Jumat, 28 November 2014

Kisah Sang Penyusup: Perjalanan ke RRRecFest in the Valley

Panggung Rumpun Bambu, asap dari api unggun, dan penonton yang mengenakan mantol hujan warna-warni


Di awal November ini, saya jadi percaya bahwa kita tidak akan tahu di mana dan bersama siapa kita menghabiskan waktu. Sore itu saya sedang duduk di rerumputan Tanakita, Sukabumi. Di depan saya sedang bermain Backwood Sun, band keren yang saya belum pernah tonton sebelumnya. Di sebelah saya ada teman-teman saya, Wednes Mandra dan Judha Herdanta (sering dipanggil Tempe) dari Rabu yang baru saja selesai sound check, juga Adelina Maryam yang hadir untuk meliput. Kami sedang berada di RRRec Fest in the Valley!

Semua teman saya tahu bahwa saya ingin sekali nonton RRRec Fest 2014. Kemah 3 hari  di lereng Gunung Gde Pangrango sambil nonton band-band cutting edge terbaik di Indonesia! Sayang sekali harganya terlalu mahal buat saya yang pengangguran ini. Jadi sebenarnya saya sudah ikhlas dan menyetem hati untuk bersikap biasa saja setiap kali Komikazer bikin gambar lucu untuk iklan RRRec Fest di instagram, atau kalau Natasha Abigail mengetwit update-update terbaru tentang festival itu, atau kalau Rabu mengunggah panduan tali temali pramuka untuk persiapan kemah mereka nanti. 

Tanpa disangka, Wok the Rock menghibahkan tiket kereta dan free pass-nya sebagai pendamping Rabu di detik-detik terakhir. Pagi tanggal 31, saya, yang sedang santai nyuci baju sambil mikirin mau malem mingguan sama siapa, langsung panik dan jungkir balik setelah diwatsap bahwa saya bisa berangkat sore itu juga ke Jakarta. Benar saja, beberapa jam kemudian saya sudah berada di dalam kereta Gajah Wong bersama Wednes, Tempe, dan Ojie Adrianto dari Rabu. Bersama kami ada juga rombongan Seroja yang terdiri dari Rully Shabara, Sony Irawan, Satya Prapanca, dan Yoga Supeno; serta Adel yang mendapat kursi di gerbong lain. Kami akan bergabung dengan Haninditya, istri mas Sony, di Jakarta. Semua janjian saya untuk akhir minggu itu dibatalkan. Tidak pakai persiapan matang. Tidak pakai pikir panjang.

Kurang dari 24 jam kemudian, saya naik bus dari Ruru ke Tanakita bersama serombongan selebriti cutting edge yang selalu saya hadiri panggungnya kalau mereka tour ke Jogja. Ada yang aneh ketika tiba-tiba subjek-subjek mengagumkan menjadi begitu dekat, misalnya ketika saya dapat kesempatan naik bus bareng idola dan saya tidak peduli karena terlalu mengantuk, mereka menjadi sama seperti teman-teman sekelas yang berisik dalam bus studi wisata.

Memang hal teristimewa yang ditawarkan RRRec Fest adalah bahwa kamu bisa melakukan hal-hal remeh bareng orang-orang yang kamu kagumi. Twit Keke Tumbuan @melancholico "WOW! Gwe sarapan bareng @wsatcc sebelum mandi!" menjadi terlalu benar ketika kamu digodain Saleh Husein sambil antri nasi uduk di warung deket Ruru. Atau ketika kamu bikin kopi sama Popie Pandai Besi. Atau kamu mengintai tendanya Ramayana Soul supaya bisa mandi duluan di sebuah kamar mandi absurd di tengah hutan. Atau ketika kamu joget di panggungnya White Shoes bareng Monica Hapsari yang goyang-goyang sambil makan bakso. Atau ketika kamu berbagi alas duduk sama Yudhis Jirapah sambil nonton Pandai Besi. Atau ketika kamu tiduran di rumput, pura-pura nonton Liyana Fizi padahal kamu ngeliatin Natasha Abigail dan Dimas Ario pacaran dengan so sweet-nya.

Maka nonton Backwood Sun bersama Wednes, Tempe, dan Adel sambil minum kopi bandung dan kue pancong bertabur gula yang dijual warga lokal di sekitar lembah adalah salah satu momen menyenangkan yang patut diingat-ingat bersama kenangan-kenangan lainnya. Sayang Wednes dan Tempe harus kembali ke tenda kami di tengah hutan. Kurang tidur dan lelah setelah mengangkut gitar naik turun bukit, mereka mau istirahat dulu supaya tampil maksimal selepas maghrib nanti.

Bangkutaman naik panggung setelah Backwood Sun. Mas Acum, yang sejak dari Jakarta sudah ribut bawa-bawa sebuket bunga, dengan ceria mendekor ulang panggung di bawah rumpun bambu itu dengan bunga-bunga ungu dan kuning. Sisanya dilemparkan ke penonton. Hujan mulai rintik-rintik saat mereka menyanyikan lagu pembuka. Akhirnya manusia-manusia yang tadinya menonton dengan santai sambil gelesotan di rumput harus berdiri dan mendekati panggung supaya tidak kehujanan. Sebagian sudah memakai jas hujan warna-warni, berjoget sambil mengibas-ngibaskan bunga di tangan. Di tengah pertunjukan, hujan turun terlalu deras. Band berhenti. Semuanya berteduh di panggung. Tidak berapa lama, hujan berhenti, maka band main lagi.

Memang tidak salah pergi ke tempat terisolir untuk nonton band-band-an dengan santai. Kalau hujan ya berhenti, kalau hujan berhenti ya main lagi. Penonton yang membayar tiket tampaknya tidak terlalu banyak, namun sepertinya itu bukan ukuran keberhasilan festival seperti ini. Demografi penonton terdiri dari mereka yang membeli tiket, para artis pengisi acara dan kru-nya, serta para panitia. Lapangan Tanakita itu tidak padat disesaki manusia, tapi wajah-wajah gembira tersebar di mana-mana.

Setelah Bangkutaman, ada Ramayana Soul yang super, duper seksi disusul Ari Reda yang hampir terlampau manis sampai bisa bikin diabetes. Sore itu Ari Reda adalah duo bapak ibu yang menyanyikan syair-syair Sapardi Joko Damono di sebuah panggung yang berbentuk seperti dangau di bawah pohon jengkol. Panggung itu bertengger di pucuk lereng, membelakangi lembah hijau dan matahari tenggelam. Seperti itu lah yang namanya Perfect Situation!

Rabu juga mendapat tempat di Panggung Pohon Jengkol. Tampil selepas Pandai Besi mengakhiri penampilan mereka di Panggung Rumpun Bambu, Wednes dan Tempe membuka pertunjukan mereka dengan "Dru" disusul "Baung". Penonton yang bertebaran di atas rumput di depan mereka menikmati pertunjukan itu disela bau dupa samar-samar yang memang telah mereka tancapkan di area penonton. Entah mengapa saya ikut senang kalau penonton termakan gimmick-gimmick Rabu yang sudah sangat saya hafal. Misalnya, "Minum dulu ya. Haus e."-nya Wednes yang kalau nyanyi suaranya ngebass tapi kalau ngomong medhoknya ga bisa disembunyikan (dan sepertinya memang tidak pernah berusaha disembunyikan). Atau ketika dia mengantar lagu "Kereta Terakhir" dengan kalimat andalannya "Lagu ini tentang kewaspadaan berlalu lintas." lalu penonton pelan-pelan tergelak ketika Wednes dan Tempe mengawali komposisi instrumental yang sangat liris dengan bunyi bel palang kereta do-mi-re-sol-sol-re-mi-do yang familiar di seluruh Indonesia.

"Ah manis banget..." gumam seorang penonton yang gelesotan di depan saya saat mereka menyuguhkan "Telaga Kasih" sebagai lagu terakhir. "Dah," kata Wednes sambil melambaikan tangan saat mereka selesai. "Lagi! Lagi!"seru semua orang. "Udah, Nggak punya. Nggak ada."kata Wednes datar sambil melambaikan tangan dan memberesi gitarnya, "Maaf ya." Orang-orang ini pun tergelitik. Ada yang mengherankan dari Wednes dan Tempe, bukan sekedar karena keluguan mereka, namun juga karena anak-anak ini terlihat begitu tidak pedulian, tanpa ekspresi, tanpa keinginan untuk tampil kece seperti yang lain. Mereka tidak bisa diremehkan semata-mata karena mereka tidak mengejar kekerenan itu sendiri. Rabu satu-satunya band di RRRec Fest yang tidak memberikan encore walau penonton memintanya.

Maka pelan-pelan kami beranjak ke Panggung Rumpun Bambu yang terletak beberapa ratus meter ke kanan untuk menyaksikan Jirapah. Momen paling seru malam itu juga terjadi di Panggung Rumpun Bambu. Pure Saturday diplot sebagai pungkasan, namun apa daya hujan deras malah turun. "Semuanya ke atas panggung aja. Naik aja ke atas panggung."kata Iyok. Jadi kami, penonton, naik ke atas panggung dan menyaksikan Pure Saturday dari jarak yang amat sangat dekat. Seperti menonton teman latihan di studio dan sempit. Tidak berapa lama, hujan menjadi terlalu deras sehingga panggung harus dimatikan. Lampu juga dimatikan. Tapi tak apa, karena basis Pure Saturday mengambil gitar akustik dan kami semua menyanyikan "Kosong" bersama-sama, diiringi sebuah gitar bolong yang suaranya saja ditenggelamkan deru hujan.

Setelah hujan agak reda, saya kembali ke tenda kami di tengah hutan. Di dalam, Wednes dan Tempe sudah tidur berdempetan seperti anak kembar. Saya menggelar sleeping bag tebal yang sudah disiapkan panitia di pojok seberang mereka. Malam itu saya tidur di dalam sebuah tenda yang didera rintik gerimis, di tengah hutan, setelah lelah bermain dan puas menonton band-band kesukaan saya.

***
Tidak banyak yang bisa diceritakan tentang hari kedua kecuali bahwa kami sama senangnya dengan ketika pertama kali menginjak Tanakita. Malah lebih santai karena Rabu sudah main, sehingga tinggal satu band lagi dari rombongan kami yang bertugas.

Paginya kami sarapan indomie di warung milik warga lokal di pinggir hutan karena letaknya lebih dekat daripada tenda sarapan di puncak bukit sebelah. Warung itu harganya fluktuatif, sebotol aqua bisa dihargai seribu perak kalau dibayar gabung dengan makanan lain, tapi empat ribu perak kalau dibeli sendiri. Tapi tetap enak karena orang Jawa Barat emang paling jago masak indomie buat sarapan.

Hari itu diawali dengan pertunjukan dari Seroja. Band ini sangat baru dan Panggung Pohon Jengkol RRRec Fest yang fantastis ini menjadi panggung pertama mereka. Tapi karena projek ini unik dan digawangi orang-orang ampuh, mereka pun lolos kurasi Indra Ameng. Seroja di RRRec Fest kemarin adalah Rully Shabara, Sony Irawan, Yoga Supeno, dan Satya Prapanca mengenakan pakaian muslim menyanyikan lagu-lagu Melayu eksperimental. Lucu sekali melihat mereka yang biasanya panas dan buka-buka baju di atas panggung, sekali ini manggung dengan baju rapi. Saya paling suka saat mereka menyanyikan lagu Melayu "Seroja" yang ternyata menjadi asal muasal nama meraka.

Setelah itu kami menyebar; belanja baju dan merchandise di Ruru Shop dan Kamengski, nonton Liyana Fizi dan Voyagers of Icarie (a super awesome band from Monica and Popie, my favorite Pandai Besi personels!), nonton White Shoes sambil hujan-hujan, lalu nonton Kazuhisa Uchihasi duet sama mas Rully. Rangkaian acara pun selesai dan kami harus pulang.

Senang sekali bisa menyusup ke RRRec Fest in the Valley. Mungkin ini salah satu acara paling keren yang pernah saya tonton. Makasih banyak mas Wowok untuk durian runtuhnya. Makasih mas Rully, mas Panca, mas Sony, mas Ojie, mas Yoga, mba Ditya, Tempe, Wednes, dan Adel untuk tiga hari yang super menyenangkan.


Di bawah ini adalah foto-foto yang diabadikan Dek Adel saat kami sedang di sana.



Tetangga Pak Gesang yang lucu. Sayang manggungnya di sela kami makan siang, jadi nontonnya sambil hectic makan ikan jambal dan sambel kecombrang.



Backwood Sun, nggerus kayak Fleet Foxes



tahukah kalian orang paling keren di Bangkutaman adalah keyboardisnya!





salah satu yang saya pelajari di RRRecfest adalah kamu ga perlu jadi front man supaya jadi awesome. Mas keyboardisnya Bangkutaman ini keren banget di atas panggung karena dia sangat percaya dengan apa yang dia nyanyikan.  

Ari Reda di Panggung Pohon Jengkol

Arie Dagink dan T Shirt official RRRecFest

Ramayana Soul. Sexy to the bone.

ada salah satu lagu Ramayana Souls yang berjudul Mawar Batu. Mungkin mereka sangat suka sama The Stone Roses. Lagu itu salah satu yang paling saya nikmati dari penampilan mereka.

Bang basis idola saya dari Pandai Besi

duo vokalis idola saya juga dari Pandai Besi

Rabu di Panggung Pohon Jengkol

begitu manggung aja macak cool. padalah pas cekson jerit-jerit gegara digigit semut, hahaha.

"Panggilan dari Gunung" oleh Iwan Fals adalah manuver kover mengkover yang efektif sekali, bosku


Wednes dan Tempe foto bareng penggemar berat

yang tengah itu Raka Ibrahim

Seroja

benar. itu bass eug.



di satu lagu, Seroja mengkaryakan beberapa penonton untuk ikut memainkan tetabuhan



Voyageurs of Icarie, my new LOVE!

Poppie Airil dan Monica Hapsari, dua personel favorit dari dua band favorit

Liyana Fizi, yang sudah memenuhi KKM cewe keren versi kurikulumnya Mas Rully Sabhara


haeee mas ale!

haeeee mba sari!




ditutup oleh Kazu, musisi eksperimental dari Jepang
foto-foto oleh Adelina Maryam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar