Pada suatu rapat menjelang Lelagu#8 di bulan Maret, Mas Moki
mengatakan bahwa Papermoon Puppet Theater kedatangan tamu sekelompok teater wayang kertas dari luar negeri. Tim teater tersebut
adalah The Paper Cinema dari Inggris yang mendapat hibah dari British Council
untuk tour dunia mempertunjukkan karya mereka. Di Jogja mereka mempertunjukkan adaptasi mereka dari "Odyssey" karya Homer, dan memberikan workshop dengan judul besar "Lokakarya Kertas" untuk 30 seniman terpilih.
Lelagu ditawari untuk bekerja sama dalam workshop supaya
hasilnya dapat dipentaskan di Lelagu bulan Maret. Tim Lelagu dipersilakan mengirimkan
lima seniman untuk ikut workshop: tiga musisi dan dua perupa yang pernah tampil
di Lelagu. Karena berbagai pertimbangan, Moki, Erson, dan Gisa akhirnya berangkat
sebagai musisi sedangkan Acong dan Atjeh berangkat sebagai perupa.
Pada malam sebelumnya, 30 orang seniman peserta workshop diwajibkan
menonton pertunjukan The Paper Cinema di LIP, Sagan. Kata “diwajibkan” ini
sungguh lucu, karena banyak sekali anak muda di kota ini yang buru-buru ke LIP
mendaftarkan diri supaya dapat kursi! Saya sendiri akan ikutan rebutan kursi
supaya bisa menonton seandainya belum diberi tempat. Pertunjukan “Odyssey” yang mereka tampilkan selama 70 menit malam itu sungguh mindblowing. Dua puppeteers, Imogene dan Nick, memainkan banyak sekali wayang kertas
untuk tiga babak live animation yang
tidak terbayangkan rumitnya. Permainan itu bersintesis dengan permainan musik
Hazel, Chris, dan Quinta yang juga sangat, sangat luar biasa. Berbagai hal yang
bisa menghasilkan bunyi: dari gitar, piano, biola, sampai gergaji, bubble wrap, plat seng, dan macam-macam
lagi mereka gunakan untuk memanipulasi suara-suara peperangan, api unggun, dan
ombak lautan sambil terus menghadirkan melodi scoring yang pas.
Dalam wicara senimannya selepas pertunjukan, mereka
mengatakan bahwa output The Paper
Cinema adalah sebuah pertunjukan teater, bukan hanya film, sehingga penonton
bisa melihat bagaimana para pemain menggerakkan wayang kertas dan membuat
bunyi-bunyian untuk memproduksi berbagai adegan yang menuturkan cerita. Memang,
sebagai penonton, saya berkali-kali berpindah fokus dari layar ke sudut-sudut
pemain. Saya juga yakin kelima penampil sadar bahwa gerak-gerik mereka juga menjadi
tontonan karena sama menariknya dengan adegan-adegan yang dihasilkan di layar.
Berbekal kekaguman, saya bangun dengan bersemangat paginya,
menggotong bass saya yang merah itu ke LIP. Di sana kami dibagi menjadi lima
kelompok. Masing-masing harus: membuat cerita, membangun karakter, membuat
wayang kertas, mengarang scoring, dan
menyusun semuanya menjadi sebuah pertunjukan sederhana berdurasi 2-3 menit. Saya sekelompok dengan teman-teman
saya, Acong, Zul, dan Abud, juga berkenalan dengan tiga orang lainnya, Baba, Nanang,
dan Sue. Yang terakhir ini adalah seorang ibu-ibu setengah baya yang mewakili Polyglots, sebuah kelompok teater boneka dari Melbourne yang ke Jogja untuk
membuat workshop dengan warga Merapi.
Sue sangat ramah dan menyenangkan. Dia sudah mendongeng dengan boneka selama kira-kira 20 tahun. Dia memimpin kami menyusun cerita dan membuat karakter, seperti seorang guru TK yang sabar. Cerita kami tentang seorang pria tua perokok berat yang
tinggal dengan anjing kesayangannya. Ketika sedang merokok sambil melamun,
tidak sengaja rokoknya jatuh sehingga rumahnya terbakar. Rumahnya musnah, si
lelaki tua duduk bersama anjingnya di bawah pohon sambil merokok lagi. Moralnya
adalah, kata Mbak Ria, “People never
learn!”
Karena mereka basicnya
perupa, Acong dan Zul mengkomando kami dalam membuat wayang-wayang kertas. Saat
pertunjukan, Nanang dan Baba bertugas menjadi dalang, sementara yang lainnya
membuat bunyi-bunyian. Dengan ukulele, saya memainkan nada dasar untuk
direspons (ini pertama kalinya saya manggung pakai ukulele, pertama kalinya
manggung tanpa tahu kunci apa yang saya mainkan. Saya sebenarnya tidak bisa
main ukulele). Sue mengisi suara anjing, Abud memainkan suara burung dengan
alat aneh milik Chris, lalu Chris dan Hazel mengisi kekosongan dengan piano dan
gitar (Zul dan Acong entah ngapain, saya sudah nggak fokus saat itu). Menurut
saya pertunjukan kami lumayan berhasil dan saya cukup puas dengan hasilnya. Kami
turun panggung dengan lega dan bersiap menonton pertunjukan yang lain.
Pertunjukan teman-teman yang lain juga luar biasa bagus. Yang
paling saya suka adalah sebuah cerita legenda terjadinya Gunung Merapi dari
kelompok 5 dan cerita tentang ditilang polisi dari kelompok 4. Kebetulan, beberapa
kelompok yang sudah menampilkan karyanya di workshop juga akan tampil lagi di Lelagu#8:
Vakum Mestakum, Jumat 14 Maret 2014 di Kedai Kebun Forum. Jadi, teman-teman
yang tidak ikut workshop bisa datang dan menonton.
dapat sertifikat dan totebag dari British Council, plus dikasih katalog pameran sama Mas Yudha Sandy. Tapi pengalamannya yang paling berharga! :D |
Thanks The Paper Cinema for the incredible experience! Terimakasih
Papermoon Puppet Theater, kelompok luar biasa yang kegiatannya selalu menyenangkan,
sudah mengundang Lelagu! This day is enriching in its own way :D
· - Lelagu adalah acara musik akustik dan seni rupa
bulanan yang dilaksanakan di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Dikelola oleh Moki
dan teman-teman.
· - Papermoon Puppet Theater adalah kelompok teater
boneka kontemporer dari Yogyakarta. Pendirinya adalah Ria dan Iwan Effendi.
yo'i, mantep. Lelagu #8, lanjuuuutt.......
BalasHapus