Rabu, 11 Maret 2015

Tiga Aksi Eksperimental Paling Menarik di Jogja Saat Ini

projek Raung Jagat milik Rully Shabara,
salah satu projek eksperimental high profile yang belum lama ini ditampilkan di Kedai Kebun Forum


Jika mendengar kata kunci “musik eksperimental” dan “Jogja”, mungkin kita akan langsung kepikiran Zoo, Senyawa, atau projek-projeknya Rully Shabara lainnya. Bisa juga kita langsung kepikiran Instrument Builders Project atau Jogja Noise Bombing sebagai kolektif yang mewadahi anak-anak yang suka bebunyian aneh dan alat-alat musik nggak umum di kota ini. Mungkin istimewanya skena musik Jogja adalah bahwa di sini kita bisa mendengarkan yang lebih aneh dari yang teraneh. Bahkan kategori eksperimental nominasi ICEMA 2014 didominasi oleh band-band Jogja, diantaranya Wirok, Sabarbar, Slarong, dan Zoo.

Musik eksperimental memang bukan musik “nuttella” yang bisa bikin semua orang seneng. Sejujurnya saya juga tidak terlalu suka musik eksperimental. Saya tidak pernah mendengarkan rilisan-rilisan eksperimental di rumah sambil mengerjakan PR, misalnya (salah satu fungsi utama musik buat saya adalah buat nemenin ngerjain PR). Ekstrimnya, ada juga anti-hipster yang menganggap karya-karya eksperimental sebagai “...a pathetic attempt to cut the edge by doing something un-understandable”. Bahkan kalau kita mengacu ke Urban Dictionary, arti kata “experimental” adalah “...another way of saying it sucks.”

Saya tidak sepakat dengan definisinya Urban Dictionary di atas, tapi tidak bisa dipungkiri gigs eksperimental dan noise sering kali membosankan. Performans yang terdiri dari satu dua orang memutar-mutar kenop efek pedal, atau bebunyian instrumen mutan,  tidak bisa membuat saya berkontemplasi. Tapi, namanya juga musik eksperimental. Setiap kali saya datang ke gigs seperti itu, pasti ada hasil eksperimen yang saya tonton sambil bengong saking kerennya.
Di bawah ini adalah tiga unit eksperimental Jogja yang penampilannya di line up membuat sebuah gig pantas didatangi.

1. Chika dan Pistol Air

Chika dan Pistol Air di Cellsbutton, Mei 2014


Ketika pertama kali mendengar ada band bernama Chika dan Pistol Air, saya langsung membayangkan band “female fronted melodic punk with sad boys” yang menyanyikan lagu-lagu tentang main skateboard dan bolos sekolah. Saya tidak tahu kalau Chika dan Pistol Air ternyata adalah duo elektronik mahasiswa seni rupa yang sudah bosan kuliah tapi masih senang menggambar.

Muhammad Chika dan Kahfi Eska Yusac memainkan lagu-lagu upbeat dengan lirik-lirik singkat tapi menghantam, seperti “PATIL MAUT! SEKALI PATIL LANGSUNG MANUT!”, “JANGAN KAU MENATAPKU, AKU TAK MEMBAWA MASA DEPANMU!”, “YANG DICARI SELALU HILANG, YANG DITUNGGU TAK PERNAH DATANG!”. Mungkin karena mereka mahasiswa DKV, mereka pintar memaksimalkan efektifitas fungsi kata-kata sehingga sebaris kalimat saja sudah bisa menjadi senjata branding yang ampuh. Lirik yang paling diingat masyarakat mungkin “KAMU JAHAT SAMA AKU SAMA DEDEK!” . Lirik itu begitu mengena, sampai-sampai ada orang yang belum pernah nonton Chika dan Pistol Air tapi sudah familiar dengan kalimat itu.

Akhir-akhir ini Chika dan Pistol Air mengawali pertunjukannya dengan sabda ini, “AKU DATANG DARI DIMENSI KELIMA. AKU ADALAH DIRIMU YANG MATI.... AKU KAN MENCARIMU DAN MEMBUNUHMU.” Menyanyikan lirik itu, salah satu dari mereka (seringnya Kahfi) akan berbaring di lantai panggung dan personel satunya (seringnya Chika) menginjak kepalanya. Setelah itu mereka akan berdiri dan melonjak-lonjak ke sekeliling ruangan. Pernah sekali Kahfi naik ke atas subwoofer lalu melakukan crowdsurfing sementara crowd itu sendiri tidak ada. Hasilnya dia jatuh ke lantai pavling block yang keras, tapi dia tidak mengaduh dan terus menyanyi sementara kita yang nonton bengong sambil terbelalak. “Gile,”pikir saya waktu itu, “Mau ngeband aja susah amat yak. Paitannya begini banget.”

Pertama kali menonton duo ini di Bingo DIY, mereka membuka pertunjukan dengan “Patil Maut”. Mereka naik panggung dengan serombongan anak-anak ISI lainnya yang menarikan tarian “Patil Maut” (sudah ada tutorialnya di youtube). Mereka berdua mengenakan topeng garong dan tampil sangat ekspresif. Sekarang topeng garong dan tarian “Patil Maut” itu sudah tidak pernah dikenakan lagi, tapi mereka tetap amat ekspresif dan meledak-ledak.

Chika dan Pistol Air sangat unik dibanding unit-unit elektronik “two dudes with a macbook” lainnya. Chika, menurut saya, sering bertanggung jawab di bagain melodinya. Dia mendesain musiknya, memainkan gitar dan keyboard, dan menyanyikan part-part yang melodius. Kahfi, sebaliknya, menjadi wajah yang garang dengan stage-act yang menohok. Nyanyiannya kerap kali berupa pekikan-pekikan galak yang mengajak kita memekik bersama.

Sayangnya Chika dan Pistol Air belum punya rilisan. Materi digital mereka yang bisa diakses di internet hanya satu track live di soundcloud dan video-video dokumentasi pertunjukan mereka yang seringnya pembukaan pameran teman-teman sendiri. Tapi untuk ukuran band yang belum punya rilisan, mereka cukup sukses membuat audiens hapal lagu-lagu mereka sehingga bisa diajak nyanyi bersama.


Kelas Tutorial Patil Maut (bagian yang menarik ada di bagian tengah sampai selesai):



Hasil dari Kelas Tutorial Patil Maut:





2. Sabarbar





Kalau kamu familiar dengan Kultivasi dan Asangata, pasti kamu kenal dengan Akbar Adi Wibowo. Dia adalah anak muda pendiam berambut panjang berkeriapan yang ekspresi wajahnya sukar ditebak. Seingat saya, saya belum pernah lihat Akbar tertawa lepas, marah-marah, atau menunjukkan ekspresi lainnya. Tapi dia punya jaket beremblem Multivision Plus, menunjukkan level selera humornya yang ternyata melebihi raut wajah. Akbar pernah tampil bersama Rabu, menaburi panggung dengan bunga sesajen sebelum Wednes dan Tempe naik pentas. Dia juga seorang Wota, sehingga tidak heran kalau akun instagramnya penuh foto-foto gadis kawaii yang ia akui sebagai “mamanya anak-anak”. Selama beberapa bulan, Akbar juga bekerja sebagai waiter di cafe pancake super imut di daerah Sagan. Saya pernah main ke cafe itu sambil berharap mendapat pengalaman ngafe cantik. Ternyata yang mengambil pesanan saya adalah pemuda gondrong bertampang tidak pedulian yang adalah Akbar. “Halo, Mbak Gisa,”sapanya tanpa tersenyum, “Mau pesen apa?”

Sabarbar adalah projek solonya Akbar yang dilabeli genre Freak-Folk/Blues (kadang-kadang Brutal Blues). Dengan Sabarbar, Akbar menyanyi dengan suaranya yang berat dan seram ditemani gitar elektrik, kadang-kadang dengan sepotong sikat gigi atau sebuah handphone.

Saya pertama kali menonton Sabarbar di gigs launchingnya Warning Magz di Fisipol UGM. Di situ saya puas tertawa ngakak gara-gara lirik lagu-lagunya yang wagu tapi lucu. Misalnya, “Hey nona-nona, kemarilah. Hey nona-nona, kemarilah. Aku tampan, dermawan, dan juga mapan, ayo kita kencan.” Ada juga trilogi lagu tentang tiga perempuan yang saling bersahabat, Loreta, Cynthia, dan Deborah. Selain itu ada juga lagu tentang fans Paramita Rusady, pesinetron idola di tahun 90-an.

Selain lagu-lagu dengan lirik keseharian yang dibikin ngeselin karena dinyanyikan dengan suara yang berat dan ekspresi yang datar, Sabarbar juga membuat lirik berbau metafisika seperti, “Menggunakan alat mandi sebagai alat komunikasi: sabun jadi handphone.” Lagu inilah yang membuat Sabarbar masuk nominasi ICEMA. Di gigsnya Warning Magz waktu itu, Akbar menyanyikan lagu ini sambil mengulum sikat gigi berbusa odol. Gimmicknya yang lain adalah karaokean dengan mp3 lagunya sendiri yang disimpan di dalam handphone. Trik ini digunakan di lagu pungkasan waktu Lelagu#13, di mana dia menyanyikan “Radio. Video. Berakhir dengan huruf ‘O’.” Alasannya, “Saya lupa sama kunci (gitar)nya, jadi saya karaokean aja ya.”

Sabarbar, menurut saya, adalah satu paket pertunjukan yang sangat unik. Lirik-lirik absurd, nada asal-asalan, gimmick-gimmick tidak terduga, raut wajah datar, dan kepribadian Akbar sendiri yang tidak biasa membuat Sabarbar layak ditonton di setiap penampilannya. Sayang, karena kekuatan Sabarbar paling besar ada di liriknya, Akbar harus dikasih sound yang oke supaya kata-katanya terdengar jelas. Hal-hal seperti ini seringkali luput di gigs-gigsnya Sabarbar yang kebanyakan berskala kecil.
Selain pertunjukannya, rekaman-rekaman Sabarbar juga layak didengarkan (asal jangan lama-lama dan di-repeat sering-sering, nanti gila). Tiga EPnya bisa diunduh gratis via Ear Alert Records, yaitu Gitu Apa Ya Aduh Kak Aku Jadi Pusing (2013), Do Re Mi(e Ayam) Fa Sol La Si Do (2013), dan Aku akan Bersabar & Trilogi Tiga Sekawan (2012). Album “Terror Seekor Naga Mengerikan!” dirilis secara fisik oleh A Room with a View.







 3. Palasick



Menurut cerita rakyat Minangkabau, ada orang-orang yang berilmu hitam tinggi dan bisa berubah wujud menjadi makhluk halus. Ketika bergentayangan, makhluk halus ini gemar makan balita, bayi, janin dalam kandungan, bahkan mayat bayi yang sudah dikubur. Makhluk ini berwujud kepala yang melayang-layang dengan usus terburai bergelantungan dari lehernya. Makhluk halus ini disebut pelesit, atau palasik dalam lafal yang berbeda.

Hilman Fathoni, mahasiswa Hukum UGM keturunan Pakistan yang menetap di Jogja, mengadaptasi cerita itu dan menjadikannya bungkus karya eksperimentalnya. Palasick adalah Hilman yang menggunakan berbagai macam properti; dari batang-batang besi, mikrofon, hingga tubuhnya sendiri, untuk membuat pertunjukan yang sakit, gila, dan emosional. Kekuatan bunyi Palasick, menurut saya, adalah di permainan vokalnya. Mungkin selain Rully Shabara, hanya Hilman di Jogja yang main eksperimentasi pakai vokal. Tapi tidak seperti Rully, Hilman masih pakai berbagai efek elektronik untuk membuat vokalnya mengeluarkan gerutuk-gerutuk seram dan ambiens embuh yang lumayan bikin stress. Palasick biasanya main di gigs noise, dan seperti unit noise kebanyakan, dia tidak main perlagu. Sesi pertunjukan Palasick biasanya bebunyian menyebalkan selama beberapa puluh menit, yang diproduksi dengan gestur tubuh yang mengerikan dan hampir memuakkan. Setiap pertunjukannya sukses membuat saya tercabik antara muak dan terpana, efek yang sama seperti kalau saya nonton film slasher.

Terakhir kali menonton Palasick adalah gigs noise beberapa hari lalu di Warkop Jocmart. Saat itu Hilman mengenakan kaos kuning cerah, celana pendek, dan sandal santai, asyik mengobrol sambil minum susu putih. Berbeda dengan Akbar, Hilman anaknya banyak senyum, sering ketawa, dan suka ngobrol. Biasa saja, seperti anak muda kebanyakan.

Namun ketika berada di wilayah panggung, dia menjadi pribadi yang berbeda. Malam itu dia berteriak-teriak, melolong-lolong, memukul-mukul dan membeliakkan mata. Puncaknya dia memasukkan mikrofon ke dalam mulutnya dan terus mengaduh-aduh sambil kejang-kejang. Hanya sedikit yang hadir di warung kopi kecil itu, tapi semuanya terpaku menonton Hilman dan tingkahnya yang tidak wajar.

Aksi Palasick yang menurut saya juga keren adalah waktu dia main di Yesnoklub awal tahun ini. Dia mengumandangkan ayat-ayat Al-Qur’an dan memukul-mukulkan mikrofon ke dahinya sendiri. Saat pertunjukannya selesai, dahi Hilman memar-memar parah dan baru sembuh setelah beberapa hari. “Wah gawat nih, Hilman ga boleh terkenal,”ujar Satya Prapanca waktu itu, “Kalau terkenal dan manggung terus, bisa bego dia.”

Selain punya Palasick, Hilman juga punya netlabel Ear AlertRecords yang sering merilis rekaman-rekaman noise dan eksperimental. Dia punya projek pengarsipan gigs dalam bentuk video bernama Bioskop Semut Gajah. Selain itu dia juga sedang menulis skripsi tentang undang-undang hak cipta dalam kaitannya dengan Creative Common Liscense dan netlabel.



NB: sangat sulit mencari video dokumentasi Palasick seperti yang dimainkan Hilman belakangan ini. Di atas ini adalah video-video Palasick beberapa tahun lalu. Memang berbeda, namun ini adalah cikal bakal apa yang ditampilkan Hilman di sekarang.

***


Ketiga unit eksperimental yang saya tulis di atas ini memang bukan mereka yang mewakili wajah skena eksperimental Jogja di mata dunia. Mereka main di gigs-gigs kecil di berbagai tempat aneh di kota yang miskin venue ini. Namun, untuk ukuran saya ketiganya sudah layak dikejar setiap pertunjukannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar