Artikel mulai ditulis Sabtu, 24 Mei 2014
Terinspirasi dari acara "Diskusi Konsumsi Musik di Era Digital", Kedai Kebun Forum, 24 Mei 2014
Sore ini saya mengikuti sebuah diskusi menarik di Kedai
Kebun Forum. Kebetulan pembicaranya adalah dedengkot netlabel Indonesia, Wok
The Rock dari Yes No Wave Music, ditemani Matias Sri Aditya, gitaris Summer in
Vienna. Karena mengobrol dengan Mas Wowok selalu menghasilkan pemikiran baru di
kepala dan Matias gitarisnya band saya, saya bela-belain bolos dua jam kerja ke
galeri sebelah untuk mengikuti diskusi tersebut.
Jika diamati, perpaduan kedua pembicara ini sangat unik.
Yang satu adalah salah satu legenda scene,
dia yang pada zamannya melangkah ke masa depan dan menggandeng internet
untuk memudahkan penyebaran musik dalam format soft file. Yang satu lagi adalah
gitaris band yang baru berdiri selama dua tahun dan memuliakan romantisme masa
lalu dengan merilis karyanya lewat rekaman fisik.
Yang menarik dari diskusi ini adalah bagaimana para pelaku
musik menyebarkan sebuah karya audio sambil menyiasati (1) industri dan
kapitalisme, sekaligus pola pikir kita sendiri yang masih sulit membayangkan
bahwa musik bisa dibeli bukan hanya dengan uang (2) praktek pembajakan dan
penyebaran ilegal di era digital, (3) kocek pribadi yang dipilah-pilah untuk
produksi karya.
Mas Wowok menuturkan bahwa berdirinya Yes No Wave sebagai
netlabel diawali dari kejengahannya sebagai pelapak gigs yang mencermati bahwa
kaos band jauh lebih laku dibandingkan kaset atau CD band. Kemudian sekitar tahun 2004 ia menemukan
archive.org, sebuah platform hosting data di internet yang bisa berfungsi
sebagai perpustakaan digital. Ia melobi beberapa band yang ia sukai
lagu-lagunya lalu merilisnya lewat platform tersebut yang ia beri nama Yes No
Wave. “Daripada jualan kaset dan tidak laku, lebih baik kita rilis lagunya di
internet. Dana untuk produksi kaset atau CD bisa dialokasikan untuk memproduksi
merchandise, yang terbukti jauh lebih laku.”
Implikasi dari manuver ekonomi tersebut bergulir lebih jauh
dari sekedar penghematan ongkos produksi. Bisa dirilis di Yes No Wave merupakan
sebuah prestis tersendiri bagi banyak band di Indonesia, karena walau pun kini
ada puluhan netlabel di negeri ini, Yes No Wave diakui oleh khalayak sebagai
yang paling cult. Padahal proses kurasinya dipegang oleh Wok the Rock seorang.
“Yang saya rilis adalah lagu-lagu yang saya suka. Kalau saya suka ya saya
rilis, kalau tidak suka ya tidak saya rilis.” ujarnya. Maka artis-artis Yes No
Wave bisa bermacam-macam, mulai dari Frau sampai Punkasila hingga, yang terbaru
dan masih ditunggu-tunggu, Rabu. Untuk merumuskan the “Yes No Wave” factor yang
harus dimiliki sebuah unit musik supaya pantas dirilis via yesnowave.com, “…kamu
harus download dan dengarkan semua musik di Yes No Wave, nanti juga tahu selera
saya yang seperti apa,”kata Mas Wowok sambil terkekeh, malas memetakan sendiri
kecenderungan musikalnya.
Selain prestis, Yes No Wave juga mengusung semangat pemuliaan penyalinan sebagai wahana perkembangan budaya. Lewat Yes No Wave
kini banyak orang tahu tentang Creative Commons, lisensi penyebaran karya yang
mengakui, mentoleransi, atau bahkan menyiasati praktek penyebaran karya lewat
digital copying. Dengan menggunakan Creative Commons, artis membolehkan
karyanya disebar, digubah ulang, dan ditanggapi dengan karya lain (membuat
karya lain yang berintertekstual dengan karya tersebut).
Cukup banyak yang mengkernyitkan dahi ketika mendengar
konsep tersebut. “Lalu jika kita tidak membeli rilisannya, dengan cara apa kita
bisa menghargai karya musisi?”adalah pertanyaan yang umum dan ditanyakan berulang
kali oleh beberapa orang dengan kata-kata yang berbeda.
Nyatanya, menukar musik dengan uang adalah cara paling sekedarnya,
paling murah, dan paling dangkal. “Saya makhluk sosial. Saya punya potensi
intelektual. Saya bukan tempe yang dijual di jalan, ditukar dengan uang.”kata
Mas Wowok. Menurutnya, penukaran karya musik dengan uang adalah konsep
industri, konsep kapitalis. Menurutnya kini musik sering kali terpusat dalam
wacana industri, bukan wacana budaya.
Saya pun setuju. Ketika musik ditukar dengan ucapan “Musikmu
keren, aku suka!”, dengan nasib baik diundang manggung di suatu festival di
negeri yang jauh, dengan diputar di radio, dengan dimeriahkan mosh-pit panggungnya oleh gerombolan penonton yang bersemangat, dengan
dimuat di koran, dengan diulas di media-media musik terpercaya, dengan pertemuan
dengan siapa saja yang mendengarkan dan mendukung, kerja keras intelektual
dalam karya baru bisa impas.
Di pihak lain, perputaran uang sebuah band bisa datang dari
mana saja. Ketika musikmu disebarkan secara gratis, tingkat kemungkinan orang
mendengarkan dan menyukai akan lebih tinggi. Ketika ada banyak yang suka, maka
kamu akan banyak diundang ke berbagai panggung, baik yang berbayar maupun yang
tidak berbayar. Maka mereka akan membeli merchandise-mu dalam bentuk kaos,
tote-bag, atau bahkan CD. Mereka mungkin akan membeli rilisan fisikmu, sekedar
untuk membeli jejakmu. Sekedar untuk “Terimakasih karena kamu ada, terimakasih
karena telah membuat musik ini. Aku beli rilisanmu supaya kamu bisa terus
berkarya.”
“Memorabilia tidak bisa dibeli,”kata Matias. Summer in
Vienna membuat rilisan fisik, katanya, karena tidak ada yang bisa menandingi
sensasi memegang sebuah karya, membuka plastik seal-nya, membuka dan membaca-baca sampul CDnya. Sebagai band, kami
akan memberikan mp3 nya lengkap kepadamu kalau kamu minta. Tapi kamu tidak akan
bisa memegang kertas cover yang kami pilih sendiri bahannya, yang kami potongi,
lipat, dan tempeli sendiri, yang kami cap sendiri dengan segel rancangan kami
sendiri.
Kamu akan selalu bisa membuka laptop, memasukkan “Marshmallow Cheeks”
yang sudah dimampatkan jadi mp3 ke playlist
bersama ribuan lagu lainnya di playermu,
tapi kamu tidak bisa memajang Shallow
Lagoon Holidays di rak rekaman di kamarmu. Membuat album adalah perayaan atas karya. Lagu-lagu, yang sebenarnya bisa saja dilempar ke pendengar satu persatu begitu saja via file sharing, diberi baju, ditata dalam barisan playlist, diberi konteks, narasi, dan ilustrasi, serta diiringi kata-kata pengantar untuk dipamerkan kepada umum.
Keberadaan online sharing memberi makna tersendiri bagi rilisan fisik. Bukan malah mereduksi nilainya, rilisan fisik malah menjadi barang mewah, sesuatu yang tersier dalam lingkaran musik.
Menarik sekali. Salam.
BalasHapus