Saya tidak suka membaca koran. Saya sungguh ragu dengan
kebenaran yang disarikan setelah melalui perjalanan panjang dari peristiwa ke
wartawan, wartawan ke editor, editor ke percetakan, dan kemudian disebarkan ke
masyarakat. Koran yang hadir setiap pagi di setiap sudut kota tidak
semerta-merta ada di tangan pengasong. Selain itu sebuah artikel saja bisa
dibentuk-bentuk seperti lempung, sesuai kepentingan berbagai pihak yang
terlibat dalam politik pencitraan. Koran adalah teknologi penyampaian berita
yang sangat murah: kertas, tinta, bahkan upah wartawan ditekan
sepenyet-penyetnya, sehingga dengan biaya produksi sekecil-kecilnya oplah per-edisi
bisa sebanyak-banyaknya dan bisa terbit sering-seringnya. Bayangkan, sebuah
produk tulisan masal yang hadir setiap hari! Menawarkan satu versi kebenaran
pada masyarakat dan menyebutnya berita! Dia adalah jendela dunia bagi
pembacanya, namun bukan jendela yang semerta-merta terbuka, melainkan jendela
dengan kaca warna-warni yang mengklaim dirinya sendiri bening. Membaca koran di
pagi hari bisa bikin saya klaustrofobik dan pening. Saya bisa merasa dikepung
terlalu banyak berita yang dibuat buruk supaya jadi menarik. Lebih baik saya nyekrol
instagram saja sambil menyeruput kopi pagi saya.
Namun ternyata saya tidak berbagi pendapat dengan Yonaz
Kristy Sanjaya. Mahasiswa DKV ISI angkatan 2010 yang juga bekerja di departemen
desain DGTMB ini baru saja mengadakan pameran yang berbahan dasar koran. Tidak
tanggung-tanggung, ia berambisi membuat pengunjung pamerannya merasa masuk ke
dalam koran!
Pameran tunggal pertamanya ini berjudul “Between Media and
Other Stories” yang dipamerkan di Lir Space sebagai rangkaian program Ex Lab
bersama 3 perupa muda lainnya. Karya utamanya adalah sebuah buku berisi kliping
berita-berita koran yang ia respon secara artistik. Buku tersebut diletakkan di
sebuah podium di tengah ruang galeri dan disorot lampu. Kemudian di seluruh
ruangan, Yonaz menempelkan berbagai artikel berita yang kemudian juga ia respon
dengan drawing. Di dinding yang satu ia menempelkan berita-berita tentang kasus
pedophilia di sekolah internasional. Di dinding yang lain ia menempelkan berita
tentang hilangnya pesawat terbang Malaysia beberapa bulan yang lalu. Di dinding
lainnya ia menampilkan penderitaan TKI di luar negeri.
Yonaz adalah satu-satunya teman saya yang mengaku dirinya
hobi baca koran secara intensif. “Saya sering beli koran di lampu merah. Kalau
lagi ga punya uang tapi pengen baca koran, saya ke (warung) burjo untuk baca
koran. Esok harinya koran itu akan saya minta.”katanya. Berita-berita yang
menurutnya menarik ia koleksi dalam sebuah kliping yang kemudian ia respon
dengan drawing. Lucu sekali, karena di antara berbagai hobi yang tersedia untuk
anak-anak muda, Yonaz memilih membaca koran dan membuat kliping. Bahkan
mengkonsumsi berita dengan media yang sekonservatif koran bagi saya sudah
nyentrik. Yonaz hanya sesekali membaca berita online dan sama sekali tidak
tertarik dengan berita di televisi.
Tentang kebenaran koran yang tendensius, menurut Yonaz “…itu
yang bikin seru. Koran adalah yang bisa bikin saya riuh.” Membaca koran memantik
Yonaz untuk membaca buku-buku atau referensi yang lain untuk mengejar kebenaran
suatu peristiwa. “Selain itu saya juga sering membandingkan satu berita di
berbagai media.”imbuhnya. Menurutnya sudut pandang yang berbeda bisa membuat
penalaran dan penulisan yang berbeda pula. Yonaz membaca koran-koran termurah
di Jogja, yaitu Tribun dan Kedaulatan Rakyat. “Tapi untuk karya ini saya
membaca Kompas Tempo dan Jawa Pos juga.”ujarnya. Yonaz mengumpulkan
berita-berita di koran selama 30 hari di bulan April dan menyajikannya di galeri
untuk memperlihatkan betapa satu peristiwa bisa saling berkejaran dan ketika
dimasukkan dalam sebuah ruang bisa bertumpuk satu sama lain.
Koran, bagi Yonaz, bisa menjadi bibit karya yang sangat
kaya. Typografi, fotografi, dan tata letak koran menurutnya adalah bank visual
yang menarik untuk diutak-atik. Ide ini malah tercetus dalam sebuah kecelakaan.
Dulu ia pernah membuat karya dari kayu. Oleh tukang kayunya, karyanya dibungkus
koran dan ketika dibuka, teks dari koran itu menempel di permukaan karyanya.
“Tukang kayunya udah bingung waktu itu. Padahal menurutku, malah (karyaku
menjadi tambah) bagus!”katanya.
Selain itu tekstur kertas koran yang semakin lama semakin
menguning juga menarik untuknya. Ia mengibaratkan perubahan tekstur koran
seperti itu sama menariknya seperti aroma lembaran halaman buku baru yang
mengundang untuk dicium-cium.
Sayangnya ketika masuk ke dalam galerinya, saya tidak merasa
masuk ke dalam koran. Kesan klaustrofobik dan dikejar-kejar oleh berbagai
peristiwa buruk di dunia yang terus berputar ini tidak menyergap saya. Saya
hanya merasa masuk ke dalam ruangan yang dindingnya adalah kliping. Tapi kata Yonaz,
“…kalau pengunjung memang orang yang suka sama koran, mereka akan berhenti dan
membaca setiap artikel. Mereka tidak akan melihatnya sambil lalu.” Mungkin,
sayang sekali, saya adalah orang yang tidak mengharapkan masuk ke galeri untuk
membaca berita di koran yang ditempelkan ke dinding. Saya lebih mengharapkan
simulasi ruang yang penuh, ramai, riuh, dan kuning temaram seperti selembar koran
itu sendiri. Tapi, sekali lagi, interpretasi rasa kan bisa berbeda-beda. Rasa
yang saya alami dalam pengalaman membaca koran mungkin berbeda dengan orang
lain.
Namun di luar saling silang kami tentang koran, saya merasa
berbagi banyak kesamaan dengan Yonaz dalam kesukaan kami akan teks. Saya yakin,
seperti halnya saya, Yonaz adalah orang yang tidak bisa tidak membaca. Dia
orang yang menganggap penting lirik lagu, dia pengepul kutipan orang-orang
ternama, dia juga belajar seni visual dari banyak membaca. Ia adalah pembaca
ulung: ia membaca lalu merespon apa yang ia baca dengan membuat karya lain. Kata-kata
dan maknanya adalah bagian dari karya seni rupanya. Belakangan ia membuat satu
seri berjudul Hidmessage. Dengan teknik
Xerox transfer image dan ecoline di atas kertas ia menulis serta merespon
lirik-lirik lagu favoritnya. Saya suka sekali seri ini karena saya juga orang
yang agak terlalu menganggap penting lirik lagu.
Tentu saja Yonaz juga suka membaca buku. Buku favoritnya
adalah Atheis karya Archiat Karta
Mihardja, sebuah roman terbitan akhir 1940an yang pada masanya sempat
menimbulkan ketegangan dari kelompok kiri Indonesia. Namun buku yang
mendorongnya untuk terus belajar lewat membaca adalah sebuah buku tipis
bersampul hitam yang sudah ia lupakan judul dan pengarangnya. “Sebuah buku
tentang graffiti di Belanda yang saya baca waktu kelas 1 SMP.”ungkapnya. Buku
itu sekarang sudah jadi mouse pad di
rumahnya di Magelang, tapi buat dia buku itu menjadi awal mata rantai bacaan-bacaan
lain yang lebih berat, yang membuatnya tersadar bahwa membaca dan belajar itu
menyenangkan.
Efek samping dari gemar membaca adalah menulis. Walau tidak
digeluti seserius membuat karya visual, Yonaz telah menulis zine sejak 2007.
Berdalih bahwa menulis zine hanya kedok baginya untuk berkenalan dan mengobrol
dengan orang-orang yang ia anggap keren, nyatanya selebrasi RARfunzine cukup
ramai di komunitasnya.
Perkenalan Yonaz dengan jurnalistik adalah ekstrakurikuler
mading yang ia ikuti saat SMA di Magelang. Menarik bahwa dari ekskul itu ia malah
belajar banyak hal tentang visual. Dari situ ia belajar tata letak artikel yang
ramah pembaca dan jenis font yang menarik untuk dibaca. Kemudian baru ia
mengenal media alternatif bernama zine
dari kakaknya yang juga seniman. Setelah kuliah di Jogja dan bekerja di DGTMB
ia tertarik dengan fenomena komik fotokopi.
Jujur saja saya tidak terlalu suka dengan seni visual yang
tekstual. Bagi saya terlalu banyak kata-kata di antara gambar membuat
senimannya terkesan insecure dengan
karyanya sendiri, seakan takut pesannya tidak disampaikan dengan baik jika
tidak dengan kata-kata yang gamblang. Tapi Yonaz, menurut saya, adalah satu di
antara sedikit mereka yang bisa membuat kata-kata dalam karya visualnya menjadi
perlu. Bentuk dan susunan huruf beserta makna yang dihantarkannya adalah bagian
penting dari karyanya, bukan sekedar catatan kaki. Dia adalah pembaca ulung,
yang sedang berjalan untuk menjadi perupa yang baik.
Gisela Swaragita
untuk dimuat di RARFunzine edisi Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar