Narasi di bawah ini saya tulis sebagai refleksi generasi untuk proyek Jalan Emas yang saya lakukan bersama Yennu Ariendra, Asa Rahmana, Erson Padapiran, Diwa Hutomo, Jay Afrisando, dan Rendra Pamungkas. Refleksi saya ini tidak mewakili diri saya sendiri, tidak mewakili semua anak muda seangkatan saya di Jogja. Ada banyak hal di bawah ini yang tidak saya lakukan, tapi saya tulis berdasarkan apa yang saya lihat menarik dari teman-teman di sekitar saya. Misalnya, begitu saya baca dan baca lagi, saya sadar saya tidak menulis apapun tentang televisi, olah raga, dan games, padahal jelas-jelas banyak anak seangkatan saya yang suka nonton TV, berolahraga, dan main games, hanya saja saya tidak berbagi kesukaan yang sama. Mungkin lingkungan saya memang sangat "scene".
Refleksi ini saya bagi di sini karena mungkin saya berbagi pemandangan yang sama dengan orang-orang lain. Ini adalah apa yang saya alami di Yogyakarta sebagai perempuan berumur 20an tahun.
Berumur 20 sekian
tahun di Jogja
Saya lahir tahun 1990, yang artinya sedang dalam masa
early-20s crisis. Di kota ini angkatan saya bisa dibilang angkatan penggerak,
karena kebanyakan penduduk kota ini adalah mahasiswa seumuran saya. Kami semua,
tidak peduli dari kota mana dan apa latar belakang orang tua kami, adalah kelas
menengah. Kami hidup dengan uang saku yang masih rutin dipasok keluarga dan
penghasilan yang sewaktu-waktu datang dari freelance serabutan, yang bisa jadi
pekerjaan apa saja.
Gerakan konsumsi kami sangat dinamis. Kami berdandan keren
dan minum secangkir latte di kafe-kafe cantik di Jogja utara. Kami memakai
flannel, jeans belel dan sneakers kumal, minum pondoh di JNM sambil nonton gigs
hardcore. Kami duduk di karpet XXI yang tebal, menunggu pertunjukan film
dimulai sambil ngemil popcorn dan nyacati dandanan orang-orang di bioskop. Kami
beli Doc Mart dan hand-made accessories di garage sale, yang dipadukan dengan
baju-baju lucu yang nemu di awul-awul. Kami berdesakan di Sports Station setiap
tanggal 17 Agustus untuk beli Converse setengah harga. Kami bisa membedakan
Vans yang asli dengan yang palsu karena kami susah payah menabung untuk
membelinya.
Kami mengakali uang yang kami pegang (menabung uang saku,
bekerja keras, mengkorupsi uang komunitas, menggelapkan uang SPP kuliah) untuk
beli kamera, gadget, alat musik dan efek-efek gitar. Kami bolos kuliah untuk
backpacking ke gunung atau laut, ke Jakarta untuk nonton festival musik, atau
ke Bromo untuk nonton jazz. Kami merekam semua prestasi kami untuk dapat
beasiswa exchange ke Australia atau Jepang. Kami membeli tiket murah dari
AirAsia setahun sebelum keberangkatan untuk menjelajah Asia Tenggara. Kami
membeli anakan Pitbull atau Rottweiler, lalu dengan sedih menjualnya lagi karena
makannya lebih mahal daripada sepiring nasi telor di burjo langganan kami.
Kami naik motor ke mana-mana, bolak balik Seturan, Gejayan,
Jakal, dan Jalan Damai dan/atau Tamsis, Minggiran, dan Sewon. Kami selalu punya
teman dari FISIPOL UGM dan DKV ISI, yang anak band atau seniman muda, sehingga
di lemari kami selalu ada kaos dan totebag merchandise yang kami beli untuk
mendukung proyek kreatif mereka.
Kami bukan mereka yang mengalami perang. Bukan mereka yang
melawan rezim politik tertentu. Kami apatis, lebih memilih nyekrol timeline
daripada beranjak ke bilik suara untuk pemilu. Kami bukan mereka yang
terheran-heran menghadapi perkembangan awal komputer. Kami bukan mereka yang
terheran-heran menghadapi penemuan farmasi terbaru. We are the sober generation, yang sudah hampir selesai
mengeksplor diri sendiri dengan minuman, rokok, dan seks. Krisis yang kami
alami mungkin adalah perubahan pola komunikasi antar sesama manusia.
Kami adalah mereka yang pandai membuat pencitraan lewat
sosial media yang diatur di ujung jari, sehingga diri sendiri dan kota ini ikut
bergulir di lini masa seluruh dunia. Kami adalah mereka yang tidak malu-malu
curhat ke timeline kalau sedang sedih. Perbendaharaan kosa kata “galau”,
“nggerus”, “piyambakan”, dan “rapopo” buat kami sudah mengalami pergeseran
makna sejak Pamityangyangan mengudara. Kami adalah mereka yang mengalami gegar
komunikasi karena kemudahan dan komplikasi sosial media. Kami menabung untuk
beli iPhone, atau berpuas diri dengan Lenovo atau Smartfren. Kami adalah mereka
yang lebih mudah ngomong pakai jempol daripada pakai mulut.
Tapi ruang bertemu kami sangat cair. Kami adalah voluntir
Biennale, Artjog, Ubud Writer, JAFF, FFD. Kami menggodok acara-acara seru
sambil ketemuan dan minum cokelat di Semesta atau Cuppajo (atau di grup chat
sebelum dan sebangun tidur). Kami hapal semua singkatan venue dan space di Jogja: JNM, TBY, IFI/LIP, KKF, KPY, IAM,
IVAA, JEC, GOR. Ketika acara berlangsung, kami minum Pondoh atau Makoli yang
dibeli secara patungan di belakang panggung. Sebagai penonton, kami selalu
menantikan acara-acaranya Kongsi Jahat, baik yang diorganisir Mas Gufi atau Mas
Menus (kami adalah mereka yang memanggil kedua orang itu “Mas”). Kami
menantikan The Parade dan Soundrenaline. Kami menantikan Ngayogjazz dan
pentas-pentas Papermoon Puppet. Kami menantikan Yesnoklub. Kami menantikan
album-album terbaru untuk download gratis di Yesnowave. Namun juga menabung
untuk beli vynil yang tidak pernah kami putar tapi bisa mengukuhkan kami
sebagai hipster yang mampu beli vynil dan suka musik non-mainstream yang
dirilis dengan format vynil.
Tapi kami juga adalah mereka yang susah payah lulus kuliah,
lalu harus memutuskan untuk menambang emas di kota lain, mengalami “The Jakarta
Phase”, atau tetap hidup santai di
Jogja. Kami adalah mereka yang sudah hampir sampai di gerbang masa depan. Kami
adalah mereka yang masih bingung memantaskan diri untuk menaklukan pujaan hati
beserta orang tuanya, sambil terus menghadiri undangan kawinan teman seangkatan
dari waktu ke waktu. Sementara kami haus kasih sayang, tapi takut berkomitmen
karena mungkin akan bertemu orang yang lebih baik di komunitas berikutnya atau
di akun sosmed sebelah. Kami adalah mereka yang diberi terlalu banyak jalan,
kemungkinan, dan pilihan sehingga akhirnya bingung sendiri dan tidak memilih
apa pun.
Berumur 20 sekian tahun di Yogyakarta, alokasi dana di
kantong kami sungguh dinamis seperti hidup kami. Seringkali kami menemukan
jumlah struk indomaret dan receipt ATM lebih banyak daripada jumlah lembaran
hijau dan ungu di dalam dompet. Kami adalah yang masih membayar untuk
menghidupi karya kami, sambil terus percaya bahwa di masa depan karya kami akan
bisa menghidupi kami, atau paling tidak bisa menjadi penanda yang berharga
untuk dikenang.
Kami adalah mereka yang sedang sangat kreatif, sudah
melampaui masa penyerapan ide dan influens. Sudah kenyang memandang ke atas, ke
generasi sebelum kami yang sudah melakukan tugasnya untuk bersenang-senang
membuat hal-hal kreatif. Kami adalah mereka yang kini membuat kota ini bising
dengan musik kami, ramai dengan acara-acara kami, berwarna dengan art dan craft
kami, sambil menanggung cacatan dari para veteran scene yang selalu merasa apa
yang dibuat di masa kini tidak sebaik apa yang dibuat di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar