Rabu, 23 April 2014

Berumur 20 Sekian Tahun di Jogja

Narasi di bawah ini saya tulis sebagai refleksi generasi untuk proyek Jalan Emas yang saya lakukan bersama Yennu Ariendra, Asa Rahmana, Erson Padapiran, Diwa Hutomo, Jay Afrisando, dan Rendra Pamungkas. Refleksi saya ini tidak mewakili diri saya sendiri, tidak mewakili semua anak muda seangkatan saya di Jogja. Ada banyak hal di bawah ini yang tidak saya lakukan, tapi saya tulis berdasarkan apa yang saya lihat menarik dari teman-teman di sekitar saya. Misalnya, begitu saya baca dan baca lagi, saya sadar saya tidak menulis apapun tentang televisi, olah raga, dan games, padahal jelas-jelas banyak anak seangkatan saya yang suka nonton TV, berolahraga, dan main games, hanya saja saya tidak berbagi kesukaan yang sama. Mungkin lingkungan saya memang sangat "scene". 
Refleksi ini saya bagi di sini karena mungkin saya berbagi pemandangan yang sama dengan orang-orang lain. Ini adalah apa yang saya alami di Yogyakarta sebagai perempuan berumur 20an tahun.


Berumur 20 sekian tahun di Jogja
Saya lahir tahun 1990, yang artinya sedang dalam masa early-20s crisis. Di kota ini angkatan saya bisa dibilang angkatan penggerak, karena kebanyakan penduduk kota ini adalah mahasiswa seumuran saya. Kami semua, tidak peduli dari kota mana dan apa latar belakang orang tua kami, adalah kelas menengah. Kami hidup dengan uang saku yang masih rutin dipasok keluarga dan penghasilan yang sewaktu-waktu datang dari freelance serabutan, yang bisa jadi pekerjaan apa saja.

Gerakan konsumsi kami sangat dinamis. Kami berdandan keren dan minum secangkir latte di kafe-kafe cantik di Jogja utara. Kami memakai flannel, jeans belel dan sneakers kumal, minum pondoh di JNM sambil nonton gigs hardcore. Kami duduk di karpet XXI yang tebal, menunggu pertunjukan film dimulai sambil ngemil popcorn dan nyacati dandanan orang-orang di bioskop. Kami beli Doc Mart dan hand-made accessories di garage sale, yang dipadukan dengan baju-baju lucu yang nemu di awul-awul. Kami berdesakan di Sports Station setiap tanggal 17 Agustus untuk beli Converse setengah harga. Kami bisa membedakan Vans yang asli dengan yang palsu karena kami susah payah menabung untuk membelinya.

Kami mengakali uang yang kami pegang (menabung uang saku, bekerja keras, mengkorupsi uang komunitas, menggelapkan uang SPP kuliah) untuk beli kamera, gadget, alat musik dan efek-efek gitar. Kami bolos kuliah untuk backpacking ke gunung atau laut, ke Jakarta untuk nonton festival musik, atau ke Bromo untuk nonton jazz. Kami merekam semua prestasi kami untuk dapat beasiswa exchange ke Australia atau Jepang. Kami membeli tiket murah dari AirAsia setahun sebelum keberangkatan untuk menjelajah Asia Tenggara. Kami membeli anakan Pitbull atau Rottweiler, lalu dengan sedih menjualnya lagi karena makannya lebih mahal daripada sepiring nasi telor di burjo langganan kami.

Kami naik motor ke mana-mana, bolak balik Seturan, Gejayan, Jakal, dan Jalan Damai dan/atau Tamsis, Minggiran, dan Sewon. Kami selalu punya teman dari FISIPOL UGM dan DKV ISI, yang anak band atau seniman muda, sehingga di lemari kami selalu ada kaos dan totebag merchandise yang kami beli untuk mendukung proyek kreatif mereka.

Kami bukan mereka yang mengalami perang. Bukan mereka yang melawan rezim politik tertentu. Kami apatis, lebih memilih nyekrol timeline daripada beranjak ke bilik suara untuk pemilu. Kami bukan mereka yang terheran-heran menghadapi perkembangan awal komputer. Kami bukan mereka yang terheran-heran menghadapi penemuan farmasi terbaru. We are the sober generation, yang sudah hampir selesai mengeksplor diri sendiri dengan minuman, rokok, dan seks. Krisis yang kami alami mungkin adalah perubahan pola komunikasi antar sesama manusia.

Kami adalah mereka yang pandai membuat pencitraan lewat sosial media yang diatur di ujung jari, sehingga diri sendiri dan kota ini ikut bergulir di lini masa seluruh dunia. Kami adalah mereka yang tidak malu-malu curhat ke timeline kalau sedang sedih. Perbendaharaan kosa kata “galau”, “nggerus”, “piyambakan”, dan “rapopo” buat kami sudah mengalami pergeseran makna sejak Pamityangyangan mengudara. Kami adalah mereka yang mengalami gegar komunikasi karena kemudahan dan komplikasi sosial media. Kami menabung untuk beli iPhone, atau berpuas diri dengan Lenovo atau Smartfren. Kami adalah mereka yang lebih mudah ngomong pakai jempol daripada pakai mulut.

Tapi ruang bertemu kami sangat cair. Kami adalah voluntir Biennale, Artjog, Ubud Writer, JAFF, FFD. Kami menggodok acara-acara seru sambil ketemuan dan minum cokelat di Semesta atau Cuppajo (atau di grup chat sebelum dan sebangun tidur). Kami hapal semua singkatan venue dan space  di Jogja: JNM, TBY, IFI/LIP, KKF, KPY, IAM, IVAA, JEC, GOR. Ketika acara berlangsung, kami minum Pondoh atau Makoli yang dibeli secara patungan di belakang panggung. Sebagai penonton, kami selalu menantikan acara-acaranya Kongsi Jahat, baik yang diorganisir Mas Gufi atau Mas Menus (kami adalah mereka yang memanggil kedua orang itu “Mas”). Kami menantikan The Parade dan Soundrenaline. Kami menantikan Ngayogjazz dan pentas-pentas Papermoon Puppet. Kami menantikan Yesnoklub. Kami menantikan album-album terbaru untuk download gratis di Yesnowave. Namun juga menabung untuk beli vynil yang tidak pernah kami putar tapi bisa mengukuhkan kami sebagai hipster yang mampu beli vynil dan suka musik non-mainstream yang dirilis dengan format vynil.

Tapi kami juga adalah mereka yang susah payah lulus kuliah, lalu harus memutuskan untuk menambang emas di kota lain, mengalami “The Jakarta Phase”,  atau tetap hidup santai di Jogja. Kami adalah mereka yang sudah hampir sampai di gerbang masa depan. Kami adalah mereka yang masih bingung memantaskan diri untuk menaklukan pujaan hati beserta orang tuanya, sambil terus menghadiri undangan kawinan teman seangkatan dari waktu ke waktu. Sementara kami haus kasih sayang, tapi takut berkomitmen karena mungkin akan bertemu orang yang lebih baik di komunitas berikutnya atau di akun sosmed sebelah. Kami adalah mereka yang diberi terlalu banyak jalan, kemungkinan, dan pilihan sehingga akhirnya bingung sendiri dan tidak memilih apa pun.

Berumur 20 sekian tahun di Yogyakarta, alokasi dana di kantong kami sungguh dinamis seperti hidup kami. Seringkali kami menemukan jumlah struk indomaret dan receipt ATM lebih banyak daripada jumlah lembaran hijau dan ungu di dalam dompet. Kami adalah yang masih membayar untuk menghidupi karya kami, sambil terus percaya bahwa di masa depan karya kami akan bisa menghidupi kami, atau paling tidak bisa menjadi penanda yang berharga untuk dikenang.


Kami adalah mereka yang sedang sangat kreatif, sudah melampaui masa penyerapan ide dan influens. Sudah kenyang memandang ke atas, ke generasi sebelum kami yang sudah melakukan tugasnya untuk bersenang-senang membuat hal-hal kreatif. Kami adalah mereka yang kini membuat kota ini bising dengan musik kami, ramai dengan acara-acara kami, berwarna dengan art dan craft kami, sambil menanggung cacatan dari para veteran scene yang selalu merasa apa yang dibuat di masa kini tidak sebaik apa yang dibuat di masa lalu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar