Pagi hari tanggal 4
Oktober 2014 saya terbangun dari sebuah mimpi yang aneh. Mimpi yang membuat
saya begitu bersemangat dan merasa harus menulis. Saya bermimpi saya sudah jadi
dosen dan punya mahasiswa yang saya bimbing. Saya dibolehkan dekan untuk
membuat kelas saya sendiri di sore hari, kelas yang santai tapi penting untuk
saya, karena saya merasa punya kewajiban untuk menjadi bagian dari suatu
generasi yang bisa dipercaya untuk menjalankan dunia ini supaya menjadi lebih
baik. Ceritanya kami menempati sebuah kelas yang besar dan melingkar di lantai
dua. Jendela-jendelanya banyak dan membuka pandangan ke langit luas dan
pucuk-pucuk pohon besar. Seperti K22 di Kampus 1 USD Mrican, namun kelasnya
melingkar. Kelas itu terdiri dari sekitar 30 orang mahasiswa. Ceritanya mereka
mahasiswa-mahasiswa baru, namun wajah-wajahnya adalah wajah teman-teman bermain
saya sendiri sekarang, di dunia nyata, di dunia di mana saya hanyalah seorang
perempuan yang belum juga lulus kuliah dan masih menjadi bawahan di industri
kreatif.
Demikian adalah pidato
awal tahun ajaran saya di kelas yang aneh tersebut:
Sebuah Kelas yang Mengeksplisitkan
Wacana Umum.
“Selamat siang
teman-teman. Nama saya Gisela Swaragita. Ini adalah kelas yang saya wajibkan untuk
mahasiswa bimbingan saya di luar kurikulum kita. Kelas ini tidak akan menambah
nilai di KHS teman-teman namun saya harap bisa menambah nilai dalam hidup kita
secara umum.
Saya mengumpulkan
teman-teman semua di sini, bukan untuk menambah beban kuliah teman-teman di
luar kelas-kelas wajib yang sudah berat. Kelas ini ditujukan dan dirancang
untuk melihat diri dan masyarakat kita dengan lebih kritis.
Saya yakin teman-teman
semua tahu bahwa kita adalah anak-anak hasil penjajahan. Bahwa kita hidup di
era yang serba cepat dalam tuntunan kapitalisme. Akan tetapi, saya yakin tidak
banyak yang sadar apa artinya itu.
Kita adalah anak-anak
yang segala persepsi dan perspektifnya didiktekan oleh konstruksi umum.
Keinginan-keinginan kita disetir oleh wacana-wacana akan kebahagiaan yang
distandarkan oleh sistem. Namun kita tidak bisa lepas dari itu semua, bahkan
untuk hal-hal terkecil dan remeh dalam sanubari kita.
Kita tetap ingin,
misalnya, perempuan yang cantik, putih, dan langsing sebagai pacar kita. Kita
yang perempuan jadi ingin cantik, putih, dan langsung supaya dapat laki-laki
yang bisa memberi kita rasa aman dalam hidup. Rasa aman dalam hidup, ketika
muda, mungkin cowok-cowok skater atau anak band keren yang pakai celana denim
mahal, flanel kotak-kotak, dan sepatu vans atau converse atau docmart. Cowok
keren memberi rasa aman sosial bagi para perempuan yang akhirnya merasa diakui
bahwa dia cukup cantik untuk cowok-cowok itu. Ketika agak dewasa, cowok-cowok
akan memilih gadis-gadis berhijab untuk mendapatkan rasa aman. Karena imaji
publik yang tercipta ketika kamu bersanding dengan perempuan yang (tampak)
beragama akan lebih baik. Imaji publik dan bagaimana kamu mendapatkan rasa aman
ketika dilihat oleh orang lain/masyarakat/keluargamu/keluarga mertuamu
membuatmu secara tidak sadar merasa harus membuat pencitraan. Pencitraan itu
merasuk ke kehidupanmu, mencengkeram sel-sel otak dan tubuhmu, menyetir
kehidupan seksmu, tanpa kamu sadari.
Kuliah ini ditujukan
supaya kalian bisa memandang ke sekeliling dengan kacamata yang lebih luas.
Melihat dari atas, dari bird-sight-view, segala kesibukan yang membuat dunia
ini terus berputar. Saya tidak berharap kalian bisa mengebaskan diri dari
keinginan-keinginan untuk beli sepatu converse tanggal 17 agustus. Atau pergi
ke gereja sekedar supaya dikira taat. Atau ke Natasha supaya putih dan tanpa
kerut. Atau mendengarkan lagu-lagu indie terbaru yang begitu entah supaya bisa
masuk kelompok sosial tertentu. Atau berbangga diri kalau sudah punya berbagai
kemeja dan tas ransel Lea. Atau bekerja menulis artikel-artikel remeh untuk
situs-situs online demi beberapa juta gaji setiap bulannya.
Saya hanya ingin
teman-teman saya ini sadar bahwa untuk bisa mendapatkan semua benda itu harus
ada kelas pekerja, perempuan dan anak-anak yang membanting tulang di sweat-shop
membuat barang-barang yang tidak bisa mereka beli. Harus ada anak-anak lulusan
SMK yang bekerja di tempat parkir mal 8 jam sehari untuk mencatat nomor plat
motor kalian yang keluar masuk area basement yang suram.
Bahwa kita tidak bisa
asal ngomong kata “eksotis” karena kata itu sungguh rasis. Kita tidak boleh
asal jeplak soal “gendut” karena body image bisa jadi sangat depressing bagi
perempuan muda. Bahwa perempuan dan laki-laki punya hak yang sama di kasur
sehingga yang jalang dan yang hidung belang itu sebenarnya tidak perlu tercipta
kalau kita menyikapi dan memandang seks dengan bijaksana. Saya ingin
teman-teman menjadi generasi yang dewasa dan berani, yang tidak perlu melakukan
hal-hal rendahan dan menjijikkan untuk melawan sistem. Hanya perlu perspektif
yang sedikit digeser dan diperlebar, supaya kalian bisa melihat arti dari
barang-barang koleksi yang kalian pilih, pakaian-pakaian yang pagi ini kalian
pilih, kegiatan-kegiatan yang kalian pilih, permainan dan pelajaran yang kalian
pilih. Bahkan cita-cita yang kalian pilih. Bahwa ada tangan-tangan tidak
kelihatan yang bekerja melangkahkan kaki kalian dan menggerakkan lengan kalian
dan memutar otak kalian tanpa kalian sadari sehingga pilihan-pilihan paling
sepele kalian itu sebenarnya tidak kalian pilih sendiri. Bahwa kita
masing-masing hanyalah sebuah bidak catur di semesta yang luas ini.
Untuk memulai kelas ini,
tolong ambil kertas dan pulpen, lalu tulislah satu rahasiamu yang paling
mendalam dalam satu kalimat saja. Misalnya “Saya sering mencuri.” “Saya sangat
suka seks.” “Saya mencukup bulu publis saya secara berkala.” “ Saya tidak punya
uang sama sekali.” “Saya masih perawan.” “Saya sangat ingin punya pacar.” “Saya
berharap saya lahir dari keluarga yang lebih kaya.” Atau apa pun itu. Tidak
perlu buru-buru. Silakan renungkan selama setengah jam, lalu kumpulkan kertas
itu dalam lipatan yang kecil. Tidak perlu menulis nama.
Setiap hari kita akan
membuka satu rahasia dan merefleksikannya pada semua orang. Kita akan melihat
mengapa kita turut andil dalam rasa bersalah orang lain. Kita akan
menginternalisasikan rasa bersalah itu ke dalam diri kita sendiri. Kita akan
mencari tahu mengapa kita, setiap orang di sini, punya bagian sebagai mata-mata
publik, ikut bersalah kenapa ada teman yang mencukur bulu kemaluannya atau
membenci orang tuanya. Semua demi imaji yang lebih baik di mata publik.
Oh iya, silakan makan,
minum, dan merokok di kelas ini. Ini adalah sebuah meja bundar di suatu sudut
temaram kampus di mana kita bisa mempertanyakan segalanya. Semoga di akhir
setiap sesi, kita bisa menjadi orang yang lebih baik.”
Hahaha...kalau kamu sudah jadi dosen beneran, buatlah kelas ini, Mbak. Dan bacakan pidatomu ini. :)
BalasHapussemuanya memang cuma perkara perspektif. sayangnya sih, yang ada di masyarakat cuma satu perspektif :(
BalasHapus