguhnya, narasi yang dibaca oleh masyarakat Jawa sama kayanya
dengan yang dibaca oleh Barat, hanya saja cara pembacaannya yang berbeda.
Misalnya
dalam hal Babad. Babad bukanlah kisah sejarah yang informatif, linear, dan
objektif. Dalam pandangan Barat, Babad bisa dibilang kisah sejarah yang sangat
berbelok dan bahkan mungkin berbahaya bagi demokrasi karena sifatnya yang
melegitimasi kekuasaan kerajaan yang dikisahkan.
Babad
berasal dari kata “babat”, dalam bahasa Jawa, mengacu pada kegiatan membabat
hutan, membuka lahan, untuk membentuk komunitas (kerajaan) baru. Dari sini
terlihat bahwa sebuah Babad berfungsi untuk mengisahkan asal usul suatu kerajaan
atau suatu keluarga kerajaan. Babad tidak boleh ditulis oleh sembarang orang.
Hanya seorang pujangga yang benar-benar ahli atau sang Raja sendiri yang boleh
menulis Babad. Proses penulisannya juga tidak main-main. Sang Pujangga harus
melakukan tapa, puasa, dan laku prihatin lainnya sebelum menuliskan kisahnya.
Penulisan Babad membawa Si Pujangga ke suatu waktu yang telah lampau,
membawanya ke proses dialogis dengan leluhurnya dan dengan konteks-konteks yang
mendukung terjadinya kerajaan tersebut. Biasanya Babad ditulis oleh si Pujangga
di suatu masa yang kelam, di masa kesusahan, sehingga dialog dengan leluhur
membawanya ke proses refleksi yang meneguhkan identitas dirinya sebagai
individu. Dengan demikian, sebuah Babad bukan sekedar kisah sejarah. Babad
merupakan proses retret dan refleksi dari seorang Pujangga yang berusaha
menelusuri kembali silsilah eksistensinya. Di lihat dari sudut pandang ini,
sungguh berbeda dengan kisah sejarah yang ditulis akademisi modern yang
berdiskusi dengan sesama akademisi sambil minum anggur untuk melancarkan
pembicaraan dan membuka pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar