Tentang konser peluncuran album perdana duo neo-folk Rabu,
“Renjana”, IFI/LIP, 26 Juni 2014.
“Jogja panas yah ga kyk pleret.” kicau @pleretian di twitter,
Rabu 25 Juni 2014. Siapa sangka twit yang ganjen itu pertanda kedua personel
neo-folk Rabu sudah tuntas melaksanakan turnya ke 6 kota di Jawa dan telah
mendarat di kota asal dengan selamat. Si pemilik akun tidak lain adalah Wednes
Mandra yang bersama Judha Herdanta telah menambahkan genre “balada gelap terang
atmosferik” ke khazanah musik independen Indonesia. Sejak 19 Juni, mereka
“gentayangan” di Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Semarang dan Solo. Hanya
ditemani Adi Adriandi yang bergantian dengan Indra Menus, mereka memperkenalkan
album perdana, “Renjana” ke khalayak yang sudah penasaran sejak versi
digitalnya dirilis oleh Yes No Wave beberapa bulan lalu.
Konser di Jogja dirancang istimewa karena selain menjadi pungkasan
rangkaian tur mereka, konser ini juga menjadi pesta “selamatan” untuk album
perdana yang akan dirilis. Maka, pada 26 Juni 2014, para gig-goers di Jogja mendapatkan pengalaman nonton band yang berbeda:
acara musik sebagai ritual selamatan. Entah karena memang ingin memanjatkan
syukur kepada Tuhan dengan cara sedemikian rupa, atau karena memang menyesuaikan
dengan konsep Rabu yang mengambil kesan gelap dari spiritualitas Jawa, malam
itu Kongsi Jahat Syndicate menyediakan tumpeng nasi kuning dan ayam ingkung di
atas talam bambu berlapis daun pisang, disajikan di tengah aroma pekat dupa
yang telah dinyalakan di sudut-sudut tersembunyi Lembaga Indonesia Perancis.
Seratus lima puluh orang yang membeli tiket dan sejumlah
besar undangan berkerumun di halaman depan LIP ketika Agung “Leak” Kurniawan
memimpin doa secara “Nasional”. “Kepada apapun yang ada di atas. Semoga
albumnya laris. Semoga bandnya bisa berumur panjang.” ujarnya sebelum memotong
pucuk gunungan nasi kuning yang diberi lauk pauk dan diserahkan pada Wednes.
Saat Wednes menerima piring itu secara seremonial dan mencicipinya
sedikit bersama Judha, saya teringat bahwa hampir setahun yang lalu Rabu
membuka konser Frau yang fenomenal itu di tempat ini juga. Beberapa bulan
sebelumnya, saya menonton salah satu penampilan paling awal Rabu di JNM, juga
di peluncuran album temannya yaitu MDAE. Saat itu Rabu baru terdiri dari Wednes
seorang diri, memainkan untuk pertama kalinya bagi sebagian besar orang,
“Lingkar”, “Dalam Tidur”, dan “Kemarau, Bunda, dan Iblis”. Wednes hanya menggunakan
gitar akustik boncel-boncel yang harus distem lagi setiap kali berganti lagu.
Namun keantengannya yang aneh serta suara vokalnya yang berat dan tidak biasa
membuat musik sekaligus penampilan Rabu dengan mudah tertambat di kepala saya. Kini,
setahun sejak pertama kali menonton Rabu dan mengikuti sepak terjangnya, saya
yakin memang sudah saatnya mereka dirayakan dalam sebuah pesta peluncuran album
mereka sendiri.
Pilihan band pengiringnya juga unik: Pribumi dan Sulfur.
Keduanya adalah proyek sampingan band-band yang lebih “senior” daripada Rabu. Pribumi
terdiri dari Soni Irawan, Handoyo Purwowijoyo, dan Aan Dwirima yang jika
ditambahi beberapa nama lagi akan menjadi Seek Six Sick generasi awal. Sulfur
adalah Krisna Widiathama dari Sodadosa yang memainkan noise bersama Woro. Kedua band tersebut memainkan setnya di atas
panggung LIP yang ditata hitam sambil ditembak slideshow dari proyektor, sementara para penonton dihujani tata
lampu merah pekat yang misterius.
Ketika tiba giliran Rabu, panggung ditiadakan. Semua lampu
dimatikan. Penerangan remang-remang hanya dari proyektor yang stand by menembak cahaya hitam ke layar
di seberang. Kru Kongsi Jahat menata dua kursi di tengah penonton, masing-masing
ditumpangi sebuah gitar dan dikelilingi rangkaian efek untuk menghasilkan sound menggaung yang menjadi ciri khas
mereka itu. Sebuah stand mic dengan
mikrofon yang telah siap digunakan diberdirikan di depan kursi sebelah barat. Kemudian
lantai di sekitar kedua kursi tersebut ditaburi bebungaan. Barisan penonton
diarahkan ulang untuk mengelilingi tatanan tersebut. Gelap dan diam sesaat.
Kemudian Wednes dan Judha memasuki tatanan panggung tersebut
dan tanpa berkata-kata memangku kedua gitar mereka. Keduanya seakan seketika
menjelma dua pandita yang telah mengangkat rangkaian nada dari berbagai kantong
kesedihan di sudut-sudut semesta dan siap mempersembahkannya pada siapa saja di
ruangan itu. Dua lampu titik lampu sorot menyala temaram di atas kepala mereka.
Penonton bertepuk tangan. Pertunjukan dimulai.
Selama entah berapa puluh menit yang intens, barisan-barisan
lagu dalam album “Renjana” dikumandangkan diiringi tata lampu dramatis. Favorit
saya masih lagu-lagu yang sudah disebutkan di atas. Namun saya juga tetap terkesima
menyaksikan “Baung”, “Dru”, “Telaga Kasih”, dan “Semayam”. Penonton sedikit
tertawa ketika komposisi “Kereta Terakhir” dibawakan, terutama ketika tanpa
diduga suara narator imbauan masyarakat untuk berhati-hati di jalur kereta api
ikut diputar di akhir lagu. Mereka juga membawakan “Doa Renjana” dan “Penyusup”
yang hanya ada di album versi fisik mereka. Ketika mereka selesai, saya
mengerjap dan tersadar dari buaian keseraman yang syahdu, kenyang disuguhi
sajian estetis dari segala yang singup dan gelap. Sungguh puas, tidak kurang,
tidak berlebihan.
Menurut KKBI, “Renjana” berarti “perasaan hati yang kuat”.
Mungkin itu lah yang
“…bersemayam dalam
belantara / hati setiap insan yang dilahirkan…”
Gisela Swaragita
untuk dimuat di KANALTIGAPULUH
http://www.kanaltigapuluh.info/tentang-konser-peluncuran-album-perdana-duo-neo-folk-rabu-renjana-di-yogyakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar