Rabu, 12 Maret 2014

Six Albums on Heavy Rotation in My Player

Beberapa waktu lalu di Facebook saya mengikuti ajakan untuk membuat daftar 10 album terbaik yang pernah saya dengar. Waktu itu saya menuliskan 10 album yang langsung terbersit di benak saya secara spontan, karena keinstanan ingatan itu menurut saya adalah indikasi bahwa album-album tersebut memang telah mengendap di diri saya selama bertahun-tahun.

Nah, tapi sejak itu saya jadi gatal ingin membuat daftar lagi karena kebetulan saya sedang sering mendengarkan musik-musik yang, mungkin tidak baru buat teman-teman, tapi masih baru buat saya. Karenanya, di bawah ini saya menuliskan daftar beberapa album yang sedang sangat saya sukai. Latar belakang "penemuan" saya akan musik-musik ini adalah saya harus menghabiskan waktu sendirian yang lama untuk belajar dan bikin PR, sementara saya ini orangnya gampang kesepian. Nah, supaya tidak kesepian saya sering memutar musik untuk menemani saya menulis atau belajar. Masalahnya, kadang-kadang kalau lagunya terlalu asik atau sudah saya hapal di luar kepala, bukannya nulis saya malah terhanyut dan ikutan nyanyi. Maka saya sering sekali minta referensi musik yang belum saya kenal dari teman-teman. Mungkin kamu salah satu yang pernah saya kemisi lagu dan saya bikinkan folder istimewa dengan namamu sendiri di laptop saya. Benar, saya punya satu folder berisi folder-folder nama teman-teman dan musik-musik aneh yang mereka berikan ke saya. Sayangnya karena terlalu suka, sekarang saya sudah hapal beberapa lagunya dan sepertinya tidak bisa saya gunakan untuk menemani belajar lagi. Nanti saya malah nyanyi-nyanyi di perpustakaan.

Post ini saya tulis di waktu yang seharusnya saya gunakan untuk bikin PR.

1. Beach Fossils - What a Pleasure (2011)






Beach Fossils kira-kira mewakili apa yang saya suka sekarang: yang urban dan yang bosan, yang tumbuh di antara tembok-tembok tinggi kota.
Tights and sneakers, denim jackets and striped T-shirts, being clean and sober and dreamy at the same time.
Being 20s and alive!
Menemukan Beach Fossils sama senangnya dengan waktu menemukan Black Lips dan The Muffs. Band ini cukup lucu, terdiri dari empat orang yang dipimpin oleh Dustin Payseur. Tidak seperti Black Lips dan The Muffs, Beach Fossils bisa jadi keren tanpa harus kotor dan nakal. Payseur adalah vegetarian yang cuma suka minum air putih dan tidur setelah konser. Dia jenis anak cowok yang pikirannya cuma bikin musik, bercita-cita jadi musisi dari kecil, pindah ke metropolitan dengan scene indie yang jauh lebih besar dari kampung halaman untuk mengejar peruntungannya, dan merasa cukup beruntung akhirnya bisa benar-benar jadi anak band profesional (bisa makan dari band-band-an, dapet penghasilan dari karya idealisnya sendiri).

Ciri khas Beach Fossils yang menohok buat saya adalah lead gitarnya yang cempreng dan line bassnya yang dinamis. Vokal Payseur yang mengawang menyanyikan lirik-lirik yang anti-poetik sangat lain dengan musik-musik favorit saya yang lain, yang biasanya berlirik quotable. Twitter Beach Fossils di-follow 11,9K akun, tapi mereka hanya follow 1 akun: Dalai Lama. Perfect bukan; musik pantai dari cowok kurus kulit putih Brooklyn pemalu yang hanya makan sayur rebus sebelum konser. Saya suka sekali sama Beach Fossils.

What a Pleasure adalah E.P. kedua Beach Fossils yang dirilis tahun 2011. Terdiri dari 8 lagu, track favorit saya adalah "Face It". Di halaman last.fm saya (yang segera mandek karena scrobblernya rusak), ini menjadi top track karena sudah diputar lebih dari 200 kali di Media Player.
Dustin Payseur berumur 24 tahun saat What a Pleasure dirilis. Bukan tipikal guitar hero atau vokalis kawakan.

)


"Us head first into the depths unseen, let's me know that it's alright. Face it, I turn to you and I can face it. Us as one headed to the darkness now. Let's me know that I am fine.I'd give up the country life. I'd give up the city life. I'd fall for you anytime, anytime."

Selain "Face It", "Fall Right In" adalah salah satu lagu cinta-cintaan yang juga saya suka di sini. Ceritanya tentang cowok yang kegirangan setelah kencan pertama yang sukses. Tapi musical tone-nya menyiratkan kegelisahan, kepasrahan dan ketidakpercayaan diri, bikin lagu ini jadi aneh tapi lucu. Selain itu "Calyer" dan "Adversity" juga jadi track favorit saya.

2. Cults - Cults (2011)

Satu lagi couple's company yang cakep. Cults dibentuk di New York tahun 2010 oleh Madeline Folline dan Brian Oblivion. Pasangan gondrong ini bikin foto untuk kover album mereka jadi keren (biasanya band indie kover albumnya bukan foto selfie, yekan).


Setahun setelah terbentuk, E.P. Cults 7" dirilis dan dapat review yang bagus di mana-mana. E.P. ini memang keren, terdiri dari 11 track yang enak didengerin waktu bangun pagi dan menjelang tidur siang. Saya yakin waktu sedang menggarap E.P. ini mereka berdua lagi cinta-cintanya deh, dan mungkin ini proyek iseng yang mereka lakukan supaya punya alasan untuk terus-menerus bersama.

Lagu-lagu di E.P. ini menghadirkan keajaiban glockenspiel dan teknologi sampling. Favoritku ada beberapa, misalnya "Bumper", mood booster instan dari sejak ketukan pertama. Rythm section-nya sangat catchy, dari ketukan drum yang ceria dan line bass yang asik, ditimpali duet I'm in love with him / I'm in love with her yang santai tapi oke. Ketika lagu ini jadi lagu pertama yang saya dengarkan di pagi hari, biasanya hari saya jadi cerah seharian.

Lalu ada juga "Abducted", lagu yang pertama kali bikin saya attached sama mereka. Terutama mungkin karena ada lirik "Broke my heart coz I really loved him/ he took my heart away and left me to bleeeeeeeeeeed...." yang bisa saya nyanyikan keras-keras.

Selain itu ada "Go Outside", mungkin lagu mereka yang paling terkenal


Cults manggung di rooftop SPIN tahun 2011. Dengan venue yang sangat keren, Cults tampil agak mengecewakan sih. Roknya Madeline terlalu pendek, mereka tampil clumsy, bergoyang-goyang aneh, bahkan vokalnya harus dibantu sampling.


Saya juga suka "Never Heal Myself", "Oh My God", "You Know What I Mean" dan "Rave On".

Kabarnya sekarang Madeline dan Brian sudah putus tapi mereka tetap ngeband bersama.



3. The Bird and The Bee - The Bird and The Bee (2006)

Di waktu yang kira-kira bersamaan dengan saat saya menemukan Cults, saya menemukan The Bird and The Bee. Mereka male-female duo juga, tapi dengan versi lebih skillful dan lebih mature. Inara George adalah pemain bass perempuan dengan style yang sangat oke dan vokal mumpuni, sedangkan Greg Kurstin adalah produser peraih nominasi Grammy. The Bird and The Bee mungkin adalah proyek sampingan mereka untuk menuntaskan apa yang tidak bisa mereka salurkan saat bekerja sama dengan infotainment eye-candies.

Untuk ukuran "cah tuwo", mereka sangat playful! Inara dan Greg sepertinya sudah sangat paham bagaimana caranya bersenang-senang dengan menciptakan musik yang ingin mereka dengarkan. Pasangan ini keren saat live, menyenangkan dilihat dalam interview, dan punya chemistry yang cocok untuk foto-foto band yang cakep! Inara George juga salah satu pemain bass perempuan yang tidak perlu tomboy untuk tampil oke, sehingga di usia 39 tahun dia tetap kece.

PERFECT PARTNER FOR MUSIC AND PHOTO SESSIONS!
Saya sangat suka self-titled album mereka yang dirilis tahun 2006. "Again and Again", "Birds and Bees", "Fucking Boyfriend", "I'm a Broken Heart", "La la la", dan "My Fair Lady" adalah lagu-lagu sing-a-long dan dance-a-long yang harus didengarkan tiap hari.






Tapi sebenarnya lagu mereka yang menjadi favorit saya malah lagu patah hati ceria dari album yang tidak terlalu saya suka: "Heard It on the Radio" dari Interpreting The Masters, Volume 1: A Tribute To Daryl Hall and John Oates.


4. Vampire Weekend - Vampire Weekend (2008)



Semua orang pasti pernah mendengarkan "A Punk" dan "Oxford Comma". Waktu mendengarkan dua track ini untuk pertama kalinya bertahun-tahun lalu saya sudah suka sekali, tapi belum bisa melihat benang merah di antara keduanya. Seakan-akan dinyanyikan oleh dua band yang berbeda.






Tapi saat akhirnya saya mendengarkan album Vampire Weekend secara keseluruhan, saya bisa melihat bahwa ke-random-an itu lah yang menjadi ciri khas Vampire Weekend. Mereka bisa membuat lagu tanpa pola dengan part-part yang bermunculan secara tidak terduga.

Vampire Weekend adalah salah satu band indie yang sold out dan mendapatkan penghargaan bergengsi di mana-mana. Bahkan album terbaru mereka, Modern Vampires of the City meraih Grammy. Bayangkan.

Band ini dikomandoi oleh Ezra Koenig yang membentuk Vampire Weekend dengan teman-teman kuliahnya di Columbia University. Karena latar belakang sosialnya (kulit putih, mahasiswa kampus Ivy League, begitulah) mereka pernah dicap sebagai "the whitest band on earth". Hal ini segera dibantah. "Tidak ada anggota band kami yang WASP."ujar Koenig, yang sama sekali tidak Protestan dan Anglo Saxon.

Leluhurnya termasuk gelombang Yahudi Hungaria / Romania yang bermigrasi ke Amerika waktu zaman Nazi dulu. "Dan kami masuk Columbia University dengan beasiswa."tambahnya. Koenig mempelajari Bahasa dan Sastra Inggris di kampus, dan setelah lulus bekerja sebagai guru bahasa di SMP sambil terus ngeband.

Band ini memang terkesan agak "putih" karena mereka menyelamurkan unsur-unsur musik Afrika dengan alat-alat musik modern. Hal ini baru saya sadari saat mendengarkan "Cape Cod Kwassa Kwassa", track keempat dari album ini. Lagu ini memang jenius, terbukti lagu ini masuk daftar 100 lagu terbaik versi Rolling Stones.



Omong-omong, Koenig menamai bandnya Vampire Weekend dari proyek filmnya yang gagal selesai. Film itu sedianya bercerita tentang seseorang bernama Walcott yang berlayar ke Cape Cod, Massachusettes untuk memperingatkan sang walikota bahwa para vampir sedang menyerang Amerika. Sungguh konyol. Tapi ide tersebut tertuang betul dalam album jenius ini. Selain nama band dan "Cape Cod Kwassa Kwassa", track ke sepuluh berjudul "Walcott" dan jelas berintertekstual dengan ide awal film tersebut.

Selain "A Punk", "Oxford Comma", "Cape Cod Kwassa Kwassa", dan "Walcott", saya suka "Campus" dan "The Kids Don't Stand A Chance". Tapi sebenarnya saya suka sekali semua lagu dalam album ini. Ini adalah salah satu album yang bisa saya nikmati terus-terusan tanpa perlu tahu judul-judul tracknya.





Moral: Wajah Koenig dilukis oleh Joe Simpson dan dipamerkan di Inggris. Dia juga memainkan gitar untuk Karen O dalam lagu "The Moon Song" dari film Her. Bandnya dapat banyak penghargaan bergengsi, dibuatkan video klip lucu-lucu, manggung di depan ribuan fans. Dia dulu mahasiswa sastra dari program beasiswa dan setelah lulus nyambi jadi guru bahasa Inggris. Kalau dia bisa jadi rockstar, semua mahasiswa Sastra Inggris juga pasti bisa. Semangat! :v

Btw, saya baru dapet satu albumnya Vampire Weekend. Saya mau banget kalo ada yang punya "Contra" dan "Modern Vampires of the City" :3 :3 :3


5. Shrag - Life! Death! Prizes! (2010)





Among many female fronted bands, Shrag's angry female vocals is my favorite! Kalau saya bangun tidur dan merasa, "I'm not pretty and I don't care. Bleeuuaaaarrrghh!!!!" saya memutar "Life! Death! Prizes!" selama boker, mandi, nge-dress to kill yang sekiranya paling selaras dengan cuaca hari itu.

Shrag terdiri dari tiga cowok dan dua cewek, komposisi yang oke untuk sebuah band (soalnya Summer juga). Kalau dipikir-pikir, formasi Shrag dan Summer mirip banget. Vokalis cewek si Helen cuma pegang mikrofon, bersahut-sahutan dengan Bob Brown yang juga pegang gitar. Sayangnya mereka bubar awal 2013, memainkan gig perpisahannya bulan Maret.

E.P. ini sudah jadi mood booster instan sejak solo bass yang mengancam di track pertama "A Certain Violence". Ketukan drum dengan crash yang rapat juga petikan gitar yang cepat mengiringi Helen dan Bob saling berteriak satu sama lain. Pola yang sama masih ada di lagu selanjutnya, "Stubborn or Bust". Baru mereka menjadi sedikit melodius di "Their Stats" dan "Tights in August".

"Thights in August" ini lagu yang lumayan lucu, Helen dan Bob mengambil peran jadi cewek yang terlanjur jatuh cinta dan cowok yang menyesal udah PDKT. Liriknya, "Your love's like your August tights / It looks alright but it's impractical tonight." sangat cocok untuk para korban PHP.

Lagu mereka yang plaing catchy mungkin "Rabbit Kids". Dengan teriakan "One! Two! Three! Four!" ala Ramones tapi imut, kita digiring ke sebuah lagu bikin kita pengen loncat-loncat liar di atas spring bed dengan bed cover pink yang penuh teddy bear gendut.

Mereka punya judul-judul lucu untuk lagu-lagu yang juga lucu. Favorit saya yang lain adalah "Ghost before Breakfast", "The Habit Creep", dan "Coda". Tapi seperti Vampire Weekend, album ini juga adalah album yang bisa saya dengarkan terus-terusan tanpa tahu judul lagunya.



Informasi tentang Shrag dan akses ke album-albumnya agak susah. Saya juga cuma punya Life! Death! Prizes! (2010) saja. Kalau ada yang punya Shrag (2009) dan Canines (2012) saya mau banget :3

6. Tame Impala - Innerspeaker (2010)







Satu lagi album dengan lirik anti-poetik yang sangat, sangat keren! Dengan sound gitar yang mentah dan lengket seperti getah, lirik-liriknya yang terlalu jelas dan sangat tidak quotable itu jadi sangat asik. Seakan-akan Kevin Parker hanya butuh kata-kata untuk diambil bunyinya saja. Tiap lagunya punya intro-intro panjang atau part-part musik yang seakan tidak ada habisnya, mencekoki kuping dengan oplosan fuzz, delay, phasing, reverb, whatsoever guitar efects, sampai tiba-tiba vokalnya muncul dan menyanyi, seperti hantu John Lennon yang masih mengantuk setelah bangun dari tidur panjang, tapi sudah penuh libido.Walau demikian, album ini tetap sing-along-able, dance-along-able, plus fuck-along-able di waktu yang sama. Dengan riff dan hook yang sangat dinamis, musik ini menghadirkan energi pecicilan tidak sehat yang kamu dapatkan saat kamu mabuk segala macam yang diminum, dihisap, dan disuntik.



Innerspeaker ditulis oleh Kevin Parker di sebuah rumah kayu sederhana dengan pemandangan luar biasa indah. Ia bisa merekam part-part lagu yang berbeda di sudut-sudut rumah yang berbeda (rekaman bass di dapur, rekaman drum di loteng, yang seperti itu lah, di mana pun yang bisa melihat keluar jendela ke arah Samudera Hindia). Parker mengaku dia sering punya masalah dengan kelistrikan sehingga dia sering kehilangan materi rekaman seharian, tapi dia mengaku pemandangan yang dia lihat dari jendela saat bangun tidur di pondok itu adalah pemandangan paling indah sedunia.

Innerspeaker dilabeli sebagai "The Best New Music" oleh Pitchfork begitu album ini keluar. Kevin Parker pun didaku sebagai "Bapak (mas?) Psychadelic Modern", Tame Impala menjadi terkenal dan sibuk tur dunia untuk promo album ini.


Kevin Parker adalah frontman, everything man, "cah kabeh", "cah meliputi" dalam Tame Impala. Dia menulis, mengkomposisi, merekam hampir semua part dari lagu-lagu band ini. Sebelum terkenal dulu dia seperti kebanyakan kita, merekam musik dari tempat tidur lalu diunggah ke internet. Kevin Parker lahir tahun 1986, orang tuanya bercerai saat dia masih kecil. Ia lalu tinggal dengan ibunya yang hippy dan suka berganti-ganti pacar, sampai akhirnya dia ketakutan sendiri dan memilih tinggal dengan ayahnya, seorang akuntan yang kehidupannya lebih stabil.

Namun demikian, masa kecil dan masa remaja Kevin Parker jauh dari kestabilan. Di umur 13 tahun dia mencuri dan mabuk-mabukan sampai beberapa kali harus diantar pulang naik mobil polisi. Dia dimasukkan ke sekolah Katolik yang ketat dengan harapan dia bisa jadi lebih baik. Di sana dia malah bertemu dengan Dom, teman baiknya dan partnernya di Tame Impala. Selepas sekolah, Kevin Parker masuk jurusan Astronomi, tapi segera dia drop. Dia malah memilih bekerja menjadi kurir di sebuah firma hukum. "Pekerjaanku gampang, hanya berjalan keliling kota mengantarkan dokumen-dokumen. Aku punya banyak waktu sendirian." Di waktu-waktu itulah ia punya banyak waktu untuk menulis musik. Kehidupannya mungkin sedikit banyak bisa dilihat dari lirik "It is Not Meant to Be": "She doesn't like the life that I lead / Doesn't like sand stuck on her feet / Or sitting aroung smoking weed"

Sudah mapan dan jadi rockstar, Kevin Parker tetap senang sendirian ("Solitdue is Bliss" adalah salah satu judul lagu bernada ceria di album ini) Ketika sedang tidak bermusik, Kevin Parker mengaku kesenangan utamanya adalah bersepeda keliling Paris atau duduk-duduk di bangku kota Perth, kota asalnya.

Innerspeaker digarap setelah kesuksesan E.P. self-titled pertama Tame Impala. Track-track favorit saya misalnya "Lucidity", "Alter Ego", "Desire Be, Desire Go", "It is Not Meant to Be", "I Don't Really Mind" dan track outro "Island Walking". Perlu waktu beberapa minggu dari sejak pertama kali mendengarkan Tame Impala sampai saya benar-benar suka. Ini bukan musik yang langsung bikin saya jatuh cinta (seperti Shrag atau Cults misalnya). Buat saya waktu itu, ini musik nggak jelas dengan mastering dan sound yang sangat kasar. Tapi setelah memutar Innerspeaker sebagai musik buat bunyi-buyi doang selama saya bikin salah satu bab proposal TA waktu itu, saya sadar, "Ini musik jenius, ini keren banget!" dan langsung jadi salah satu album favorit saya.




Parker performs "It Is Not Meant To Be" without a slightest glimpse of heartbroken. He is just into the music, that's it.



Nah, itu tadi adalah beberapa album yang sedang sangat saya suka sekarang. Saya akan senang sekali kalau teman-teman mau berbagi musik favorit kalian dengan saya :)







4 komentar:

  1. gis koe selo tenan.. aku isih nang kantor dan muk macak heem-heem tok moco iki :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe.. asik kan criiit... ayo kasih aku masukan referensi musik dong :D

      Hapus
  2. dari sekian banyak, aku sing kenal mung Tame Impala ro Vampire Weekend :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tame Impala sama Vampire Weekend emang keren mon. yang lain juga cakep banget buat disimak :D

      Hapus