Kamis, 24 Juli 2014

Semeru, 17 – 22 Juli 2014



Kami berada di bak sebuah truk yang melaju dari Ranu Pane menuju Tumpang. Saya terbungkus mantel flannel, syal, topi rajut, celana panjang, dan sepatu boots, merasakan terpaan angin yang dingin di wajah. Jemari saya yang gemetaran menggenggam erat lingiran besi bak truk yang sedingin es. Kabut menyelimuti hutan di sepanjang jalan sehingga kami tidak bisa melihat matahari tenggelam di lereng-lereng pegunungan Tengger, tapi bintang segera bertaburan sangat terang di langit yang gelap dan kunang-kunang berkelip-kelip di antara pepohonan.

Di dalam bak truk, duduk bersedekap di antara tumpukan carrier yang berserak, ada tujuh anak muda lain. Beberapa jam yang lalu mereka masih mengkuatirkan saya, satu-satunya anggota perempuan dalam rombongan, yang tidak kunjung sampai ke pos pendakian di desa itu walau sudah meninggalkan Ranu Kumbolo sebelum tengah hari.


Pendakian ini adalah salah satu momen langka di mana saya merasa terintimidasi karena saya satu-satunya perempuan dalam rombongan. Sama sekali bukan karena teman-teman saya yang laki-laki semua itu jahat, sebaliknya, karena mereka terlalu baik dan saya takut jadi beban buat mereka. Saya tidak bisa berjalan secepat mereka. Di setiap tanjakan saya harus beristirahat. Carrier saya isinya barang-barang pribadi saya saja, tidak ada barang keperluan bersama seperti bekal, tenda, kompor atau peralatan survival lainnya. Di malam hari saya senantiasa ngelindur dan terisak karena kedinginan. Waktu perjalanan ke puncak, saya ketakutan setengah mati sehingga harus diantar kembali ke tenda. Waktu perjalanan turun gunung, saya jatuh berkali-kali, ketinggalan rombongan, tersesat di Desa Ranu Pane, sampai akhirnya diantar warga sekitar yang iba ke pos pendakian dan berkumpul lagi dengan mereka yang bernafas lega melihat saya tiba dengan selamat tidak kurang satu apa. Saya sungguh merepotkan.

Mereka tidak tahu betapa berartinya pendakian ke Semeru ini buat saya. Ini adalah pendakian pertama saya, pun disiapkan dengan sembrono. Badan saya yang lembek ini tidak dilatih dulu untuk naik gunung. Peralatan yang saya bawa dikumpulkan terburu-buru dari hasil pinjaman sana-sini. Sungguh, yang membuat saya nekat pergi adalah kejenuhan luar biasa.


Ajakan ke Semeru saya iyakan tanpa pikir panjang. Saya harus kabur dari Jogja. Dari notifikasi media sosial yang tiada henti. Dari thesis yang tidak kunjung selesai. Dari pertanyaan-pertanyaan sulit yang mulai ditanyakan orangtua saat anaknya telah berumur 24 tahun. Dari rumor-rumor miring tentang pekerjaan yang tiba-tiba saya tinggalkan. Dari segala penilaian, saran, kritik, dan komentar yang harus dijawab. Dari prestasi-prestasi kosong yang tidak membawa saya kemana-mana selain kelelahan luar biasa. Dari tekanan-tekanan lain yang membuat saya stress, makan terlalu banyak sehingga jadi sangat gemuk, dan akhirnya jadi perokok.
Semua orang butuh refleksi. Ada yang berpuasa 30 hari. Ada yang berpantang 40 hari. Ada yang menyepi di kegelapan seharian. Ada yang tidak makan daging seumur hidupnya. Bagi mereka yang terbebani jiwa dengan spiritualitas yang rumit, yang percaya bahwa Tuhan jauh lebih pengasih dan penyayang daripada yang didengungkan, refleksi diri bisa berupa apa saja. Pendakian ini mungkin saya butuhkan untuk menyingkir, untuk menyelami pertanyaan-pertanyaan dan penilaian dari diri sendiri. 

Semeru adalah puncak tertinggi di Pulau Jawa. Ini tempat bersemayamnya mereka yang terhalus dari para makhluk halus. Ini gunung besar yang diangkut Btara Wisnu dan Btara Brahma dari India untuk memaku pulau ini ke bumi supaya anteng, karena Pulau Jawa sebelumnya selalu diombang-ambingkan gelombang Samudera Hindia yang membingungkan dan memecah ke segala arah. Mungkin paku seperti itu yang sedang saya cari, supaya tidak bingung dan berlarian tanpa arah seperti belakangan ini.
 


Untuk itu saya harus banyak-banyak berterimakasih pada teman-teman saya yang telah berbaik hati memelihara dan menjaga saya selama enam hari perjalanan ini. Mereka tidak tahu bahwa perempuan gendut yang merepotkan ini sangat menikmati setiap detik bersama mereka, tergelak dengan setiap guyonan kasar yang mereka lontarkan seberapa pun cabulnya, tidak keberatan semua orang kentut di dekatnya, menyukai semua masakan aneh yang dimasak dengan kompor badai dan nesting kecil, akan senang hati ikut membantu apa pun seberapa pun canggungnya, dan berterimakasih atas keberadaan mereka di sekelilingnya dalam lanskap yang begitu indah itu.


Saya akan selalu merindukan nikmatnya direngkuh keheningan Ranu Kumbolo, danau di atas awan, di mana kamu bisa melihat matahari terbit di antara dua bukit seperti dalam gambar sederhana anak-anak TK. Menyaksikan kabut bergulung menyelimuti permukaan danau dari puncak Tanjakan Cinta. Melamun sambil menonton ikan-ikan bermain di sela dahan-dahan pohon mati yang tumbang ke dalam danau. Berjalan di setapak sempit yang diapit padang lavender yang rapat. Merasakan gagahnya gemuruh angin gunung meniup Puncak Mahameru dari Kalimati. Berjalan dengan was-was sambil menggenggam sebongkah batu setelah melihat jejak-jejak macan dalam perjalanan mengambil air ke Sumber Mani yang jauh dan itir. Buang air di semak-semak edelweiss. Makan pasta campur babi kalengan di bawah langit berbintang yang rapat dan terang. Melihat bintang jatuh. Memetik dan mengulum arbei liar sepanjang jalan. Beristirahat di lereng bukit sambil melihat padang savanna di bawah sana, dikelilingi bukit-bukit hijau di bawah langit yang biru seperti tinta. Duduk bersedekap rapat di atas mattress di luar tenda, menggilir kopi dan rokok, diselimuti kabut dan udara berembun. Terbangun pukul dua pagi di tepi Ranu Kumbolo dan mengalami kesunyiaannya yang wingit di bawah bintang-bintang, bulan purnama, dan kabut yang senantiasa merayap. Ikut tertawa mendengarkan percakapan sebelum tidur dari tenda sebelah. Akhirnya tertidur sambil mendengarkan "Ara Batur"-nya Sigur Ros dari handphone yang sedang di-charge pakai powerbank.

Terimakasih banyak Indra Arista, pendaki ulung, si ketua rombongan yang langkah-langkah pelannya tidak pernah terkejar langkah-langkah tergopoh saya. Julian Sroczinski, si Paijo dari Tulungagung, Alder dari Frankfurt, yang masakannya selalu enak dan rasa penasarannya membuat perjalanan ini jadi nyata. Sofyan “Brojjol” Hidayat, yang selalu perhatian dan siap membantu. Dhika Adikara, yang celetukan dan guyonan sarkasnya selalu menghibur. Onyen Ho, yang menunggu saya di setiap tikungan dan tanjakan dalam perjalanan turun gunung yang berat. Sholekatu, yang berbaik hati mendorong saya untuk terus naik ke puncak. Kukuh, yang paling rajin bekerja, yang selalu memanggil saya “mbak”, yang tidak pernah keberatan dijadikan bahan guyonan.






Perjalanan enam hari lima malam ini untuk selamanya. 
Sesampainya di Tumpang, saat segala sms dan notifikasi berebut masuk handphone masing-masing, saat pantat-pantat yang tadinya hanya diusap tisu basah akhirnya bisa dibasuh bersih pakai air dan sabun, saat kami mau tidak mau mencuri dengar berita yang menguar dari televisi di rumah induk semang pendaki, sebenarnya saya masih ingin kedinginan di Ranu Kumbolo, melihat kabut merayapi danau dan bebukitan di bawah bintang-bintang. 


 






kami naik Sritanjung dari Jogja ke Surabaya. Di seberang kami sedang ada ibu-ibu ceriwis yang dengan semangat menceritakan kisah cinta remajanya ke penumpang yang lain.


"Aku pernah ilfil sama cewek gara-gara tatonya jelek!" Onyen Ho, pustakawan



dalam perjalanan naik truk dari Tumpang ke Ranu Pane, kami sempat melihat sunrise di Pegunungan Tengger




 
setelah berjalan jauh, tiba-tiba di Pos 1 ada yang jual Semangka seharga Rp 5000 untuk 2 potong!

semua orang berteman ketika mendaki di lereng gunung. Kami selalu bisa ngobrol dengan siapa saja, dari mana saja. Di jembatan ini kami beristirahat bersama dua orang porter Gimbal Alas.
Setelah mendaki berjam-jam, akhirnya Ranu Kumbolo kelihatan! Waaaaaa
Danau ini adalah tujuan utama saya! Sudah sangat penasaran setelah mendengarkan "Ranu Kumbolo" nya Jono Terbakar

Sebelum memasang tenda, kita harus berjalan agak jauh dulu untuk dapat spot terbaik untuk menonton sunrise





Sholekatu!


Julian dan Indra



our weary shoes


jika Ranu Kumbolo sedang sejuk dan bermatahari, kamu bisa piknik di luar tenda, membaca, menulis, tiduran, kenalan sama pendaki lainnya...
Onyen Ho dan Brojjol. Dialog konyol antara mereka adalah salah satu obat capek paling manjur!



Julian dan Indra, dua camp chef andalan, dibantu Kukuh yang paling rajin
setelah sarapan kami meninggalkan Ranu Kumbolo menuju Kali Mati

Ranu Kumbolo dari atas Tanjakan Cinta  


Jadi mitosnya adalah, kalau kamu berhasil mendaki Tanjakan Cinta tanpa menengok ke belakang kamu akan dapat cinta sejati. Ha. Ha. Ha.


Setelah Tanjakan Cinta, ada padang savana dilanjutkan padang lavender. Sayangnya waktu kami di sana, lavendernya baru saja mengering.






mulai dari sini, kalau ketemu porter lokal, mereka akan bilang "Ayo semangat Mbak! Ntar macannya lewat lho!"

"Ah santai aja. Paling ntar diemut-emut doang sama macannya."

Kalimati adalah padang ilalang kering dengan semak-semak edelweiss yang jarang-jarang. Sayang di sini banyak sampahnya.




Dari Kalimati kamu sudah bisa melihat puncak Mahameru yang lancip, sekaligus terteror suara angin gunung yang seram

Sholekatu dan Julian bikin perapian



Bobok sore dulu sebelum ke Puncak

tapi pak dari 8 orang, hanya Sholekatu dan Julian yang sampai Puncak. Onyen Ho tinggal di tenda. Saya gugur sebelum sampai Arcopodo, diantar pulang sama Indra. Kukuh hanya sampai Cemoro Tunggal. Dhika dan Brojjol gempor di Puncak Bayangan. Anyway, it's still worthy!




Envy you, champions!

Siangnya, setelah pada istirahat, kita kembali ke Ranu Kumbolo untuk ngecamp semalam lagi


Berbeda dengan hari sebelumnya yang sangat cerah di Ranu, kabut tebal turun sehingga jarak pandang hampir nol. Kami memutuskan untuk tidur awal saja. Kami tidur hampir 12 jam saat itu.




Besoknya, kami sarapan di tengah kabut. tapi angin bertiup dan udara jadi cerah lagi. Pagi itu menyenangkan di Ranu Kumbolo






buang air di tengah pemandangan indah? check!

sebelum pulang, ada merchandise photo session dulu

mata-mata brojjol di mana-mana










pulang lewat jalur Ayak-Ayak yang terjal.

















Indra, Brojjol, Dhika, dan Julian tinggal di Skateboart Foundation House di daerah Taman Siswa. Dalam waktu dekat mereka akan menyelenggarakan pameran foto dari kamera analog Julian selama masa pertukaran pelajarnya di Indonesia. Brojjol dan Dhika, dua perupa muda yang pernah main di Lelagu, punya line merchandise mereka sendiri yang bernama Push and Brush.

Foto-foto oleh Brojjol, Gisa dan Sholekatu

4 komentar:

  1. selamat mbak gisa sudah sampai sana juga akhirnya :) buatku, perjalanan ke gunung itu lebih dari sekedar sampai puncak. puncak yg belum terjejak adalah alasan dari tuhan untuk kita bisa kembali lagi #pembelaan1 santai ja, esensi pergi itu untuk pulang, bukan untuk satu tujuan disana. bukan begitu? #pembelaan2 . titip salam buat danau "mati juga kehidupan"

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih banyak Jono! Saya akan selalu ingin kembali. Salammu sudah saya sampaikan sebelum kamu titipkan, di sana saya selalu tanpa sadar nyanyi "...tidurku di danau, di atas, di awan..." :D

      Hapus
  2. Hehehe...tulisan tentang perjalanan ke gunung pasti selalu terasa sentimentil buatku. Hahaha. Selamat Mbak Gisa. Kenekatan tanpa banyak pikir panjang kadang emang tindakan konyol, tapi kadang juga jadi kesempatan besar. Soalnya kalo kelamaan dipikir pasti nggak bakal jadi berangkat. Hahahahaha..... Foto-fotonya cantik sekali (plus objeknya juga cantik banget sih), teman-temanmu bikin bahagia. Hahaha. Refleksi yang indah plus berharga sekali, ya. :D

    BalasHapus
  3. Aq hanya bisa mengucapkan selamat buat kalian...

    BalasHapus