Minggu, 14 Juli 2013

Terhanyut dalam Ombak Lunang: "Laki-Laki Laut" Persembahan Papermoon Puppet


karusel di depan pintu masuk ArtJog13 karya Iwan Effendi. Termasuk di dalam instalasi karusel ada 7 boneka besar Laki-Laki Laut yang mencari Lunang, si anak kecil polos yang mengantongi kekayaan besar.


Berhimpitan di sela-sela kaki penonton yang lain, saya duduk di sepetak kecil ujung tribun penonton. Entah berapa ratus atau bahkan ribu orang memenuhi area depan gedung TBY malam itu, Minggu (14/7) demi pertunjukkan hari kedua "Laki-Laki Laut" (Men of the Sea) dari Papermoon Puppet yang sudah tersohor kesahihannya dalam seni pertunjukkan. Pertunjukkan akan mulai pukul 20.00, namun tiba di tempat pukul 19.30 adalah terlambat. Tribun yang diperuntukkan bagi mereka yang memegang tiket sudah penuh sesak, apalagi spot terbaik yang lesehan di depan panggung. Banyak yang berdesakan berdiri di pinggiran area pertunjukkan, ada pula yang pasrah berdiri di balik panggung di belakang karusel besar yang masih tertutup kain.

Sebenarnya saya sudah datang dan menyaksikan pertunjukkan hari pertama kemarinnya, tapi saya datang lagi karena pertama saya sangat menikmati pertunjukkan itu lalu nagih ingin tambah satu porsi lagi, dan kedua karena saya seharusnya menemani dua nonton orang tim kurator Mesir yang sedang di Jogja untuk urusan Biennale. Tapi saking padatnya manusia yang tumplek-blek di ruang terbuka itu, saya dan teman-teman saya tidak sempat mondar-mandir untuk saling menemukan lalu mencari tempat yang asyik untuk menonton. Sepetak sempit tribun untuk ujung pantat saya ini saja sudah harus disyukuri.

Maka pukul 20.00 tepat pertunjukkan dimulai. Musik klonengan imut khas Belkastrelka dan narasi suara mistis Asa memenuhi venue dari sumbernya di area mixer, di puncak tribun sebelah timur. Ilustrasi musik duo gila Yennu dan Asa ini memang salah satu alasan saya balik lagi ke pertunjukkan hari kedua. Tidak bisa dibantah kalau iringan mereka menyedot perasaan sekian banyak penonton ke situasi mendayu yang pas ketika beberapa penari muncul sambil membawa perahu-perahu kecil berwarna biru pastel. Kemudian lahirlah Lunang, sang Ombak, dari dalam telur rotan dan kasa dibidani tiga orang pemain boneka. Lunang yang digambarkan berupa anak laki-laki kecil yang lahir mengenakan popok putih dan kantung rami cokelat di pinggang itu terlihat sangat lucu. Mbak Ria dan dua pemain bonekanya menghidupkan Lunang dengan gerakan-gerakan yang lucu dan suara-suara yang menggemaskan. "Atapaya! Atapaya!" ujar Lunang berkali-kali ketika terheran melihat dunia.

Adegan-adegan berikutnya menggambarkan pencarian orang-orang dewasa, dengan segala keruwetan masalah mereka, berusaha mencari Lunang. Pelaut, pedagang, juru masak, semuanya berbondong-bondong mencari Lunang dalam wujud gugusan pulau harta, sekantung penuh emas permata, dan sepinggan masakan bercita rasa tinggi. Lunang hadir di hadapan mereka sebagai anak kecil naif yang usil dan mengganggu, sehingga mereka malah mengusirnya. Baru mereka sadar bahwa si anak kecil menyebalkan itu lah yang mereka cari ketika Lunang hadir dengan megah diiringi tarian ombak yang membuyarkan simbol-simbol kesuksesan yang sudah mereka bangun.

Sungguh, sekitar sepuluh penari dan pemain boneka malam itu sanggup menghidupkan gumpalan-gumpalan kain dan kertas sehingga menjadi karakter yang menghanyutkan. Dengan caranya sendiri, Mbak Ria dan timnya menggambarkan kehidupan dari teleskop maritim dengan simbol-simbol Jawa yang bahkan orang Jawa sendiri tidak tahu. Lunang sendiri, misalnya, adalah bahasa Jawa Kawi untuk ombak. Lunang juga adalah gambaran keteguhan jiwa yang murni dan jujur. Ketika diterjemahkan ke dalam sosok anak kecil yang bersahaja itu, Lunang menjelma simbol Pulau Jawa yang ketika itu masih muda namun sarat kekayaan, yang dicari-cari para "Laki-Laki Laut", penjelajah asing dari bangsa-bangsa seberang laut demi Gold, Gospel, dan Glory.

Adegan yang sangat menyentuh buat saya pribadi adalah ketika Lunang lahir dari telur bumi. Entah kenapa saya jadi berpikir bahwa mungkin setiap kita adalah boneka kain yang sesungguhnya tanpa nyawa. Setiap wajah kita sebenarnya hanya hasil cetakan bubur kertas yang polos tanpa ekspresi dan nama. Kemudian ada tiga Tuhan yang mengendalikan tangan dan kaki kita, membuat kita keheranan dengan ujung-ujung jari kita sendiri. Lunang yang baru saja lahir itu sendiri masih selongsong kosong yang masih bisa melihat wajah Tuhan-nya, dengan kurang ajar menyentuh-nyentuh hidung dan pipi Tuhan semata-mata karena penasaran. Mungkin waktu kita masih bayi kita juga begitu.

Selain itu, adegan-adegan videografi yang diproyeksikan ke sesosok wajah putih di panggung juga mengesankan. Ada beberapa video yang digarap oleh Doni Maulistya, dan salah satu yang paling menarik buat saya adalah ketika ada beberapa manusia berlari berlompatan di atas bukit, hendak mengakuisisi tanah itu dan mulai membuka lahan. Tiba-tiba bukit itu bangkit menjadi sesosok wajah seram sehingga manusia-manusia itu kocar-kacir ketakutan. Ada juga adegan seorang laki-laki laut yang menggambar peta. Sementara laki-laki itu menggambar peta, ditembakkan proyeksi video ilustrasi gugusan pulau yang jika dilihat dari jauh berbentuk kepala anak kecil: Lunang sebagai kepulauan harta.

Pertunjukkan hari kedua itu menurut saya lebih bagus daripada pertunjukkan hari pertama. Penontonnya lebih banyak (ada beberapa wajah yang hadir di pertunjukkan hari pertama, sepertinya mereka seperti saya: nagih datang lagi. Alhasil orang-orang bandel ini berdesakan dengan mereka yang baru datang di hari kedua), musiknya sukses dari awal sampai akhir (di hari pertama ada insiden kabel copot sehingga musiknya mati pas ketika selubung karusel dibuka dan dijalankan sebagai klimaks), dan komposisi anak-anak kecil di area penonton jauh lebih sedikit (di hari pertama ada banyak anak kecil, saya sendiri duduk jejer anak kecil yang menjerit-jerit minta pulang gara-gara ketakutan lihat boneka-bonekanya Mbak Ria yang, memang sih, agak seram).

Pertunjukkan "Laki-Laki Laut" karya Papermoon Puppet dan Iwan Effendi yang menghanyutkan ini sudah berakhir, tapi mereka yang penasaran masih bisa menikmati display sketsa proses pembuatan komponen-komponen karusel dan proses penemuan karakter Lunang di artspace Lir di Baciro. Ada juga berbagai souvenir Lunang yang menggiurkan di petak mereka di ArtJog.

Lunang datang dengan megah di atas bahtera ombak
adegan kelahiran Lunang dari dalam telur bumi
karusel dibuka dan dihidupkan, lengkap dengan kabut-kabut mistis dan musik Belkastrelka yang menghanyutkan
Mencari Lunang

Photo credit:
papermoonpuppet.com
jogjanews.com
metrotvnews.com

(bilangin saya gabisa motret, temen-temen saya entah ke mana, jadi saya yang miskin grafis ini nyari foto ke google dot kom. makasih google).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar