Tampilkan postingan dengan label payung teduh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label payung teduh. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Agustus 2013

SINGKAT DAN AKRAB PAYUNG TEDUH DI LEGEND CAFÉ, 26 MEI 2013

Minggu (26/5) adalah sore yang suram di Jogja. Mendung masih menggantung di penjuru wilayah, menambah kelabu suasana duka yang menggelayut di berbagai kantong komunitas musik kota ini. Kacaunya Locstock Fest 2 disusul tewasnya Yoga “Kebo” Cahyadi, sang ketua panitia acara, disebut-sebut sebagai salah satu tragedi musik terbesar di kota ini. Menyusul batalnya event Locstock hari kedua, Payung Teduh, salah satu band luar kota yang dikecewakan memutuskan untuk mengadakan show dadakan di Legend Café, Kota Baru sore itu. Rencana itu bagai air sejuk di tengah panasnya arus linimasa twitter yang penuh hujatan.
Pukul lima sore, Legend Café sudah benar-benar penuh sesak oleh para penggemar Payung Teduh. Sepertinya mereka yang semestinya bergembira di Locstock hari kedua berduyun-duyun menuju ke Legend Café. Bahkan terlihat ada seorang penonton yang masih mengenakan gelang entrance Locstock berwarna biru dari acara hari sebelumnya.
Panggung sederhana sudah disiapkan berupa sepetak lantai dengan beberapa stand mike, kelewat bersahaja jika dibandingkan hingar bingar Stage 1 Locstock tempat mereka seharusnya dipanggungkan. Selepas maghrib, MC Gandoz membuka acara dengan sedikit khidmat. Ia meminta teman-teman Jogja menghilangkan semua tendensi negatif dan akhirnya membangkitkan kembali permusikan di Jogja. “Ayo kita buktikan bahwa Jogja itu kota yang aman buat bermusik.”ajaknya. “Teman-teman, jangan lagi ada kata-kata di sosial media bahwa uang fee artis dilarikan. Itu hoax ya, teman-teman.” tambahnya menanggapi isu yang carut marut di sosial media.
Kemudian doa bersama yang singkat dihaturkan, kotak sumbangan diedarkan, dan Payung Teduh pun memetik nada lagu pertama. Sekitar 45 menit mereka membawakan lagu-lagu mereka seperti “Angin Pujaan Hujan”, “Berdua Saja”, “Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan”, “Kucari Kamu, “Tidurlah”, “Malam” dan beberapa nomor lain. Terdengar seluruh penonton yang menyesaki Legend Café menyanyikan lirik-lirik puitis itu bersama-sama, mengalahkan derasnya hujan yang telah mulai turun.
Berkali-kali Is terdengar mengucapkan “Bismillah” dan “Alhamdullilah” selama pertunjukkan itu. “Alhamdullilah, hari ini kita masih bisa bertemu dengan orang-orang yang indah ini.”ujarnya, terdengar terharu melihat riuh dan sesaknya penonton yang memenuhi segala sudut ruangan. “Hari ini ga ada set list ya,”katanya. “Jadi rekues-an aja. Mau dengerin apa nih?” dengan suara bulat penonton meminta “Resah”. Nada minor yang pertama pun dipetik dan kontan semua orang ikut bernyanyi dengan sendu, “Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu…” lagu-lagu sendu tersebut terdengar begitu menyatu dengan suasana meriah yang tetap diselimuti kesedihan itu.
Selama pertunjukkan berlangsung penonton terlihat tertib namun hangat. Mereka yang beruntung bisa dapat tempat di depan panggung mengerumuni area panggung sambil berlesehan. Mereka yang lain berdesakan di lorong dan di antara meja-meja. Penonton sebanyak itu bisa hening demi mendengarkan dentingan nada pertama dari gitar Is dan kemudian menyanyikan lagu-lagu itu bersama sambil saling bertaut. Sekiranya sore itu jumlah audiens yang membludak namun sangat akrab adalah fenomena tersendiri. Bisa membuat terharu siapa saja menyadari masa sebanyak itu berkumpul di ruangan yang sempit bukan hanya demi lagu-lagu favorit, namun juga demi kedukaan yang dirasakan bersama.
Empatpuluh lima menit mendayu bersama Payung Teduh dirasa kurang bagi mereka yang menyempatkan diri ke Legend Café dan berdesak-desakkan. Beberapa orang mengaku hampir menangis saat menyaksikan penampilan singkat itu, mungkin karena tragedi komunal yang terjadi malah menunjukkan betapa guyubnya komunitas musik kota ini.
Ditemui selepas penampilan singkat namun mengesankan itu, Is, Comi, Ivan, dan Cito mengaku prihatin dengan semua yang terjadi. “Ini pertama kalinya saya main sambil becek nangis.”kata Comi, pemain bass Payung Teduh, “Perasaannya campur aduk antara seneng sama sedih.”
“Tapi panggung tadi menutup segala hal yang negatif. Ya kalau udah begini ga bisa ngapa-ngapain. Cuma bisa ikhlas. Dan buktinya, hari ini indah sih. Bukan ‘sih’. Indah. Indah banget.” kata Is tentang panggung sederhana tadi. Selanjutnya Is menjelaskan bahwa ide untuk tetap manggung dan mengadakan gig sore-sore di Jogja ini merupakan hasil obrolan bersama komunitas Payung Teduh Jogja. “Hal ini menunjukkan pentingnya fan base,” ucapnya. Menurutnya fan base Payung Teduh di Jogja benar-benar telah membantu mereka dalam mengatasi masalah mereka tadi malam, dari mulai menemani ke mana-mana, mencarikan gigs pengganti, sampai tempat tinggal.
Mereka juga mengaku sangat terpukul dengan peristiwa yang terjadi ini. “Bukan masalah ga jadi manggung. Tapi masalah nyawa yang hilang!”kata mereka. Bersama-sama Is dan Comi mengungkapkan kesedihan mereka atas tewasnya Bobby Yoga “Kebo”. “Dalam komunitas kita harus saling menjaga, daripada ada cyber bullying. Kan dia juga niatnya baik mau bikin performance.”
Tetap saja, mereka sangat menyesalkan betapa tertutupnya proses penggodokan acara tersebut. “Keinginan untuk terbuka dan bisa meceritakan apa yang terjadi di dalam Effort itu tidak ada. Sangat disesalkan.” Padahal menurut mereka peristiwa ini terjadi bukan karena kesalahan satu orang saja. “Dia pasti merasa sendirian waktu itu,”ungkap mereka.
“Kami baru tahu kabar pastinya sekitar tadi jam tiga. Setelah itu kita langsung membulatkan tekad untuk mematikan semua kekesalan kami.”kata Is. “Kami tadi juga sempet ngetwit ‘Kekesalan kami tidak sebanding dengan nyawamu’.”
“ Hari ini kami rasanya gamang. Bingung ngerasain apa. Bahagia, kesel, sedih, emosi… Man, ni orang manggil kami dateng. Pasti dia punya alasan untuk manggil kami dateng.”tambahnya menyesal.
“Ya kayak tadi waktu kita mainin “Rahasia”, saya ngerasa sedih banget. Man! Nyawa hilang! Saya jadi inget insiden di Bandung tahun 2007 di mana banyak penonton meninggal. Hal seperti ini tidak perlu terjadi.”ungkap Comi. Mereka mengatakan bahwa tragedi Locstock ini adalah “…catatan hitam di komunitas musik indie. Juga dalam perjalanan kami, Payung Teduh. Udah kayak codet di muka. Ga bisa ilang.”
Ketika ditanya apakah perjalanan pertama mereka ke Jogja membuat mereka kapok main ke kota ini, serentak mereka menampik. “Jogja itu tidak jelek! Peristiwa ini ga ada hubungannya sama Jogja.”kata Is. “Peristiwa tadi malem itu bukan Jogja. Panggung ini nih, yang Jogja banget.”katanya.
Di akhir wawancara Is dan Comi berpesan untuk teman-teman Jogja. “Kejadian hari ini sangat memilukan. Jangan terulang lagi. Ini bener-bener pelajaran buat semuanya… buat artis, buat EO, utk membenahi diri dan saling mensuport. Beneran di-embrace, jangan sampai merasa sendiri. Harus saling menjaga. Dia pasti merasa sendiri waktu itu. Dia punya anak, punya istri, ga logis untuk meninggalkan semua itu. Semakin kamu memeluk seseorang, pasti dia akan bales meluk. Bahkan mungkin dia akan memberikan ciuman balik ke elu.” kata Is menekankan betapa pentingnya dukungan dan keterbukaan dalam komunitas.
Gigs kecil yang akrab di Legend Café itu memang membantu meneduhkan di tengah panasnya permasalahan yang membuntuti Locstock. Selain Payung Teduh, IKSANSKUTER(JKT) juga membuat gig sendiri sebagai penganti batalnya manggung di event Locstock #2 hari ini. (Gis)
Photos by: Randy Surya

Diterbitkan oleh KANALTIGAPULUH, 27 Mei 2013

Selasa, 07 Mei 2013

Lagu Sendu

Entah kenapa akhir-akhir ini saya sering sendu dan galau dan ngelangut sendiri. Ada banyak alasan yang membuat saya tiba-tiba sedih, entah kenapa. Padahal saya sedang baik-baik saja. Mungkin memang itu sifat manusia ya, selalu mencari-cari kegalauan apa pun keadaannya.
Di bawah ini adalah lagu-lagu pengiring minum racun yang yang saya kumpulkan selama jam-jam sedih:

1. Anggito Rahman – Gagak
Bulan sabit hiasi malam. Kolong langit yang sangat muram. Hati terasa remuk dan redam. Berisikan awan kelabu.
Kutau kau kan hilang, bersama waktu yang suram. Burung gagak membawamu ke dalam kegelapan.
Kemuraman kini kan hilang. Aku dia dan kesepian. Terlampau terang di sini. Aku sangat suka kan malam.



Pada suatu malam keluarga saya sudah tidur semua dan semua lampu rumah sudah dimatikan. Saya belum tidur, malah chatting sama teman saya tentang galau masa depan sambil dengerin lagu ini. Total ada 5 orang di timeline yang sedang ngelangut tentang masa depan sambil mendengarkan “Gagak” malam itu.
Dalam kegelapan diiringi lagu itu, berbagi kegalauan dengans seorang teman yang akan segera meninggalkan kota ini, saya tiba-tiba dicekam kesedihan. Saya takut ditinggal teman-teman ke ibukota. Nanti saya main sama siapa? Menteli siapa? Saya benci ibukota. Seperti monster raksasa penghisap tenaga kerja. Teman-teman saya diubah jadi kabel penghantar komoditi.
Teman-teman saya dibawa pergi burung gagak ke ibukota. Tapi, mungkin juga nanti saya nyusul mereka ke sana selepas studi.
Tai.

2. Payung Teduh – Resah
Aku ingin berdua denganmu di antara gaun gugur. Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.



kadang, ada yang gagal paham kalau...   YAWESLAH. Dudududududuuu… *kelesotan sendirian di antara daun gugur*

3. Payung Teduh – Cerita tentang Laut dan Gunung
Tak perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut karena gunung dan laut tak punya rasa.




Terkadang rasanya saya sudah jadi teman yang baik, bahu untuk bersandar dan telinga yang mendengarkan bagi semua orang. Beneran, saya sangat sayang sama semua teman saya dan selalu dengan senang hati mendengarkan keresahan mereka. Tapi sering rasanya waktu saya yang mau balik curhat, saya terhalang perasaan nggak enak. Apakah saya sepenting itu untuk mereka sehingga mereka mau mendengarkan cerita saya? Apakah teman-teman saya sayang sama saya seperti saya sayang sama mereka? Kenapa beberapa di antara mereka tidak bisa diam dan berubah menjadi telinga saja? Bukan mulut yang terus-menerus memotong cerita saya dengan nasehat mereka yang tidak ingin saya dengar, atau cerita hidup mereka sendiri yang malah lebih sedih daripada cerita saya? Lalu saya harus menangis pada siapa? Perempuan berkacamata di cermin itu tidak pernah punya jawaban.


4. Jalan Pulang – Percakapan Tangis
Usai sudah cerita suka. Tawa canda sirna. Lara.
Takkan slamanya ini luka, tunggu saja di tempat yang berbeda di hari yang tak sama.




Ada masa di mana suatu kesedihan ekstrim melanda saya sampai kata-kata tidak bisa lagi menggambarkan lara yang harus ditanggung hati. Yang nyata hanya duka yang menggantung di tembok-tembok kamar dan air mata yang tercecer di kertas-kertas buku harian yang gagal menangkap kesedihan yang berusaha ditulis.
Tapi luka itu tidak akan selamanya.

5. Frau – Glow
Hold me, you shall never ever see me
Blankets will not hesitate me
Flowers shant even wake

Kiss me, 'tis the last time you may see me
'Tis the last time light shall harm me
I shall cry myself to death

Funny, how you never showed your love to me
Lovely, oh the lights I can see
It's gleaming in my eyes like when you

Burned me, tear my skin off and leave me
'Tis the last time you may hold me
'Tis the last time I shall say good bye




Jika boleh saya mati ketika sudah sangat tua, dikelilingi anak cucu, disebuah ranjang yang hangat, di suatu sore yang cerah, dengan daun-daun berguguran di halaman yang terlihat dari jendela kamar tempat saya mati. Dan jika boleh saya mati dengan lagu sesedih, selemah, dan setabah ini.


6. Frau ft. Ugoran Prasad – Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa
Seperti takkan pernah pulang kau membias di udara dan terhempaskan cahaya.
Seperti takkan pernah pulang,
ketuk langkahmu menarilah di jauh permukaan.




Kadang kamu harus menutup kisah yang indah karena sudah berceceran darah. Kadang kamu harus melepaskan dan membiarkannya pulang. Kadang kamu harus menari sendiri di luar angkasa.