Rabu, 28 Mei 2014

Rilisan Fisik dan Online Sharing, Diskusi bersama Wok The Rock dan Matias Sri Aditya


Artikel mulai ditulis Sabtu, 24 Mei 2014
Terinspirasi dari acara "Diskusi Konsumsi Musik di Era Digital", Kedai Kebun Forum, 24 Mei 2014

Sore ini saya mengikuti sebuah diskusi menarik di Kedai Kebun Forum. Kebetulan pembicaranya adalah dedengkot netlabel Indonesia, Wok The Rock dari Yes No Wave Music, ditemani Matias Sri Aditya, gitaris Summer in Vienna. Karena mengobrol dengan Mas Wowok selalu menghasilkan pemikiran baru di kepala dan Matias gitarisnya band saya, saya bela-belain bolos dua jam kerja ke galeri sebelah untuk mengikuti diskusi tersebut.

Jika diamati, perpaduan kedua pembicara ini sangat unik. Yang satu adalah salah satu legenda scene, dia yang pada zamannya melangkah ke masa depan dan menggandeng internet untuk memudahkan penyebaran musik dalam format soft file. Yang satu lagi adalah gitaris band yang baru berdiri selama dua tahun dan memuliakan romantisme masa lalu dengan merilis karyanya lewat rekaman fisik.

Yang menarik dari diskusi ini adalah bagaimana para pelaku musik menyebarkan sebuah karya audio sambil menyiasati (1) industri dan kapitalisme, sekaligus pola pikir kita sendiri yang masih sulit membayangkan bahwa musik bisa dibeli bukan hanya dengan uang (2) praktek pembajakan dan penyebaran ilegal di era digital, (3) kocek pribadi yang dipilah-pilah untuk produksi karya.

Mas Wowok menuturkan bahwa berdirinya Yes No Wave sebagai netlabel diawali dari kejengahannya sebagai pelapak gigs yang mencermati bahwa kaos band jauh lebih laku dibandingkan kaset atau CD band.  Kemudian sekitar tahun 2004 ia menemukan archive.org, sebuah platform hosting data di internet yang bisa berfungsi sebagai perpustakaan digital. Ia melobi beberapa band yang ia sukai lagu-lagunya lalu merilisnya lewat platform tersebut yang ia beri nama Yes No Wave. “Daripada jualan kaset dan tidak laku, lebih baik kita rilis lagunya di internet. Dana untuk produksi kaset atau CD bisa dialokasikan untuk memproduksi merchandise, yang terbukti jauh lebih laku.”

Implikasi dari manuver ekonomi tersebut bergulir lebih jauh dari sekedar penghematan ongkos produksi. Bisa dirilis di Yes No Wave merupakan sebuah prestis tersendiri bagi banyak band di Indonesia, karena walau pun kini ada puluhan netlabel di negeri ini, Yes No Wave diakui oleh khalayak sebagai yang paling cult. Padahal proses kurasinya dipegang oleh Wok the Rock seorang. “Yang saya rilis adalah lagu-lagu yang saya suka. Kalau saya suka ya saya rilis, kalau tidak suka ya tidak saya rilis.” ujarnya. Maka artis-artis Yes No Wave bisa bermacam-macam, mulai dari Frau sampai Punkasila hingga, yang terbaru dan masih ditunggu-tunggu, Rabu. Untuk merumuskan the “Yes No Wave” factor yang harus dimiliki sebuah unit musik supaya pantas dirilis via yesnowave.com, “…kamu harus download dan dengarkan semua musik di Yes No Wave, nanti juga tahu selera saya yang seperti apa,”kata Mas Wowok sambil terkekeh, malas memetakan sendiri kecenderungan musikalnya.

Selain prestis, Yes No Wave juga mengusung semangat pemuliaan penyalinan sebagai wahana perkembangan budaya. Lewat Yes No Wave kini banyak orang tahu tentang Creative Commons, lisensi penyebaran karya yang mengakui, mentoleransi, atau bahkan menyiasati praktek penyebaran karya lewat digital copying. Dengan menggunakan Creative Commons, artis membolehkan karyanya disebar, digubah ulang, dan ditanggapi dengan karya lain (membuat karya lain yang berintertekstual dengan karya tersebut).

Cukup banyak yang mengkernyitkan dahi ketika mendengar konsep tersebut. “Lalu jika kita tidak membeli rilisannya, dengan cara apa kita bisa menghargai karya musisi?”adalah pertanyaan yang umum dan ditanyakan berulang kali oleh beberapa orang dengan kata-kata yang berbeda.

Nyatanya, menukar musik dengan uang adalah cara paling sekedarnya, paling murah, dan paling dangkal. “Saya makhluk sosial. Saya punya potensi intelektual. Saya bukan tempe yang dijual di jalan, ditukar dengan uang.”kata Mas Wowok. Menurutnya, penukaran karya musik dengan uang adalah konsep industri, konsep kapitalis. Menurutnya kini musik sering kali terpusat dalam wacana industri, bukan wacana budaya.

Saya pun setuju. Ketika musik ditukar dengan ucapan “Musikmu keren, aku suka!”, dengan nasib baik diundang manggung di suatu festival di negeri yang jauh, dengan diputar di radio, dengan dimeriahkan mosh-pit panggungnya oleh gerombolan penonton yang bersemangat, dengan dimuat di koran, dengan diulas di media-media musik terpercaya, dengan pertemuan dengan siapa saja yang mendengarkan dan mendukung, kerja keras intelektual dalam karya baru bisa impas.

Di pihak lain, perputaran uang sebuah band bisa datang dari mana saja. Ketika musikmu disebarkan secara gratis, tingkat kemungkinan orang mendengarkan dan menyukai akan lebih tinggi. Ketika ada banyak yang suka, maka kamu akan banyak diundang ke berbagai panggung, baik yang berbayar maupun yang tidak berbayar. Maka mereka akan membeli merchandise-mu dalam bentuk kaos, tote-bag, atau bahkan CD. Mereka mungkin akan membeli rilisan fisikmu, sekedar untuk membeli jejakmu. Sekedar untuk “Terimakasih karena kamu ada, terimakasih karena telah membuat musik ini. Aku beli rilisanmu supaya kamu bisa terus berkarya.”

Karenanya wacana musik kini sudah tidak berpusat di lagu, dan skena musik sudah tidak berpusat di musisi itu sendiri. Ada banyak platform dan bentuk karya lain yang membuatnya kompleks. Seperti juga keberadaan rilisan fisik yang menjadi cult, mungkin karena peran kemudahan digital file sharing yang digagas oleh Wok The Rock dan kawan-kawannya. Setelah kira-kira satu dekade menikmati mudahnya mendengarkan dan berbagi musik lewat internet dan hard drive, kini vinyl, CD, dan kaset mulai dicari lagi. Nilainya bergeser, bukan lagi sebagai alat pemutar lagu, namun sebagai memorabilia. Itulah salah satu alasan mengapa kami anak-anak band kemarin sore ini malah semangat untuk membuat album dan merilisnya secara fisik. Karena yang terjadi ketika kamu merilis karyamu dalam bentuk paket album bukan hanya penyebaran lagu, namun penyebaran wacana akan dirimu, pertemuan dengan orang-orang baru, dan munculnya sesuatu untuk dirayakan: karyamu.

“Memorabilia tidak bisa dibeli,”kata Matias. Summer in Vienna membuat rilisan fisik, katanya, karena tidak ada yang bisa menandingi sensasi memegang sebuah karya, membuka plastik seal-nya, membuka dan membaca-baca sampul CDnya. Sebagai band, kami akan memberikan mp3 nya lengkap kepadamu kalau kamu minta. Tapi kamu tidak akan bisa memegang kertas cover yang kami pilih sendiri bahannya, yang kami potongi, lipat, dan tempeli sendiri, yang kami cap sendiri dengan segel rancangan kami sendiri. 

Kamu akan selalu bisa membuka laptop, memasukkan “Marshmallow Cheeks” yang sudah dimampatkan jadi mp3 ke playlist bersama ribuan lagu lainnya di playermu, tapi kamu tidak bisa memajang Shallow Lagoon Holidays di rak rekaman di kamarmu. Membuat album adalah perayaan atas karya. Lagu-lagu, yang sebenarnya bisa saja dilempar ke pendengar satu persatu begitu saja via file sharing, diberi baju, ditata dalam barisan playlist, diberi konteks, narasi, dan ilustrasi, serta diiringi kata-kata pengantar untuk dipamerkan kepada umum. 

Keberadaan online sharing memberi makna tersendiri bagi rilisan fisik. Bukan malah mereduksi nilainya, rilisan fisik malah menjadi barang mewah, sesuatu yang tersier dalam lingkaran musik. 

1 komentar: