Kamis, 19 Juni 2014

Si Pembaca Ulung: Tentang Yonaz Kristy Sanjaya dan “Between Media and Other Stories”




Saya tidak suka membaca koran. Saya sungguh ragu dengan kebenaran yang disarikan setelah melalui perjalanan panjang dari peristiwa ke wartawan, wartawan ke editor, editor ke percetakan, dan kemudian disebarkan ke masyarakat. Koran yang hadir setiap pagi di setiap sudut kota tidak semerta-merta ada di tangan pengasong. Selain itu sebuah artikel saja bisa dibentuk-bentuk seperti lempung, sesuai kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam politik pencitraan. Koran adalah teknologi penyampaian berita yang sangat murah: kertas, tinta, bahkan upah wartawan ditekan sepenyet-penyetnya, sehingga dengan biaya produksi sekecil-kecilnya oplah per-edisi bisa sebanyak-banyaknya dan bisa terbit sering-seringnya. Bayangkan, sebuah produk tulisan masal yang hadir setiap hari! Menawarkan satu versi kebenaran pada masyarakat dan menyebutnya berita! Dia adalah jendela dunia bagi pembacanya, namun bukan jendela yang semerta-merta terbuka, melainkan jendela dengan kaca warna-warni yang mengklaim dirinya sendiri bening. Membaca koran di pagi hari bisa bikin saya klaustrofobik dan pening. Saya bisa merasa dikepung terlalu banyak berita yang dibuat buruk supaya jadi menarik. Lebih baik saya nyekrol instagram saja sambil menyeruput kopi pagi saya.

Namun ternyata saya tidak berbagi pendapat dengan Yonaz Kristy Sanjaya. Mahasiswa DKV ISI angkatan 2010 yang juga bekerja di departemen desain DGTMB ini baru saja mengadakan pameran yang berbahan dasar koran. Tidak tanggung-tanggung, ia berambisi membuat pengunjung pamerannya merasa masuk ke dalam koran!

Pameran tunggal pertamanya ini berjudul “Between Media and Other Stories” yang dipamerkan di Lir Space sebagai rangkaian program Ex Lab bersama 3 perupa muda lainnya. Karya utamanya adalah sebuah buku berisi kliping berita-berita koran yang ia respon secara artistik. Buku tersebut diletakkan di sebuah podium di tengah ruang galeri dan disorot lampu. Kemudian di seluruh ruangan, Yonaz menempelkan berbagai artikel berita yang kemudian juga ia respon dengan drawing. Di dinding yang satu ia menempelkan berita-berita tentang kasus pedophilia di sekolah internasional. Di dinding yang lain ia menempelkan berita tentang hilangnya pesawat terbang Malaysia beberapa bulan yang lalu. Di dinding lainnya ia menampilkan penderitaan TKI di luar negeri.

Yonaz adalah satu-satunya teman saya yang mengaku dirinya hobi baca koran secara intensif. “Saya sering beli koran di lampu merah. Kalau lagi ga punya uang tapi pengen baca koran, saya ke (warung) burjo untuk baca koran. Esok harinya koran itu akan saya minta.”katanya. Berita-berita yang menurutnya menarik ia koleksi dalam sebuah kliping yang kemudian ia respon dengan drawing. Lucu sekali, karena di antara berbagai hobi yang tersedia untuk anak-anak muda, Yonaz memilih membaca koran dan membuat kliping. Bahkan mengkonsumsi berita dengan media yang sekonservatif koran bagi saya sudah nyentrik. Yonaz hanya sesekali membaca berita online dan sama sekali tidak tertarik dengan berita di televisi.

Tentang kebenaran koran yang tendensius, menurut Yonaz “…itu yang bikin seru. Koran adalah yang bisa bikin saya riuh.” Membaca koran memantik Yonaz untuk membaca buku-buku atau referensi yang lain untuk mengejar kebenaran suatu peristiwa. “Selain itu saya juga sering membandingkan satu berita di berbagai media.”imbuhnya. Menurutnya sudut pandang yang berbeda bisa membuat penalaran dan penulisan yang berbeda pula. Yonaz membaca koran-koran termurah di Jogja, yaitu Tribun dan Kedaulatan Rakyat. “Tapi untuk karya ini saya membaca Kompas Tempo dan Jawa Pos juga.”ujarnya. Yonaz mengumpulkan berita-berita di koran selama 30 hari di bulan April dan menyajikannya di galeri untuk memperlihatkan betapa satu peristiwa bisa saling berkejaran dan ketika dimasukkan dalam sebuah ruang bisa bertumpuk satu sama lain.

Koran, bagi Yonaz, bisa menjadi bibit karya yang sangat kaya. Typografi, fotografi, dan tata letak koran menurutnya adalah bank visual yang menarik untuk diutak-atik. Ide ini malah tercetus dalam sebuah kecelakaan. Dulu ia pernah membuat karya dari kayu. Oleh tukang kayunya, karyanya dibungkus koran dan ketika dibuka, teks dari koran itu menempel di permukaan karyanya. “Tukang kayunya udah bingung waktu itu. Padahal menurutku, malah (karyaku menjadi tambah) bagus!”katanya.

Selain itu tekstur kertas koran yang semakin lama semakin menguning juga menarik untuknya. Ia mengibaratkan perubahan tekstur koran seperti itu sama menariknya seperti aroma lembaran halaman buku baru yang mengundang untuk dicium-cium.

Sayangnya ketika masuk ke dalam galerinya, saya tidak merasa masuk ke dalam koran. Kesan klaustrofobik dan dikejar-kejar oleh berbagai peristiwa buruk di dunia yang terus berputar ini tidak menyergap saya. Saya hanya merasa masuk ke dalam ruangan yang dindingnya adalah kliping. Tapi kata Yonaz, “…kalau pengunjung memang orang yang suka sama koran, mereka akan berhenti dan membaca setiap artikel. Mereka tidak akan melihatnya sambil lalu.” Mungkin, sayang sekali, saya adalah orang yang tidak mengharapkan masuk ke galeri untuk membaca berita di koran yang ditempelkan ke dinding. Saya lebih mengharapkan simulasi ruang yang penuh, ramai, riuh, dan kuning temaram seperti selembar koran itu sendiri. Tapi, sekali lagi, interpretasi rasa kan bisa berbeda-beda. Rasa yang saya alami dalam pengalaman membaca koran mungkin berbeda dengan orang lain.

Namun di luar saling silang kami tentang koran, saya merasa berbagi banyak kesamaan dengan Yonaz dalam kesukaan kami akan teks. Saya yakin, seperti halnya saya, Yonaz adalah orang yang tidak bisa tidak membaca. Dia orang yang menganggap penting lirik lagu, dia pengepul kutipan orang-orang ternama, dia juga belajar seni visual dari banyak membaca. Ia adalah pembaca ulung: ia membaca lalu merespon apa yang ia baca dengan membuat karya lain. Kata-kata dan maknanya adalah bagian dari karya seni rupanya. Belakangan ia membuat satu seri  berjudul Hidmessage. Dengan teknik Xerox transfer image dan ecoline di atas kertas ia menulis serta merespon lirik-lirik lagu favoritnya. Saya suka sekali seri ini karena saya juga orang yang agak terlalu menganggap penting lirik lagu.

Tentu saja Yonaz juga suka membaca buku. Buku favoritnya adalah Atheis karya Archiat Karta Mihardja, sebuah roman terbitan akhir 1940an yang pada masanya sempat menimbulkan ketegangan dari kelompok kiri Indonesia. Namun buku yang mendorongnya untuk terus belajar lewat membaca adalah sebuah buku tipis bersampul hitam yang sudah ia lupakan judul dan pengarangnya. “Sebuah buku tentang graffiti di Belanda yang saya baca waktu kelas 1 SMP.”ungkapnya. Buku itu sekarang sudah jadi mouse pad di rumahnya di Magelang, tapi buat dia buku itu menjadi awal mata rantai bacaan-bacaan lain yang lebih berat, yang membuatnya tersadar bahwa membaca dan belajar itu menyenangkan.

Efek samping dari gemar membaca adalah menulis. Walau tidak digeluti seserius membuat karya visual, Yonaz telah menulis zine sejak 2007. Berdalih bahwa menulis zine hanya kedok baginya untuk berkenalan dan mengobrol dengan orang-orang yang ia anggap keren, nyatanya selebrasi RARfunzine cukup ramai di komunitasnya.

Perkenalan Yonaz dengan jurnalistik adalah ekstrakurikuler mading yang ia ikuti saat SMA di Magelang. Menarik bahwa dari ekskul itu ia malah belajar banyak hal tentang visual. Dari situ ia belajar tata letak artikel yang ramah pembaca dan jenis font yang menarik untuk dibaca. Kemudian baru ia mengenal media alternatif bernama zine dari kakaknya yang juga seniman. Setelah kuliah di Jogja dan bekerja di DGTMB ia tertarik dengan fenomena komik fotokopi.

Jujur saja saya tidak terlalu suka dengan seni visual yang tekstual. Bagi saya terlalu banyak kata-kata di antara gambar membuat senimannya terkesan insecure dengan karyanya sendiri, seakan takut pesannya tidak disampaikan dengan baik jika tidak dengan kata-kata yang gamblang. Tapi Yonaz, menurut saya, adalah satu di antara sedikit mereka yang bisa membuat kata-kata dalam karya visualnya menjadi perlu. Bentuk dan susunan huruf beserta makna yang dihantarkannya adalah bagian penting dari karyanya, bukan sekedar catatan kaki. Dia adalah pembaca ulung, yang sedang berjalan untuk menjadi perupa yang baik.




Gisela Swaragita
untuk dimuat di RARFunzine edisi Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar