Beberapa bulan lalu
saya harus membaca buku karangan Saya Shiraishi berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga dalam
Politik Indonesia (1997). Kebetulan di kelas itu saya kebagian
membaca sebuah bab menarik berjudul “Remaja Ambivalen”. Di bab tersebut,
Shiraishi memaparkan ada suatu kelompok masyarakat di Indonesia yang terdiri
dari orang-orang berusia belasan hingga awal dua-puluhan yang posisinya begitu
ambigu di mata kelompok masyarakat lain. Di tahun 40an, kelompok ini disebut
“pemuda”, yakni mereka yang revolusioner dan vokal dalam penentuan arah politik
di sekitar masa-masa kemerdekaan. Di tahun 60an, golongan yang menonjol dari kelompok
ini adalah “mahasiswa”, mereka yang terpelajar dan bersemangat mengkritisi
pemerintahan yang baru (dengan tokohnya yang mungkin paling terkenal, Soe Hok
Gie). Sedangkan di tahun 80-90an, mereka disebut “remaja”. Menurut Shiraishi,
kata “remaja” membuat kita teringat dengan sekumpulan orang yang belum matang,
cenderung bergerombol, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan tidak
penting.
Mengapa tidak
penting? Karena para remaja ini dianggap sebagai bagian masyarakat yang tidak
punya agensi dalam perubahan apa pun. Mereka cenderung skeptis dengan politik,
abai terhadap apa yang terjadi dengan bangsanya, dan hanya peduli dengan
hal-hal yang dianggap “remeh”, seperti fashion dan musik.
Dinamika sosial mereka tidak dianggap sebagai sesuatu yang signifikan dalam
perputaran roda negeri ini. Mereka sendiri juga tidak peduli, menganggap diri
tidak punya kepentingan apa pun dalam semesta bangsa dan karenanya, malah
menjadi kelompok yang paling mudah disetir oleh tangan-tangan politik yang
tidak kelihatan. Mereka abai, dan diabaikan.
Deskripsi ini tentu
tidak untuk dibaca sebagai gambaran umum pemuda Indonesia tahun 90an. Lihat
saja para mahasiswa yang menduduki DPR dan menggulingkan Orde Baru di tahun
1997! Apakah mereka skeptis dan abai terhadap politik? Tentu saja tidak. Saya
membayangkan menjadi mahasiswa revolusioner di tahun 90an, mengenakan jeans
sobek-sobek dan flanel kotak-kotak, bergincu merah dan berambut bob jambul,
berteriak-teriak di depan Senayan di bawah panasnya terik matahari setelah
mendengarkan asupan lagu-lagu grungepagi harinya. Terlepas dari
apa dan bagaimana dan berujung apa yang namanya Reformasi itu, kelompok
anak-anak ini jelas tidak abai dengan apa yang terjadi. Mereka waspada, mereka
aktif, mereka punya agensi.
Kembali ke tahun ini,
awal 2015 yang masih segar setelah diguyur hujan akhir tahun, saya bercermin
kepada deskripsi-deskripsi ini untuk melihat diri saya sendiri dan orang-orang
muda di sekitar saya. Apakah kami apatis? Apakah kami abai? Apakah kami
waspada? Dengan rendah hati saya akan menyatakan diri sebagai bagian dari
remaja ambivalen yang sebodo amat dengan pergolakan politik dan tren
kepemimpinan di negeri ini.
Contohnya begini:
beberapa tahun yang lalu saya masih mau jadi joki TOEFL untuk mahasiswa
pascasarjana fakultas hukum di universitas negeri paling bergengsi di kota.
Pekerjaan itu saya lakukan hanya demi beberapa lembar rupiah merah yang saya
habiskan untuk tour sama band saya di negeri tetangga. Selain saya pasti ada
banyak joki TOEFL lainnya yang melakukannya untuk berbagai macam motivasi lain:
beli sepatu Vans, tas Jansport, vinyl band kesukaan, backpacking ke luar negeri
atau sekedar nongkrong di kafe kelas atas. Coba, ada berapa mahasiswa Sastra
Inggris yang mau melacurkan ilmunya dan melebarkan lubang jarum yang harus
dilewati oleh intelektual-intelektual palsu itu supaya lulus S2? Ada berapa
advokat abal-abal yang berhasil menapaki jenjang karirnya dengan menggunakan
jasa joki-joki TOEFL seperti saya dulu, anak muda tidak pedulian di akhir usia
belasan?
Sebagai orang muda
kita harus sadar bahwa jika kita tidak menggunakan kemampuan kita (ilmu,
keterampilan, apapun) secara kritis, orang lain lah yang akan menggunakannya.
Jika kita tidak menjadi agen, kita akan dijadikan alat.
Namun ke mana
anak-anak muda bisa belajar menjadi kritis? Dengan cara apa kita bisa menjadi
peduli? Mendengar kata “politik” saja kita sudah malas. Kita bisa dengan
entengnya ngomong “Politik tai kucing!” tanpa mengerti apa itu politik dan apa
itu tai kucing. Kemalasan adalah hal yang paling berbahaya, karena kemalasan
adalah ujung pangkal sikap tidak peduli yang akhirnya membuat kita tersetir
oleh mereka yang berkepentingan tanpa kita menyadarinya. Kemalasan untuk
menjadi kritis akan membuat kita menjadi anak-anak muda yang kering, yang puas
dengan plot hidup sekolah – kerja – nikah – bikin bangga orang tua, tanpa
berpikir bahwa kita bisa menjadi orang dewasa yang utuh dan substansial jika
kita cukup berani.
Menyadari
karakter-karakter remaja ambivalen yang abai dan malas ini, di mana saya
menjadi bagian darinya, saya melihat ketjilbergerak sebagai sebuah komunitas
yang berbahaya. ketjilbergerak mengakomodasi kemalasan dan pengabaian kita,
lalu menggunakannya untuk menjadikan kita suatu angkatan yang kritis dan
politis, bahkan tanpa kita menyadarinya. ketjilbergerak menyediakan suatu ruang
belajar yang menyaru menjadi taman bermain bagi floating mass yang terdiri dari
anak-anak muda usia belasan akhir dan awal 20an.
Menggunakan
unsur-unsur yang sangat disukai anak muda: fashion, musik,
kegiatan-kegiatan asik, dan akun media sosial yang populer, anak-anak muda ini
dibuat tidak sadar kalau mereka sedang belajar dan sedang berlatih bekerja untuk
menjadi orang dewasa yang utuh. Mereka mengira mereka sedang bermain dan
membangun citra sebagai anak muda keren yang menjadi bagian dari budaya
populer. Yang menurut saya, suatu metode yang sangat jenius.
Hanya dengan
menggulung lini masa Twitter di smartphone masing-masing
setelah bangun tidur, mereka yang mengikuti @ketjilbergerak akan mendapatkan
asupan semangat pemuda revolusioner setiap pagi. Dimampatkan dalam 140 karakter
yang dibombardirkan sebagai kultwit, ketjilbergerak bisa merevolusi sejumlah
remaja galau menjadi remaja galau yang kritis dari hari ke hari.
Sebagai anak yang
sangat suka dan peduli dengan musik, saya juga angkat topi untuk keseloan
ketjilbergerak menggunakan musik sebagai senjata revolusioner. Mereka membuat
band virtual yang menciptakan lagu-laguanthem, lalu merilisnya secara
bebas di Soundcloud di bawah label ketjilbergerak records. Sudah
empat lagu yang mereka rilis, bergandengan dengan band-band independen papan
atas Yogyakarta seperti Belkastrelka, ERWE dan Freddy dari Armada Racun.
ketjilbergerak membuat lagu dan liriknya, lalu para musisi ini diperkenankan
mengaransemen ulang dan menampilkannya. Genre yang diangkat juga otomatis
beragam: Belkastrelka menampilkan elektro pop punk, Erwe dengan musik
2tone-nya, dan Freddy dengan post-punk yang membara.
Tepat di awal tahun
ini, ketjilbergerak merilis satu lagi lagu dengan duo folk yang belum pernah
saya dengar, Tan Hana. Lagu berjudul Jadilah Luas ini
sejujurnya adalah lagu anthem ketjil yang paling
saya sukai. Tiga menit alunan elektronik gelap yang entah bagaimana bisa
terdengar folk, mampu menyerukan ajakan untuk menjadi kritis, aktif dan waspada
tanpa perlu berteriak-teriak.
“Jadilah luas!” seru
lagu tersebut, “agar tak mudah dikotakkan, agar tak mudah disempitkan.” Jadilah
luas, seperti matahari dan seperti udara yang berada tanpa nama dan tanpa
bahasa. Demikianlah anak-anak ketjilbergerak dicetak untuk kemudian disebarkan.
Mereka diharapkan akan menjadi anak-anak yang “luas”, yang punya kemampuan
untuk menampung kemerdekaan berbagai kelompok yang berbeda, yang punya
kemampuan untuk berdialektika dengan berbagai sudut pandang, menjadi angkatan
yang punya perangkat kritis untuk mencerna kisah-kisah kehidupan yang sedang
bergulir di depan mata mereka.
Penggunaan kesenian,
apalagi penciptaan lagu-lagu anthem, sebagai alat
ideologi bukanlah barang baru. Lihat saja lagu-lagu kebangsaan yang dinyanyikan
dalam sikap militer setiap Senin pagi oleh anak-anak sekolah kita. Lihat saja
LEKRA yang didirikan oleh PKI di masa jayanya dulu. Kesenian adalah jalan mudah
untuk membentuk karakter ideologis suatu kelompok massa karena sifatnya yang
estetis dan asik. Itulah mengapa kesenian bisa jadi sangat berbahaya.
ketjilbergerak jelas
bukan partai politik. Saya juga sulit membayangkan anak-anak ketjil dan
teman-teman musisi indie ini menyatakan diri bergerak dalam kerangka politik
seperti yang diketahui hari ini. Namun saya melihat sesuatu yang sangat militan
dalam filosofi mereka mengenai toleransi, keradikalan dalam pandangan mereka
mengenai kesetaraan, dan anarki dalam metode-metode yang mereka gunakan untuk
berkesenian dan berkegiatan. Angkatan perubahan di zaman ini adalah mereka yang
mendengarkan musik cutting-edge, berpakaian keren
secara slebor, bertato, dan ditindik; tidak kenal lelah mengetikkan ide-ide di
layar komputer untuk dibaca oleh seluruh dunia, berbicara dengan semangat dan
percaya diri di depan umum, mengorganisir acara-acara keren untuk mengumpulkan
anak-anak muda potensial di seluruh kota, sambil tersenyum dan berkata, “ya,
saya peduli, saya waspada, saya percaya akan kebaikan bagi seluruh dunia tanpa
memandang nama dan bangsa”.
Karenanya, menjadi
luas, seperti yang diserukan oleh lagu ini, saya artikan sebagai inti dari
gerakan ketjilbergerak. Menjadi luas bukanlah tugas yang enteng. Menjadi luas
berarti menyediakan diri untuk menjadi pribadi yang toleran, punya sudut
pandang yang luas, dan menjadi kritis di waktu yang sama.
Tetaplah menjadi
ambivalen, para remaja, karena kegalauan kalian adalah senjata revolusioner
untuk membawa perubahan. Karena anak-anak muda yang suka bergerombol dan
nongkrong ini, yang diabaikan dan dianggap tidak penting ini, yang tidak
disiplin, liar, dan gampang naik darah ini, bisa menjadi angkatan berbahaya
yang siap membolak-balik stereotip sempit yang masih banyak berakar di sekitar
kita.
----
Artikel ini dimuat di ketjilbergerak.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar