Selasa, 07 Mei 2013

Lagu Sendu

Entah kenapa akhir-akhir ini saya sering sendu dan galau dan ngelangut sendiri. Ada banyak alasan yang membuat saya tiba-tiba sedih, entah kenapa. Padahal saya sedang baik-baik saja. Mungkin memang itu sifat manusia ya, selalu mencari-cari kegalauan apa pun keadaannya.
Di bawah ini adalah lagu-lagu pengiring minum racun yang yang saya kumpulkan selama jam-jam sedih:

1. Anggito Rahman – Gagak
Bulan sabit hiasi malam. Kolong langit yang sangat muram. Hati terasa remuk dan redam. Berisikan awan kelabu.
Kutau kau kan hilang, bersama waktu yang suram. Burung gagak membawamu ke dalam kegelapan.
Kemuraman kini kan hilang. Aku dia dan kesepian. Terlampau terang di sini. Aku sangat suka kan malam.



Pada suatu malam keluarga saya sudah tidur semua dan semua lampu rumah sudah dimatikan. Saya belum tidur, malah chatting sama teman saya tentang galau masa depan sambil dengerin lagu ini. Total ada 5 orang di timeline yang sedang ngelangut tentang masa depan sambil mendengarkan “Gagak” malam itu.
Dalam kegelapan diiringi lagu itu, berbagi kegalauan dengans seorang teman yang akan segera meninggalkan kota ini, saya tiba-tiba dicekam kesedihan. Saya takut ditinggal teman-teman ke ibukota. Nanti saya main sama siapa? Menteli siapa? Saya benci ibukota. Seperti monster raksasa penghisap tenaga kerja. Teman-teman saya diubah jadi kabel penghantar komoditi.
Teman-teman saya dibawa pergi burung gagak ke ibukota. Tapi, mungkin juga nanti saya nyusul mereka ke sana selepas studi.
Tai.

2. Payung Teduh – Resah
Aku ingin berdua denganmu di antara gaun gugur. Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.



kadang, ada yang gagal paham kalau...   YAWESLAH. Dudududududuuu… *kelesotan sendirian di antara daun gugur*

3. Payung Teduh – Cerita tentang Laut dan Gunung
Tak perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut karena gunung dan laut tak punya rasa.




Terkadang rasanya saya sudah jadi teman yang baik, bahu untuk bersandar dan telinga yang mendengarkan bagi semua orang. Beneran, saya sangat sayang sama semua teman saya dan selalu dengan senang hati mendengarkan keresahan mereka. Tapi sering rasanya waktu saya yang mau balik curhat, saya terhalang perasaan nggak enak. Apakah saya sepenting itu untuk mereka sehingga mereka mau mendengarkan cerita saya? Apakah teman-teman saya sayang sama saya seperti saya sayang sama mereka? Kenapa beberapa di antara mereka tidak bisa diam dan berubah menjadi telinga saja? Bukan mulut yang terus-menerus memotong cerita saya dengan nasehat mereka yang tidak ingin saya dengar, atau cerita hidup mereka sendiri yang malah lebih sedih daripada cerita saya? Lalu saya harus menangis pada siapa? Perempuan berkacamata di cermin itu tidak pernah punya jawaban.


4. Jalan Pulang – Percakapan Tangis
Usai sudah cerita suka. Tawa canda sirna. Lara.
Takkan slamanya ini luka, tunggu saja di tempat yang berbeda di hari yang tak sama.




Ada masa di mana suatu kesedihan ekstrim melanda saya sampai kata-kata tidak bisa lagi menggambarkan lara yang harus ditanggung hati. Yang nyata hanya duka yang menggantung di tembok-tembok kamar dan air mata yang tercecer di kertas-kertas buku harian yang gagal menangkap kesedihan yang berusaha ditulis.
Tapi luka itu tidak akan selamanya.

5. Frau – Glow
Hold me, you shall never ever see me
Blankets will not hesitate me
Flowers shant even wake

Kiss me, 'tis the last time you may see me
'Tis the last time light shall harm me
I shall cry myself to death

Funny, how you never showed your love to me
Lovely, oh the lights I can see
It's gleaming in my eyes like when you

Burned me, tear my skin off and leave me
'Tis the last time you may hold me
'Tis the last time I shall say good bye




Jika boleh saya mati ketika sudah sangat tua, dikelilingi anak cucu, disebuah ranjang yang hangat, di suatu sore yang cerah, dengan daun-daun berguguran di halaman yang terlihat dari jendela kamar tempat saya mati. Dan jika boleh saya mati dengan lagu sesedih, selemah, dan setabah ini.


6. Frau ft. Ugoran Prasad – Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa
Seperti takkan pernah pulang kau membias di udara dan terhempaskan cahaya.
Seperti takkan pernah pulang,
ketuk langkahmu menarilah di jauh permukaan.




Kadang kamu harus menutup kisah yang indah karena sudah berceceran darah. Kadang kamu harus melepaskan dan membiarkannya pulang. Kadang kamu harus menari sendiri di luar angkasa.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar