Jika kita mengunjungi lantai atas Langgeng Art Foundation untuk
melihat-lihat karya seni Biennale Jogja XII, kita akan menjumpai delapan helai
kain biru yang digantung di sudut barat laut ruangan. Kain-kain tersebut adalah
karya Dina Danish, perupa asal Mesir yang menjalani program residensi selama 6
minggu di Yogyakarta untuk Biennale.
Kedelapan kain
tersebut dibuat dengan teknik batik di bengkel batik Luwes-Luwes, Jalan
Rotowijayan. Kain-kain itu dibagi menjadi tiga kelompok karya. Yang pertama
adalah tiga helai kain bercorak garis yang berjudul ”Lined Paper #1”, “Lined
Paper #2”, dan “Lined Paper #3”. Setelah itu ada empat kain rancangan cetak
biru dalam satu judul “Electronic Stylus”. Yang terakhir selembar kain berjudul
“Polytel Keyport” yang juga merupakan rancangan cetak biru.
Ketiga karya tersebut ada hubungannya dengan minat Dina
mengenai bahasa. Yang paling menonjol
mungkin adalah Lined Papers. Ketiga kain tersebut dibuat berdasarkan
tiga jenis kertas bergaris yang ia beli di Jogja. “Saya punya kebiasaan selalu
mengumpulkan kertas dari seluruh dunia,”ujarnya pada suatu hari. Pada hari-hari
pertama ia bekerja di Jogja, ia pergi ke toko alat tulis dan membeli beberapa
buku tulis yang berbeda. Yang akhirnya ia gunakan untuk karyanya adalah buku
tulis biasa, buku menulis halus, dan buku tabungan arisan ibu-ibu. Kertas-kertas
itu dipindai, lalu ditembakkan menggunakan proyektor ke kain putih dan dibuat
sketsa polanya dengan pensil. Baru setelah itu lilin malam dicantingkan
mengikuti pola. Setelahnya kain mengalami proses celup dan lorod seperti
kain batik yang lain. Hasilnya adalah kain biru bergaris putih, cetak negatif dari
kertas-kertas bergaris tersebut.
“Tadinya saya mau membuat kain ini persis dengan desain
kertas ini. Latarnya putih, garisnya biru, dengan aksen pink di tempat
tanggalan dan beberapa tempat lain. Tapi ternyata tidak bisa membuat seperti itu
dengan teknik batik. Kemudian saya memikirkan konsep cetak biru ini, seperti
cetak biru rancangan arsitektur, yang ternyata merupakan ide yang cukup bagus.”ujarnya.
“But nice is never enough to give you
permission to do something.”lanjutnya. Ternyata dalam membuat karya seni,
ada berlapis-lapis makna yang harus pikirkan supaya karya tersebut makin kaya.
Menurutnya, yang menarik dari kertas-kertas bergaris adalah
perannya sebagai wadah yang menunggu diisi dengan produk bahasa. Kertas-kertas
bergaris ini sedang menunggu untuk diubah menjadi sesuatu yang berarti, yaitu
dengan diisi tulisan. Selapis kertas baru memiliki arti jika ia diisi dengan
kata-kata yang bermakna dan memiliki efek-efek tertentu pada pembacanya.
reproduksi dari buku arisan |
reproduksi dari buku menulis halus |
Pola garis-garis dari kertas itu juga mengingatkan Dina pada
kelas-kelas awal kaligrafi. Bertahun-tahun yang lalu Dina Danish mengikuti
kelas kaligrafi dan yang pelajaran pertama di kelas tersebut adalah membuat
garis lurus dari kanan ke kiri. “Garis adalah bentuk paling awal dari huruf.
Kita tarik garis-garis ini menjadi berbagai bentuk, maka ia akan menjadi huruf
yang memiliki makna.”ujarnya. Ia tertarik pada bagaimana berbagai bentuk ini
disepakati masyarakat untuk mewakili suatu bunyi yang memiliki arti, yaitu
bahasa.
Maka garis, bagi Dina Danish, bisa berarti bentuk awal
huruf-huruf yang menunggu dirangkai menjadi makna, atau bisa juga berarti wadah
dari huruf-huruf itu sendiri. Dengan caranya sendiri, Dina mempertanyakan
keberadaan bahasa dengan cara mereproduksi wadah kosong yang menunggu diisi
dengan bahasa.
Selain itu dalam mengerjakan karya ini, Dina merasakan
proses menggunakan tangannya untuk mereproduksi sesuatu yang dibuat dengan
mesin. “Garis-garis dalam kertas ini dibuat dengan mesin. It’s perfect somehow. Yang menarik adalah bagaimana kita
menggunakan teknik manual untuk mereproduksi sesuatu yang dihasilkan secara
industri dengan mesin.”ujarnya. Memang dalam ketiga karya bergaris tersebut,
garis-garisnya kerap kali tidak lurus sempurna dan banyak bercak-bercak tetesan
lilin akibat penggunaan canting yang amatir. Namun ketidaksempurnaan itu adalah
bagian dari hal yang ia rencanakan.
salah satu hasil pindaian kertas bergaris yang dijadikan karya |
Bagan cetak biru terlihat lebih nyata pada “Electronic
Stylus” dan “Polytel Keyport”. Keduanya merupakan rancangan benda-benda canggih
sungguhan karya ayahnya yang adalah seorang penemu. Kebetulan saat Dina berada
di Jogja, ayahnya berulang tahun. “Jadi karyaku ini bisa jadi hadiah ulang
tahunnya. Nanti bisa ia pasang di ruang kerjanya.”katanya. Kedua rancangan ini
dibuat sekitar tahun 80-90an. “Ini adalah rancangan suatu alat yang berhubungan
dengan komputer jaman sekarang. Suatu teknologi yang sangat, sangat
awal.”jelasnya. Singkatnya, kedua alat ini berguna untuk menghantar perintah ke
peranti komputer yang belum menggunkan mouse. “Intinya ini adalah sistem yang
bekerja ketika kita memencet sebuah tombol untuk mengirim perintah ke
komputer.”kata Dina.
Electronic Stylus |
Yang menarik dari gambar teknis ini bagi Dina adalah bahwa
gambar-gambar ini merupakan bahasa bagi orang-orang yang memahami teknik
informatika, namun tidak berarti apa-apa baginya. “Jika saya membuat kesalahan
dalam menggambarnya, hanya orang-orang yang ahli informatika yang akan
menyadari kesalahannya. Kebanyakan dari kita hanya akan melihatnya sebagai
rancangan teknis yang tidak kita pahami.”katanya. Menekan satu tombol dengan
mudah untuk membuat suatu mesin bekerja, “Bagi saya yang bukan ilmuwan, hal seperti
keajaiban.”
Polytel Keyport |
Proses pembuatan batik sendiri menurut Dina juga seperti
keajaiban. “Just like magic!”serunya
(seru kami bertiga sebenarnya, Dina, saya, dan Jean-Baptiste), ketika Bapak
yang bertugas mewarna batik mengeluarkan kain-kain yang sudah berwarna biru
dari bak pencelupan penuh cairan berwarna kuning. “Proses pewarnaannya
melibatkan reaksi kimia dari cairan-cairan itu, sinar matahari, efek
lingkungan, segalanya bekerja. Tapi karena ketidakpahaman saya akan ilmu alam,
saya melihatnya seperti keajaiban.”katanya.
Menurut Dina, proses pembuatan batik sangat mengesankan,
bahkan sedikit poetik. “Saya melihatnya seperti teknik fotografi. Dalam
fotografi kita menutup beberapa bagian kertas dari cahaya. Sedangkan dalam
batik kita menutup bagian-bagian yang kita inginkan dari warna. Saya melihat
ada wacana pengaturan warna negatif dan positif di situ.”katanya.
“Saya sangat senang bisa belajar teknik-teknik membatik di
Jogja. Jika saya tidak ke sini, saya tidak akan dapat membuat karya-karya ini.”ujarnya.
Menurutnya bisa datang ke suatu bengkel batik, duduk mencanting di dekat kompor
minyak dengan sewajan lilin panas adalah pengalaman yang sangat berharga.
proses pembuatan pola di kain dengan pensil dan proyektor |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar