Sabtu, 27 Maret 2010

Requiscat in Pace


Ruang kelas ini gelap sekali di malam hari. Satu-satunya sumber cahaya hanya jalur-jalur cahaya bulan yang menyelundup masuk lewat jendela kaca. Aku duduk di atas meja paling belakang, mendekap erat bonekaku, Charlotta. Menyenandungkan sebuah lagu yang kupelajari di Gereja bertahun-tahun lalu.

“Requiem aeternam Donna eis domine.”

Aku bersenandung pelan-pelaaan sekali agar gadis itu tidak bangun. Dia tertidur meringkuk dalam kesakitannya di atas bangku di bawah kakiku. Kaki-kaki telanjangku yang bergoyang-goyang kadang menembus perutnya.

Aku menunduk memandanginya. Mimpinya pasti buruk. Tetes-tetes keringat membanjiri kepala dan tubuhnya. Rambutnya basah oleh keringat terurai menutupi wajahnya. Seragamnya basah. Dagunya gemetaran. Isakan timbul tenggelan dari bibirnya yang pucat. Biji matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopaknya yang tertutup rapat.

“Requiem aeternam Donna eis domine…”

Liveon… kasihan kamu.

“Hai, Hantu.”tiba-tiba Kematian sudah ada di sebelahku. Duduk di atas meja. Jubah hitamnya memenuhi udara dengan kesan suram yang selalu dia tinggalkan sebagai jejak. Tongkat sabitnya berkilau di belakang punggungnya.

“Hai.”balasku singkat. Kami kembali memandangi Liveon dalam sakrat maunya.

“Sudah waktunya kah?”tanyaku.

“Kalo tidak sekarang dia akan menderita sekali.”jawab Kematian.

“Apa masalahnya?”

“Dia telat minum obatnya, nampaknya.”

Liveon gemetar semakin hebat. Isakannya makin keras. Air matanya mengalir. Aku memiringkan kepalaku ke kanan, terus bersenandung.

“Et lux perpetua… et lux perpetua… luceat…”

Kematian diam saja di sebelahku. Wajahnya yang berupa bayangan hitam di balik tudung jubahnya terus terpaku memandangi Liveon.

“Luceat eis…”

Aku dan Kematian menontonnya mati.

“Kamu bersamanya terus dari tadi?”tanya Kematian.

“Aku di sini terus. Aku mau menemaninya.”

“Kita tahu bukan itu tujuanmu menungguinya mati.”

Aku membuka mulut mau menjawab. Tapi kata-kataku tertahan karena aku tahu Kematian benar. Jadi aku diam saja, terus menggoyang-goyangkan kakiku di udara menembusi perut Liveon yang gemetaran.

“Apa yang dia lakukan dari tadi, Hantu?”

“Dia hanya ketiduran di kelas dan waktu bel pulang tak ada yang membangunkannya.”jawabku. “Semua temennya meninggalkannya, dan waktu dia bangun tadi sore pintu kelas terkunci.”

“Apa penjaga sekolah tak meriksa kelas waktu ngunci?”

“Tidak,”jawabku singkat.

Kematian berpaling memandangku, tapi aku memeluk Charlotta lebih eart, menggoyang-goyangkan kakiku lebih keras dan wajahku tertunduk merasa bersalah.

“Kamu harus jaga sikapmu, Hantu.”ujar Kematian, “Pasti mereka tak meriksa kelas karena takut padamu.”

Aku diam. Penjaga sekolah memang takut padaku. Tiap sore mereka cepet-cepet mengunci tiap pintu di sekolah tanpa memeriksa ruangannya.

“Aku tidak nakal.”kataku.

“Tapi mereka pasti takut kalo masuk ke sebuah kelas kosong lalu tiba-tiba mendengar anak kecil yang tidak kelihatan, menyanyikan lagu Belanda.”

“Aku tidak nakal!”tegasku. Kupandang wajah Kematian. Bahkan ketika kami berhadap-hadapan, aku tetap tak bisa melihat wajahnya. Aku hanya bisa melihat siluet wajah pucat yang tertutup bayangan hitam.

“Kamu bisa agak mundur ke sana, Noni?”tiba-tiba Liveon berbisik lirih. Matanya sayu terbuka, tapi memandang tajam langsung ke mataku. “Dingin sekali kalau kakimu terus menembusi perutku seperti itu.”

Aku terkejut. Kakiku tertanam di perutnya, tak bergerak saking kegetnya melihat dia bangun.

“Tolong?”mohonnya. Tubuhnya masih gemetaran. Dia pasti kedinginan. Dan kesakitan. Tapi aku diam saja.

“Mundur, Hantu.”ujar Kematian .

“....?”tanya Liveon lirih. Rasanya sisa napasnya hanya cukup untuk memanggil Kematian. Tapi Kematian diam saja.

“...?”ulangnya. Aku terkejut Liveon tersenyum. “Aku… mau… tanya…”

“Iya, Live.”jawab Kematian. Dia sudah tahu jawabannya sebelum ditanya. “Aku lihat mereka. Aku lihat mereka mati.”

“Pasti… hebat…”ujar Liveon. Aku tak tahu persisi di mana letak hebatnya. Dia Kematian Dia pasti lihat semua orang mati. Bahkan yang kematiannya misterius.

“Tedecet hymnus deus in Sion…”gumamku melanjutkan nyanyianku.

“Noni…”bisik Liveon lemah, “Kami sudah dengar banyak tentangmu.”

“Kami?”

“Aku… dan… teman… teman… sekolahku…”

“Teman?”

“Teman…”air mata mengalir lagi dari matanya yang sayu, melintasi hidungnya menetes ke ubin kelas.

“Teman yang meninggalkan kamu tidur di kelas?”

“Hantu…”Kematian mencegahku.

“Teman yang tidak membangunkanmu waktu jam pulang?”

“Hantu…”

“Teman yang tidak mencarimu ketika kamu tidak pulang sampai selarut ini?”

“Hantu…”

“Teman?!!”aku meledak. Aku terbang melintasi ruang kelas, lalu mendarat di pinggang Liveon. Aku menunduk, mengelus pipinya yang hampir mati. Kusibakkan rambutnya, kuusap air matanya, dan aku bawa wajahku berhadapan dengan wajahnya. Mata kami bertatapan.

“Aku mau jadi temanmu…”bisikku.

Mata sayunya seketika membelalak ketakutan. “Jangan…”bisiknya, “Jangan…”

“Hantu…”Kematian menarikku menjauh, lalu menggamit tangan Liveon. “Kami mau pergi.”

“Aku ikut!”mohonku. Kupeluk pinggang Kematian. Aku menangis seperti anak kecil. Sedih sekali rasanya. “Aku ikut… aku ikut… aku ga mau di sini… aku sudah menunggu lama sekali…”

“Kamu sendiri yang dulu memilih tinggal.”kata Kematian.

“Aku ikut…”mohonku. Aku menangis tersedu-sedu.

Tiba-tiba Kematian melepas Liveon. Dia duduk lalu memelukku, lama sekali. Aku berlama-lama menenggelamkan diri dalam dekapannya yang dingin, suram, dan mati. Lalu dia mendudukkanku yang sudah diam di atas meja lagi. Aku memeluk Charlotta, dan menggoyang-goyangkan kakiku lagi menembusi perut Live. Tapi ternyata dia sudah mati.

Jiwanya duduk di sisi Kematian yang sebelah lagi. Aku tak mau memandangnya. Melihatnya pergi membuatku sedih.

“Jangan rewel.”kata Kematian. Lalu mereka pergi.

Aku sendirian lagi di sini. Memeluk Charlotta. Menggoyang-goyangkan kakiku menembusi tubuh Liveon yang sekarang sudah dingin.

“Et tibi redetur votum in Jerusalem…”gumamku melanjutkan laguku. Kupandangi mata Liveon yang membelalak, tak bisa menutup lagi. “Ex audi orationem meam… Ad te omnis caro veniet….”

Kupeluk Charlotta erat-erat.

“Lagu itu bahasa Latin…”gumamku.

Gisa

4 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar