Setelah Lebaran beberapa
teman kembali lagi dari Jakarta ke Jogja untuk berkunjung. Salah satunya adalah
Banu, temen kontrakannya Latan (gitarisnya Summer). Saya ketemu Banu lagi waktu
kumpul Summer beberapa waktu yang lalu. Dia agak lama tinggal di Jogja karena
akan wisuda minggu depannya (hore, selamat ya! :D), dan sebelum itu dia ingin
naik ke Merapi. Selama kuliah, Banu sangat aktif di mapala kampusnya. Banyak
sekali gunung sudah dia naiki. Dia sampai lupa sudah berapa kali naik ke
Semeru. Tapi dari semua gunung itu dia paling suka Merapi.
Merapi, menurutnya,
adalah gunung istimewa karena “...wajahnya selalu berubah setiap empat tahun
sekali.” Banu sudah naik Merapi sejak masih ada jalur di Cangkringan, sejak
masih ada Puncak Garuda di atas kawah, sejak puncak Merbabu masih lebih rendah
dari puncak Merapi. “Setiap kali naik selalu saja ada yang berubah, makanya
bikin penasaran.” Waktu Merapi erupsi besar di tahun 2010, dia ikut menjadi
relawan membantu tim SAR. Banyak hal yang dia saksikan di sana, misalnya, “Sungai
yang menyala, karena lahar yang masih sangat panas mengalir di bawah airnya.”
Saya pun minta ikut dan
perjalanan solo hikingnya berubah menjadi hiking bersama. Kami berangkat dari
Jogja Kamis malam. Kami berempat, Banu, saya, Wahyu, dan Latan naik mobil
menuju Selo sambil gitaran pakai ukulele yang pengennya saya bawa sampai ke
atas. Karena saat itu dekat Hari Kemerdekaan, kami ingin mengibarkan bendera di
atas gunung (biar kayak orang-orang gitu maksudnye), tapi kami kok ga punya
bendera. Selama perjalanan dari Jogja ke Selo, kami menyeletuk “Sob, bendera,
Sob!” setiap kali kami melihat umbul-umbul yang dipasang di jalan. Tapi niat
nyolong itu tidak kami laksanakan karena, mau nasionalis kok nyolong. Untungnya
Banu punya satu hasduk pramuka yang bisa kita lambai-lambaikan nanti di atas
kawah.
Latan turun di Grand
Artos, Magelang untuk melanjutkan perjalanan ke Temanggung, sementara kami
bertiga terus menuju Selo. Setelah beristirahat sebentar di basecamp Barameru, kami mulai memanggul
carrier ke atas pukul setengah satu pagi. Sayangnya Wahyu malah masuk angin dan
muntah-muntah sesaat setelah sampai di New Selo. Akhirnya tinggal saya dan Banu
yang melanjutkan perjalanan.
Ternyata duet hiking asik
juga. Banu sangat ahli, jadi saya diajari macam-macam. Malah mirip kursus naik
gunung. Apalagi Merapi jalurnya ngaudzubilah mak, susahnya. Naik gunung macam
parkour. Jalan aspal dekat New Selo segera menjadi jalan sempit berkelok-kelok,
menanjak, dan berbatu-batu. Untuk naik kamu harus menggunakan kedua tangan dan
kakimu, berpegangan pada akar-akar pohon dan bebatuan yang bisa ngguling kapan
saja (bah, kek gitu masih mau bawa ukulele. Untung ditinggal di mobil).
Untungnya saat itu bulan purnama dan bintang sangat terang sehingga kami
hampir-hampir tidak butuh senter untuk melihat jalan.
Ketika akhirnya sampai di
Pos 1, kami baru sadar kalau banyak perbekalan kami yang ternyata terbawa oleh
Wahyu ke basecamp, misalnya biskuit
gandum lapis cokelat yang enak banget itu dan sebungkus choki-choki yang pasti
enak banget diemutin selama jalan. Jadi kami berdua masing-masing hanya punya
sebungkus sari roti sobek dan dua botol air minum, untuk naik ke puncak dan
turun lagi.
Dengan perbekalan itu,
kami naik terus dengan harapan sudah sampai Pasar Bubrah (pos terakhir sebelum
puncak) sebelum sunrise dan bisa
melihat matahari terbit dari dinding kawah. Ternyata sebelum sampai Watu Gajah
(Pos 3), garis oranye sudah muncul di balik awan. Kami pun naik cepat-cepat dan
untungnya mendapatkan sebuah spot yang agak enak untuk mengaso melihat matahari
terbit.
Setelah matahari terbit,
kami baru benar-benar bisa melihat keelokan tempat kami berjalan. Di belakang
kami ada Merbabu yang saking dekatnya bisa terlihat gurat-gurat jalurnya. Di
sebelah kiri pucuk-pucuk Sumbing, Sindoro, dan beberapa gunung lain terlihat
menyembul di atas awan. Di sebelah kanan, matahari yang merah merangkak naik,
membuat lautan awan menjadi semburat merah jambu. Kami berada di atas awan.
Kami sampai di Pasar
Bubrah pukul setengah tujuh. Total enam jam kami berjalan dari basecamp ke kaki kawah. Keberadaan saya
jelas menghambat Banu. Mungkin kalau sendirian dia bisa menempuhnya dalam waktu
empat jam atau kurang.
Pasar Bubrah pagi itu
sungguh cantik dengan cara yang aneh. Saya belum pernah berada di kaki kawah
sebelumnya. Saya merasa bukan berada di Bumi. Sungguh aneh berada di lanskap
itu. Ini memang tempat yang tidak bisa kamu dapatkan di mana-mana kecuali kamu
naik gunung berapi. Di sekelilingmu ada hamparan pasir dan batu, sedangkan di
depanmu ada gundukan putih abu-abu yang menyembunyikan dapur magma. Dinding
kawah itu berdiri, diam, seperti tidak sadar bahwa dia sangat cantik dan
tersembunyi, bahwa orang-orang mempertaruhkan nyawa untuk melihatnya.
Saya menengok ke Banu
untuk berkata bahwa dinding kawah itu bagus sekali, tapi dia sudah tertidur di
atas matras yang digelar begitu saja di atas pasir, di bawah matahari. Maka
saya berbaring bersandar pada sebongkah batu, menatap kerucut putih berasap
itu. Lalu setelah menjejalkan earphone ke telinga untuk album Takk nya Sigur Ros, saya tiba-tiba
tertidur.
Pukul 9 kami bersiap
untuk naik ke puncak. Kalau perjalanan naik ke Pasar Bubrah sudah berat,
ternyata perjalanan menaiki dinding kawah jauh lebih amburadul lagi. Dulu saya
sering dengar tentang pasir yang “...kalau kamu maju satu langkah, kamu merosot
tiga langkah”. Nah kemaren kami menghadapi itu, sodara. Dan kalau pasir PHP itu
belum cukup buruk, masih ada dinding kerikil yang longsor bareng-bareng dan
masuk ke sepatu. DAN kalau kerikil yang longsor bareng-bareng itu belum cukup
buruk, masih ada dinding batu-batu segede kepala yang bakalan longsor
nggelinding bareng-bareng ke bawah setiap kali kamu bergerak. Ada satu momen di
mana saya berbaring flat di dinding
kawah yang miring sementara di kanan kiri saya itu batu-batu bergelindingan dan
saya cuma bisa “Huwaaaa... Huwaaaa....”
Dinding kawah yang dari
jauh terlihat abu-abu putih itu sebenarnya benar-benar berwarna-warni.
Kerikil-kerikilnya berwarna merah jambu, kuning, hijau, dan biru yang cantik.
Batu-batunya yang lebih besar merah kecokelatan dan abu-abu. Ada tebing batu-batu
berwarna merah abu-abu. Begitu sampai ke beberapa meter sebelum puncak, tebing
berubah menjadi putih kerang dengan bercak-bercak kuning yang aneh. Begitu
sampai ke puncak, saya langsung nangis. Si Banu-nya ketawa.
Saya nangis karena
perjalanannya berat sekali dan ternyata saya bisa nyampai. Kalau nggak ada
Banu, nggak mungkin saya bisa sampai ke atas. Pasti saya udah mati ketimpa
batuan vulkanik, atau kepeleset gara-gara salah melangkah, atau babak belur
dihajar kerikil longsor. Atau cuma di bawah ngeliatin puncak sambil batuk-batuk
kesedak abu vulkanik yang diterbangkan angin.
Jadi kami nongkrong di
atas selama beberapa lama. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat Jogja
(Kali Kuning sih, basically) melalui
belahan kawahnya. Sungguh aneh melihat Jogja dari tempat ini. Biasanya, tempat
ini yang aku lihat dari Jogja. Bibir kawah ini, yang perot dan sumbing setelah
ledakannya di taun 2010, terlihat jelas dari jalanan Jogja yang setiap hari
saya lewati. Dulu saya tidak pernah melihat Merapi sebagai tempat yang
benar-benar ada, ia hanya di sana, latar belakang yang cantik jika kebetulan
langitnya sedang cerah. Tidak pernah saya mengira seseorang benar-benar bisa berada
di atas puncaknya, melihat Kota dan sekaligus melihat kawahnya yang senantiasa
berasap.
Setelah berfoto sambil
mengibarkan hasduk, kami bersiap turun. Perjalanan turun selalu menjadi PR yang
malesin. Perjalanannya juga menurut saya pribadi, berbahaya. Longsornya parah
dan kami sempat jatuh terguling-guling juga. Sesampainya di bawah, bokong saya
memar gara-gara jatuh berguling-guling dan kena ujung tajam batu, tato burung
hantu saya luka kena batu yang longsor, Banu kakinya kepentok batu besar sampai
memar, dan sekujur badan lecet-lecet semua kena bebatuan. Tapi seperti kata
Banu, “Namanya juga batu, jadi ya... suka-suka dia lah!”
Saya sebenarnya sangat
capek dan ingin tidur, di mana saja, di gunung ini. Akan sangat menyenangkan
untuk bangun di kaki kerucut kawah lalu turun gunung saat sudah beristirahat. Tapi
Wahyu masih di Selo, kami tidak bawa logistik, dan kami sudah terlambat dari
jadwal pulang. Kami memutuskan untuk terus turun gunung. Tapi perjalanan turun
yang harusnya lebih cepat jadi sangat, sangat lambat dan susah. Untung kami ketemu
Zain, seorang pendaki dari Solo yang sedang iseng (((ISENG))) maraton Merapi,
Merbabu, dan Lawu. Dia mengambil alih tugas Banu membantu saya turun. Akhirnya
kami sampai basecamp jam setengah satu dini hari. Total kami 24 jam jalan kaki
nggak karuan di gunung. Gilak.
Sekarang saya tidak
melihat Merapi hanya sebagai latar belakang kota lagi. Menyusuri jalan-jalan di
Jogja di hari cerah seperti sekarang, saya bisa melihat pucuknya yang putih dan
misterius. Saya bisa membayangkan di sana, ada seorang pendaki yang kelelahan
tapi merasa menang, memandang Jogja dari atas bibir kawah yang dikelilingi
lautan awan.
Terimakasih banyak Banu,
YOU ARE AMAZING! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar