Senin, 18 Agustus 2014

Merapi, 15-16 Agustus 2014



Setelah Lebaran beberapa teman kembali lagi dari Jakarta ke Jogja untuk berkunjung. Salah satunya adalah Banu, temen kontrakannya Latan (gitarisnya Summer). Saya ketemu Banu lagi waktu kumpul Summer beberapa waktu yang lalu. Dia agak lama tinggal di Jogja karena akan wisuda minggu depannya (hore, selamat ya! :D), dan sebelum itu dia ingin naik ke Merapi. Selama kuliah, Banu sangat aktif di mapala kampusnya. Banyak sekali gunung sudah dia naiki. Dia sampai lupa sudah berapa kali naik ke Semeru. Tapi dari semua gunung itu dia paling suka Merapi.

Merapi, menurutnya, adalah gunung istimewa karena “...wajahnya selalu berubah setiap empat tahun sekali.” Banu sudah naik Merapi sejak masih ada jalur di Cangkringan, sejak masih ada Puncak Garuda di atas kawah, sejak puncak Merbabu masih lebih rendah dari puncak Merapi. “Setiap kali naik selalu saja ada yang berubah, makanya bikin penasaran.” Waktu Merapi erupsi besar di tahun 2010, dia ikut menjadi relawan membantu tim SAR. Banyak hal yang dia saksikan di sana, misalnya, “Sungai yang menyala, karena lahar yang masih sangat panas mengalir di bawah airnya.”

Saya pun minta ikut dan perjalanan solo hikingnya berubah menjadi hiking bersama. Kami berangkat dari Jogja Kamis malam. Kami berempat, Banu, saya, Wahyu, dan Latan naik mobil menuju Selo sambil gitaran pakai ukulele yang pengennya saya bawa sampai ke atas. Karena saat itu dekat Hari Kemerdekaan, kami ingin mengibarkan bendera di atas gunung (biar kayak orang-orang gitu maksudnye), tapi kami kok ga punya bendera. Selama perjalanan dari Jogja ke Selo, kami menyeletuk “Sob, bendera, Sob!” setiap kali kami melihat umbul-umbul yang dipasang di jalan. Tapi niat nyolong itu tidak kami laksanakan karena, mau nasionalis kok nyolong. Untungnya Banu punya satu hasduk pramuka yang bisa kita lambai-lambaikan nanti di atas kawah.

Latan turun di Grand Artos, Magelang untuk melanjutkan perjalanan ke Temanggung, sementara kami bertiga terus menuju Selo. Setelah beristirahat sebentar di basecamp Barameru, kami mulai memanggul carrier ke atas pukul setengah satu pagi. Sayangnya Wahyu malah masuk angin dan muntah-muntah sesaat setelah sampai di New Selo. Akhirnya tinggal saya dan Banu yang melanjutkan perjalanan.
Ternyata duet hiking asik juga. Banu sangat ahli, jadi saya diajari macam-macam. Malah mirip kursus naik gunung. Apalagi Merapi jalurnya ngaudzubilah mak, susahnya. Naik gunung macam parkour. Jalan aspal dekat New Selo segera menjadi jalan sempit berkelok-kelok, menanjak, dan berbatu-batu. Untuk naik kamu harus menggunakan kedua tangan dan kakimu, berpegangan pada akar-akar pohon dan bebatuan yang bisa ngguling kapan saja (bah, kek gitu masih mau bawa ukulele. Untung ditinggal di mobil). Untungnya saat itu bulan purnama dan bintang sangat terang sehingga kami hampir-hampir tidak butuh senter untuk melihat jalan.

Ketika akhirnya sampai di Pos 1, kami baru sadar kalau banyak perbekalan kami yang ternyata terbawa oleh Wahyu ke basecamp, misalnya biskuit gandum lapis cokelat yang enak banget itu dan sebungkus choki-choki yang pasti enak banget diemutin selama jalan. Jadi kami berdua masing-masing hanya punya sebungkus sari roti sobek dan dua botol air minum, untuk naik ke puncak dan turun lagi.

Dengan perbekalan itu, kami naik terus dengan harapan sudah sampai Pasar Bubrah (pos terakhir sebelum puncak) sebelum sunrise dan bisa melihat matahari terbit dari dinding kawah. Ternyata sebelum sampai Watu Gajah (Pos 3), garis oranye sudah muncul di balik awan. Kami pun naik cepat-cepat dan untungnya mendapatkan sebuah spot yang agak enak untuk mengaso melihat matahari terbit.

Setelah matahari terbit, kami baru benar-benar bisa melihat keelokan tempat kami berjalan. Di belakang kami ada Merbabu yang saking dekatnya bisa terlihat gurat-gurat jalurnya. Di sebelah kiri pucuk-pucuk Sumbing, Sindoro, dan beberapa gunung lain terlihat menyembul di atas awan. Di sebelah kanan, matahari yang merah merangkak naik, membuat lautan awan menjadi semburat merah jambu. Kami berada di atas awan.


Kami sampai di Pasar Bubrah pukul setengah tujuh. Total enam jam kami berjalan dari basecamp ke kaki kawah. Keberadaan saya jelas menghambat Banu. Mungkin kalau sendirian dia bisa menempuhnya dalam waktu empat jam atau kurang.

Pasar Bubrah pagi itu sungguh cantik dengan cara yang aneh. Saya belum pernah berada di kaki kawah sebelumnya. Saya merasa bukan berada di Bumi. Sungguh aneh berada di lanskap itu. Ini memang tempat yang tidak bisa kamu dapatkan di mana-mana kecuali kamu naik gunung berapi. Di sekelilingmu ada hamparan pasir dan batu, sedangkan di depanmu ada gundukan putih abu-abu yang menyembunyikan dapur magma. Dinding kawah itu berdiri, diam, seperti tidak sadar bahwa dia sangat cantik dan tersembunyi, bahwa orang-orang mempertaruhkan nyawa untuk melihatnya.

Saya menengok ke Banu untuk berkata bahwa dinding kawah itu bagus sekali, tapi dia sudah tertidur di atas matras yang digelar begitu saja di atas pasir, di bawah matahari. Maka saya berbaring bersandar pada sebongkah batu, menatap kerucut putih berasap itu. Lalu setelah menjejalkan earphone ke telinga untuk album Takk nya Sigur Ros, saya tiba-tiba tertidur.

Pukul 9 kami bersiap untuk naik ke puncak. Kalau perjalanan naik ke Pasar Bubrah sudah berat, ternyata perjalanan menaiki dinding kawah jauh lebih amburadul lagi. Dulu saya sering dengar tentang pasir yang “...kalau kamu maju satu langkah, kamu merosot tiga langkah”. Nah kemaren kami menghadapi itu, sodara. Dan kalau pasir PHP itu belum cukup buruk, masih ada dinding kerikil yang longsor bareng-bareng dan masuk ke sepatu. DAN kalau kerikil yang longsor bareng-bareng itu belum cukup buruk, masih ada dinding batu-batu segede kepala yang bakalan longsor nggelinding bareng-bareng ke bawah setiap kali kamu bergerak. Ada satu momen di mana saya berbaring flat di dinding kawah yang miring sementara di kanan kiri saya itu batu-batu bergelindingan dan saya cuma bisa “Huwaaaa... Huwaaaa....”

Dinding kawah yang dari jauh terlihat abu-abu putih itu sebenarnya benar-benar berwarna-warni. Kerikil-kerikilnya berwarna merah jambu, kuning, hijau, dan biru yang cantik. Batu-batunya yang lebih besar merah kecokelatan dan abu-abu. Ada tebing batu-batu berwarna merah abu-abu. Begitu sampai ke beberapa meter sebelum puncak, tebing berubah menjadi putih kerang dengan bercak-bercak kuning yang aneh. Begitu sampai ke puncak, saya langsung nangis. Si Banu-nya ketawa.


Saya nangis karena perjalanannya berat sekali dan ternyata saya bisa nyampai. Kalau nggak ada Banu, nggak mungkin saya bisa sampai ke atas. Pasti saya udah mati ketimpa batuan vulkanik, atau kepeleset gara-gara salah melangkah, atau babak belur dihajar kerikil longsor. Atau cuma di bawah ngeliatin puncak sambil batuk-batuk kesedak abu vulkanik yang diterbangkan angin.

Jadi kami nongkrong di atas selama beberapa lama. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat Jogja (Kali Kuning sih, basically) melalui belahan kawahnya. Sungguh aneh melihat Jogja dari tempat ini. Biasanya, tempat ini yang aku lihat dari Jogja. Bibir kawah ini, yang perot dan sumbing setelah ledakannya di taun 2010, terlihat jelas dari jalanan Jogja yang setiap hari saya lewati. Dulu saya tidak pernah melihat Merapi sebagai tempat yang benar-benar ada, ia hanya di sana, latar belakang yang cantik jika kebetulan langitnya sedang cerah. Tidak pernah saya mengira seseorang benar-benar bisa berada di atas puncaknya, melihat Kota dan sekaligus melihat kawahnya yang senantiasa berasap.

Setelah berfoto sambil mengibarkan hasduk, kami bersiap turun. Perjalanan turun selalu menjadi PR yang malesin. Perjalanannya juga menurut saya pribadi, berbahaya. Longsornya parah dan kami sempat jatuh terguling-guling juga. Sesampainya di bawah, bokong saya memar gara-gara jatuh berguling-guling dan kena ujung tajam batu, tato burung hantu saya luka kena batu yang longsor, Banu kakinya kepentok batu besar sampai memar, dan sekujur badan lecet-lecet semua kena bebatuan. Tapi seperti kata Banu, “Namanya juga batu, jadi ya... suka-suka dia lah!”

Saya sebenarnya sangat capek dan ingin tidur, di mana saja, di gunung ini. Akan sangat menyenangkan untuk bangun di kaki kerucut kawah lalu turun gunung saat sudah beristirahat. Tapi Wahyu masih di Selo, kami tidak bawa logistik, dan kami sudah terlambat dari jadwal pulang. Kami memutuskan untuk terus turun gunung. Tapi perjalanan turun yang harusnya lebih cepat jadi sangat, sangat lambat dan susah. Untung kami ketemu Zain, seorang pendaki dari Solo yang sedang iseng (((ISENG))) maraton Merapi, Merbabu, dan Lawu. Dia mengambil alih tugas Banu membantu saya turun. Akhirnya kami sampai basecamp jam setengah satu dini hari. Total kami 24 jam jalan kaki nggak karuan di gunung. Gilak.

Kami tertatih menuju mobil, membuka sleeping bag, menurunkan jok, dan akhirnya bisa tidur.



Sekarang saya tidak melihat Merapi hanya sebagai latar belakang kota lagi. Menyusuri jalan-jalan di Jogja di hari cerah seperti sekarang, saya bisa melihat pucuknya yang putih dan misterius. Saya bisa membayangkan di sana, ada seorang pendaki yang kelelahan tapi merasa menang, memandang Jogja dari atas bibir kawah yang dikelilingi lautan awan.







































































Terimakasih banyak Banu, YOU ARE AMAZING! :D



Tidak ada komentar:

Posting Komentar