Jumat, 03 Oktober 2014

Mimpi Kuliah

Pagi hari tanggal 4 Oktober 2014 saya terbangun dari sebuah mimpi yang aneh. Mimpi yang membuat saya begitu bersemangat dan merasa harus menulis. Saya bermimpi saya sudah jadi dosen dan punya mahasiswa yang saya bimbing. Saya dibolehkan dekan untuk membuat kelas saya sendiri di sore hari, kelas yang santai tapi penting untuk saya, karena saya merasa punya kewajiban untuk menjadi bagian dari suatu generasi yang bisa dipercaya untuk menjalankan dunia ini supaya menjadi lebih baik. Ceritanya kami menempati sebuah kelas yang besar dan melingkar di lantai dua. Jendela-jendelanya banyak dan membuka pandangan ke langit luas dan pucuk-pucuk pohon besar. Seperti K22 di Kampus 1 USD Mrican, namun kelasnya melingkar. Kelas itu terdiri dari sekitar 30 orang mahasiswa. Ceritanya mereka mahasiswa-mahasiswa baru, namun wajah-wajahnya adalah wajah teman-teman bermain saya sendiri sekarang, di dunia nyata, di dunia di mana saya hanyalah seorang perempuan yang belum juga lulus kuliah dan masih menjadi bawahan di industri kreatif.
Demikian adalah pidato awal tahun ajaran saya di kelas yang aneh tersebut:

Sebuah Kelas yang Mengeksplisitkan Wacana Umum.

“Selamat siang teman-teman. Nama saya Gisela Swaragita. Ini adalah kelas yang saya wajibkan untuk mahasiswa bimbingan saya di luar kurikulum kita. Kelas ini tidak akan menambah nilai di KHS teman-teman namun saya harap bisa menambah nilai dalam hidup kita secara umum.
Saya mengumpulkan teman-teman semua di sini, bukan untuk menambah beban kuliah teman-teman di luar kelas-kelas wajib yang sudah berat. Kelas ini ditujukan dan dirancang untuk melihat diri dan masyarakat kita dengan lebih kritis.

Saya yakin teman-teman semua tahu bahwa kita adalah anak-anak hasil penjajahan. Bahwa kita hidup di era yang serba cepat dalam tuntunan kapitalisme. Akan tetapi, saya yakin tidak banyak yang sadar apa artinya itu.

Kita adalah anak-anak yang segala persepsi dan perspektifnya didiktekan oleh konstruksi umum. Keinginan-keinginan kita disetir oleh wacana-wacana akan kebahagiaan yang distandarkan oleh sistem. Namun kita tidak bisa lepas dari itu semua, bahkan untuk hal-hal terkecil dan remeh dalam sanubari kita.

Kita tetap ingin, misalnya, perempuan yang cantik, putih, dan langsing sebagai pacar kita. Kita yang perempuan jadi ingin cantik, putih, dan langsung supaya dapat laki-laki yang bisa memberi kita rasa aman dalam hidup. Rasa aman dalam hidup, ketika muda, mungkin cowok-cowok skater atau anak band keren yang pakai celana denim mahal, flanel kotak-kotak, dan sepatu vans atau converse atau docmart. Cowok keren memberi rasa aman sosial bagi para perempuan yang akhirnya merasa diakui bahwa dia cukup cantik untuk cowok-cowok itu. Ketika agak dewasa, cowok-cowok akan memilih gadis-gadis berhijab untuk mendapatkan rasa aman. Karena imaji publik yang tercipta ketika kamu bersanding dengan perempuan yang (tampak) beragama akan lebih baik. Imaji publik dan bagaimana kamu mendapatkan rasa aman ketika dilihat oleh orang lain/masyarakat/keluargamu/keluarga mertuamu membuatmu secara tidak sadar merasa harus membuat pencitraan. Pencitraan itu merasuk ke kehidupanmu, mencengkeram sel-sel otak dan tubuhmu, menyetir kehidupan seksmu, tanpa kamu sadari.

Kuliah ini ditujukan supaya kalian bisa memandang ke sekeliling dengan kacamata yang lebih luas. Melihat dari atas, dari bird-sight-view, segala kesibukan yang membuat dunia ini terus berputar. Saya tidak berharap kalian bisa mengebaskan diri dari keinginan-keinginan untuk beli sepatu converse tanggal 17 agustus. Atau pergi ke gereja sekedar supaya dikira taat. Atau ke Natasha supaya putih dan tanpa kerut. Atau mendengarkan lagu-lagu indie terbaru yang begitu entah supaya bisa masuk kelompok sosial tertentu. Atau berbangga diri kalau sudah punya berbagai kemeja dan tas ransel Lea. Atau bekerja menulis artikel-artikel remeh untuk situs-situs online demi beberapa juta gaji setiap bulannya.

Saya hanya ingin teman-teman saya ini sadar bahwa untuk bisa mendapatkan semua benda itu harus ada kelas pekerja, perempuan dan anak-anak yang membanting tulang di sweat-shop membuat barang-barang yang tidak bisa mereka beli. Harus ada anak-anak lulusan SMK yang bekerja di tempat parkir mal 8 jam sehari untuk mencatat nomor plat motor kalian yang keluar masuk area basement yang suram.

Bahwa kita tidak bisa asal ngomong kata “eksotis” karena kata itu sungguh rasis. Kita tidak boleh asal jeplak soal “gendut” karena body image bisa jadi sangat depressing bagi perempuan muda. Bahwa perempuan dan laki-laki punya hak yang sama di kasur sehingga yang jalang dan yang hidung belang itu sebenarnya tidak perlu tercipta kalau kita menyikapi dan memandang seks dengan bijaksana. Saya ingin teman-teman menjadi generasi yang dewasa dan berani, yang tidak perlu melakukan hal-hal rendahan dan menjijikkan untuk melawan sistem. Hanya perlu perspektif yang sedikit digeser dan diperlebar, supaya kalian bisa melihat arti dari barang-barang koleksi yang kalian pilih, pakaian-pakaian yang pagi ini kalian pilih, kegiatan-kegiatan yang kalian pilih, permainan dan pelajaran yang kalian pilih. Bahkan cita-cita yang kalian pilih. Bahwa ada tangan-tangan tidak kelihatan yang bekerja melangkahkan kaki kalian dan menggerakkan lengan kalian dan memutar otak kalian tanpa kalian sadari sehingga pilihan-pilihan paling sepele kalian itu sebenarnya tidak kalian pilih sendiri. Bahwa kita masing-masing hanyalah sebuah bidak catur di semesta yang luas ini.

Untuk memulai kelas ini, tolong ambil kertas dan pulpen, lalu tulislah satu rahasiamu yang paling mendalam dalam satu kalimat saja. Misalnya “Saya sering mencuri.” “Saya sangat suka seks.” “Saya mencukup bulu publis saya secara berkala.” “ Saya tidak punya uang sama sekali.” “Saya masih perawan.” “Saya sangat ingin punya pacar.” “Saya berharap saya lahir dari keluarga yang lebih kaya.” Atau apa pun itu. Tidak perlu buru-buru. Silakan renungkan selama setengah jam, lalu kumpulkan kertas itu dalam lipatan yang kecil. Tidak perlu menulis nama.

Setiap hari kita akan membuka satu rahasia dan merefleksikannya pada semua orang. Kita akan melihat mengapa kita turut andil dalam rasa bersalah orang lain. Kita akan menginternalisasikan rasa bersalah itu ke dalam diri kita sendiri. Kita akan mencari tahu mengapa kita, setiap orang di sini, punya bagian sebagai mata-mata publik, ikut bersalah kenapa ada teman yang mencukur bulu kemaluannya atau membenci orang tuanya. Semua demi imaji yang lebih baik di mata publik.


Oh iya, silakan makan, minum, dan merokok di kelas ini. Ini adalah sebuah meja bundar di suatu sudut temaram kampus di mana kita bisa mempertanyakan segalanya. Semoga di akhir setiap sesi, kita bisa menjadi orang yang lebih baik.”

2 komentar:

  1. Hahaha...kalau kamu sudah jadi dosen beneran, buatlah kelas ini, Mbak. Dan bacakan pidatomu ini. :)

    BalasHapus
  2. semuanya memang cuma perkara perspektif. sayangnya sih, yang ada di masyarakat cuma satu perspektif :(

    BalasHapus