Sabtu, 30 Agustus 2014

Panggung Kleringan dan "The Postrock Show By the River Bank"


Individual Life
photo credit: Infofky.com


Seperti yang sudah diketahui teman-teman dekat saya, saya ini orangnya suka sekali nonton pertunjukan. Saya ini mungkin penonton sejati. Saya bisa berubah tabiatnya kalau nonton acara. Saya bisa bersikeras harus datang awal, harus dapat tempat duduk paling depan, dan pulang belakangan, jauh setelah acara selesai. Sepanjang acara saya bakalan duduk bertopang dagu atau menengadah dengan spaneng. Yang jelas saya akan menatap panggung hampir tanpa berkedip seperti sedang mengikuti kuliah yang sangat menarik, kadang sambil ikutan nyanyi teriak-teriak kalau yang sedang dimainkan adalah lagu favorit saya. Nggak semua orang bisa betah nonton acara sama saya.

Jadi di bulan Agustus 2014 ini, saya bener-bener tonjo karena ada buanyak acara menarik yang digelar di Yogyakarta. Dari sejak awal bulan, saya bener-bener wareg kabudayan, kenyang betul nonton hasil kebudayaan, yang digelar oleh berbagai badan kesenian baik yang disokong pemerintah maupun yang berswadaya. Mau nggak seneng gimana, dari Gamelan Festival, Pasar Kangen, German Cinema, sampai yang paling akbar, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), semuanya menyuguhkan tontonan yang menarik dan berkualitas tanpa dipungut biaya (paling cuma parkir sama jajan makanan lucu-lucu yang dijual di kios-kios festival).

Salah satu yang menurut saya paling menarik adalah Panggung Kleringan, semacam fringe event-nya FKY, yang dibangun ditepian Kali Code di wilayah Kampung Jogoyudan. Panggung ini nakal sekali. Panitia FKY meng-hack tebing-tebing sungai, membangun panggung yang tidak bisa dibilang sederhana, menampilkan unit-unit pertunjukan paling menarik di kota ini, sementara penonton yang dibuat penasaran dipersilakan mencari sendiri tempat yang enak untuk nonton. Ada yang berduselan dan ingak-inguk dari atas Jembatan Kleringan. Ada yang turun ke tebing sungai dan duduk di atas tembok batu yang dibangun beberapa tahun lalu setelah banjir lahar tahun 2010. Ada yang turun ke tepian dan menonton di atas rerumputan. Tidak ada kursi nyaman dengan jarak pandang yang sudah disesuaikan seperti yang bisa kamu dapatkan di venue-venue lain di kota ini. Yang ada adalah pinggiran jembatan dan tembok tebing batu.

Panggung ini dihidupkan dua hari, hari pertama 29 Agustus untuk tari-tarian sedangkan hari kedua, 30 Agustus, ada band yang sudah lama saya rindukan penampilannya, Individual Life. Saya datang di hari pertama untuk "cek ombak", tujuannya mencari tempat paling pewe untuk nonton Individual Life besok harinya. Di hari pertama itu, saya datang dengan Uniph, temen saya. Kami dapat tempat di atas jembatan. Kami duduk di lingiran jembatan, di suatu sela sempit selebar pantat. Di kanan kami ada pagar pembatas, trotoar, dan jalan raya dengan lalu lintasnya. Di kiri kami jurang tembok beton setinggi kira-kira sepuluh meter. Kalau kami oleng sedikit ke kiri, kami akan jatuh dan berceceran di atas jalan setapak kampung Jogoyudan. Kalau kami menengok sedikit ke kanan atas, kami bisa melihat Jembatan Kewek yang sesekali dilewati kereta api yang melaju ke / dari Stasiun Tugu. Di situ kami duduk memeluk lutut, merokok sambil menggigil disapu angin yang melalui lembah sungai, dikelilingi banyak sekali penonton lain yang merapat di trotoar, bersandar pada pagar pengaman jembatan. Kami menonton tari-tarian dan video mapping yang dengan cerdik meretas deretan tembok belakang toko-toko bunga di seberang sungai menjadi latar belakang panggung yang cukup playful.

Setelah tahu situasi lapangan (yaelah kek mau menyerbu markas mafia aja), saya jadi bisa memutuskan beberapa hal. Misalnya, batal pakai dress lucu, doc mart, dan tote bag imut. Akhirnya pakai celana panjang biasa, sneakers, dan ransel karena kondisi venue yang mengharuskan sedikit kelincahan ala ala pramuka. Saya dan Uniph datang sangat (((sangatttt))) awal, yaitu jam 18.30 untuk mengokupasi VIP seat sebelum direbut penonton lain. Kami turun ke bantaran sungai, menyusuri kampung sedikit, lalu dibolehkan duduk di atas tembok batu di tepi sungai, tepat di hadapan panggung, tepat di depan mixer FOH.

Selain mixer FOH, di belakang kami ada Mas Gufi yang mondar mandir memberikan instruksi lewat HT, Anto Lele yang pewe nongkrong di tembok sebelah sana sambil mengirim live twit, serta meja kerja dadakan tempat dinas mas-mas Jogja Video Mapping Project dan Pamityangyangan. Di bawah kami ada sungai Code yang gemericiknya tetap terdengar di sela-sela theme song dolanannya FKY. Dari tempat itu juga sayup-sayup masih terdengar suara kereta lewat dan angin lembah juga masih terasa sangat dingin.

Terasa masih sangat lama sebelum acara mulai. Untuk mengisi waktu, panitia malah memutar theme song launching event-nya Rabu, ambience super gloomy dan sedikit klenik yang memang cocok didengarkan di pinggir sungai. Ketika acara dimulai dengan unit gamelan Sekar Jindra, baru terasa penonton memadati sekitar kami. Sepanjang tembok di sebelah kiri kami penuh orang, sedangkan orang-orang yang duduk di sebelah kanan kami selalu diusir karena itu daerah untuk akses panitia. Tapi kalau kamu mau turun dan nonton dari bantaran sungai, malah dibolehkan. Ada sekitar sepuluh orang yang turun dan nonton di atas batu-batu kali di bawah kami saat itu. Tapi secara keseluruhan, bisa dibilang tempat saya dan Uniph duduk kemarin adalah tempat terbaik untuk melihat panggung.

Yang ditunggu-tunggu manggung giliran kedua. Ketika Sekar Jindra selesai, saya menegakkan punggung dan berhenti mengetik suatu pesan di handphone. Delapan orang naik ke atas panggung, pemain bass, drum, tiga biola, satu cello, satu gitar, dan seorang pemain piano. Saat mereka membuka pertunjukan dengan Lalulalang dan Paripurna, tiba-tiba saya menyadari sedikit ketegangan yang aneh di deretan panitia di belakang saya. Baru saat lagu ketiga, Metropolis, saya paham. Ada Mas Gufi yang memberi komando pada tim lighting lewat HT. Ada video mapping yang sesuai dengan dinamika lagu. Ada permainan lighting spektakuler yang ikut melebur bersama lagu. Di bagian-bagian tertentu lagu, kedelapan personel disorot satu persatu dengan cahaya-cahaya yang berbeda, membuat mereka terlihat begitu wangun. Pada saat lagu hampir mencapai puncaknya, Mas Gufi mulai berteriak-teriak ke HT "Yo, saiki yo, SAIKI YO!" sehingga saya ikutan tegang mengawasi terjadinya klimaks musik dan cahaya. Dengan bantuan panitia yang sadar skena, lagu tersebut dibawakan dengan sangat megah. Sekitar sepuluh menit yang nyaris divine dengan perpaduan musik favorit yang telah lama ditunggu penampilan langsungnya, permainan cahaya yang sangat baik, penonton yang antusias, sungai, angin lembah, lalu lintas, kereta api yang lewat....

Setelah Metropolis, Mas Gufi bisa duduk mengaso di atas sebuah peti kemas sambil memberikan instruksi yang lerem-lerem saja pada tim lighting. Individual Life melanjutkan permainan dengan Ferry Saputro dan Momentum yang klimaks, juga ditingkahi video mapping dan lighting yang megah. Benar-benar bagus. Setengah jam menonton Individual Life di Panggung Kleringan dengan suasana demikian sungguh memuaskan saya yang sempat memimpikan suatu "Postrock Show By the River Bank". Mungkin anak-anak lain yang datang khusus untuk nonton Individual Life juga merasa demikian.

Mas Gufi dan para personel panitia inti yang kebanyakan anak-anak scene mungkin sudah terlalu sering menggarap acara-acara indie dengan budget yang harus pandai-pandai diakali. Mungkin ketika kali ini mereka dipasrahi acara berdana masif dari pemerintah, impian mereka membuat pertunjukan musik independen yang spektakuler akhirnya terwujud. Rancangan pertunjukkan bisa didasarkan dari ide-ide paling liar. Panggung-panggung yang tidak masuk akal bisa dibangun. Teman-teman musisi indie bisa dapat tempat istimewa bersama kesenian-kesenian lain yang kerap kali dianggap lebih adiluhung. Yang ikut kegirangan adalah anak-anak seperti saya, penonton sejati, yang menikmati senangnya ditraktir nonton acara bagus oleh kota sendiri.

Setelah Individual Life turun panggung, saya dan Uniph berani mempertaruhkan VIP seat kami dan turun ke tepian sungai untuk melanjutkan menonton dari atas batu-batu kali. Di situ kami duduk dengan Mas Aripp (Lampukota), Rangga, dan Afif yang sudah duduk menonton di sana sejak tadi, hanya beberapa jengkal dari garis air. Cahaya warna-warni dari panggung jatuh ke permukaan air dan membuat bias yang cantik dengan aliran sungai yang gelap. Kalau kami melihat ke kiri atas ada barisan kaki penonton yang berderet rapat tergantung di atas tembok tebing. Kalau menengok ke kanan atas ada mereka yang berdesakan ingak-inguk dari atas jembatan. Sedangkan kami yang duduk-duduk selo di atas batu kali bisa menonton Acapella Mataraman dan Vertigong dengan santai. Si Rangga malah bisa tidur-tiduran di atas rumput sampai di-twitpic sama Pamityangyangan.

Istimewanya Panggung Kleringan adalah bahwa tempat duduk ternyamannya berupa sudut-sudut terkumuh sebuah kampung. Teman nonton gigsmu adalah simbah-simbah, balita, dan anjing-anjing peliharaan warga yang terjaga lebih malam karena sedang ada hingar bingar akbar di halaman rumahnya. Untuk mengakses panggung, kamu harus melewati labirin jalan kampung sempit tempat local youth nongkrong. Demi kesopanan, supaya bisa lewat kamu harus berjalan pekewuh setengah membungkuk sambil bergumam "Kula nuwun, Mas, Mbak, Pak, Mbah..." ala ala Jogja. Sebuah acara yang membuat para penonton mau tidak mau harus mengalami ke-Jogja-an itu sendiri. Selain itu, pertunjukan yang memanjakan mata dan telinga juga terwujud bukan hanya dari performa mereka yang menawan di atas panggung, tapi juga tangan-tangan tidak kelihatan yang sudah lama gatal ingin menampilkan teman-teman skena ke atas panggung yang mewah. Lucunya, kemewahan Panggung Kleringan kemarin juga terjadi berkat kepandaian mereka menyelaraskan uba rampe venue yang canggih dengan keadaan sekitar yang sederhana: perumahan padat penduduk menengah ke bawah dan sungai yang sesekali dilewati kresek sampah. Kalau sudah begini, siapa yang masih bisa menampik istimewanya Jogja!






video kredit: Lovely Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar