Kamis, 19 Desember 2013

Melihat Lebih Dekat Karya Batik Dina Danish



 

Jika kita mengunjungi lantai atas Langgeng Art Foundation untuk melihat-lihat karya seni Biennale Jogja XII, kita akan menjumpai delapan helai kain biru yang digantung di sudut barat laut ruangan. Kain-kain tersebut adalah karya Dina Danish, perupa asal Mesir yang menjalani program residensi selama 6 minggu di Yogyakarta untuk Biennale.

 Kedelapan kain tersebut dibuat dengan teknik batik di bengkel batik Luwes-Luwes, Jalan Rotowijayan. Kain-kain itu dibagi menjadi tiga kelompok karya. Yang pertama adalah tiga helai kain bercorak garis yang berjudul ”Lined Paper #1”, “Lined Paper #2”, dan “Lined Paper #3”. Setelah itu ada empat kain rancangan cetak biru dalam satu judul “Electronic Stylus”. Yang terakhir selembar kain berjudul “Polytel Keyport” yang juga merupakan rancangan cetak biru.

Ketiga karya tersebut ada hubungannya dengan minat Dina mengenai bahasa. Yang paling menonjol  mungkin adalah Lined Papers. Ketiga kain tersebut dibuat berdasarkan tiga jenis kertas bergaris yang ia beli di Jogja. “Saya punya kebiasaan selalu mengumpulkan kertas dari seluruh dunia,”ujarnya pada suatu hari. Pada hari-hari pertama ia bekerja di Jogja, ia pergi ke toko alat tulis dan membeli beberapa buku tulis yang berbeda. Yang akhirnya ia gunakan untuk karyanya adalah buku tulis biasa, buku menulis halus, dan buku tabungan arisan ibu-ibu. Kertas-kertas itu dipindai, lalu ditembakkan menggunakan proyektor ke kain putih dan dibuat sketsa polanya dengan pensil. Baru setelah itu lilin malam dicantingkan mengikuti pola. Setelahnya kain mengalami proses celup dan lorod seperti kain batik yang lain. Hasilnya adalah kain biru bergaris putih, cetak negatif dari kertas-kertas bergaris tersebut.

 

“Tadinya saya mau membuat kain ini persis dengan desain kertas ini. Latarnya putih, garisnya biru, dengan aksen pink di tempat tanggalan dan beberapa tempat lain. Tapi ternyata tidak bisa membuat seperti itu dengan teknik batik. Kemudian saya memikirkan konsep cetak biru ini, seperti cetak biru rancangan arsitektur, yang ternyata merupakan ide yang cukup bagus.”ujarnya. “But nice is never enough to give you permission to do something.”lanjutnya. Ternyata dalam membuat karya seni, ada berlapis-lapis makna yang harus pikirkan supaya karya tersebut makin kaya.

Menurutnya, yang menarik dari kertas-kertas bergaris adalah perannya sebagai wadah yang menunggu diisi dengan produk bahasa. Kertas-kertas bergaris ini sedang menunggu untuk diubah menjadi sesuatu yang berarti, yaitu dengan diisi tulisan. Selapis kertas baru memiliki arti jika ia diisi dengan kata-kata yang bermakna dan memiliki efek-efek tertentu pada pembacanya.
reproduksi dari buku arisan

reproduksi dari buku menulis halus


Pola garis-garis dari kertas itu juga mengingatkan Dina pada kelas-kelas awal kaligrafi. Bertahun-tahun yang lalu Dina Danish mengikuti kelas kaligrafi dan yang pelajaran pertama di kelas tersebut adalah membuat garis lurus dari kanan ke kiri. “Garis adalah bentuk paling awal dari huruf. Kita tarik garis-garis ini menjadi berbagai bentuk, maka ia akan menjadi huruf yang memiliki makna.”ujarnya. Ia tertarik pada bagaimana berbagai bentuk ini disepakati masyarakat untuk mewakili suatu bunyi yang memiliki arti, yaitu bahasa.

Maka garis, bagi Dina Danish, bisa berarti bentuk awal huruf-huruf yang menunggu dirangkai menjadi makna, atau bisa juga berarti wadah dari huruf-huruf itu sendiri. Dengan caranya sendiri, Dina mempertanyakan keberadaan bahasa dengan cara mereproduksi wadah kosong yang menunggu diisi dengan bahasa.

Selain itu dalam mengerjakan karya ini, Dina merasakan proses menggunakan tangannya untuk mereproduksi sesuatu yang dibuat dengan mesin. “Garis-garis dalam kertas ini dibuat dengan mesin. It’s perfect somehow. Yang menarik adalah bagaimana kita menggunakan teknik manual untuk mereproduksi sesuatu yang dihasilkan secara industri dengan mesin.”ujarnya. Memang dalam ketiga karya bergaris tersebut, garis-garisnya kerap kali tidak lurus sempurna dan banyak bercak-bercak tetesan lilin akibat penggunaan canting yang amatir. Namun ketidaksempurnaan itu adalah bagian dari hal yang ia rencanakan.

salah satu hasil pindaian kertas bergaris yang dijadikan karya


Bagan cetak biru terlihat lebih nyata pada “Electronic Stylus” dan “Polytel Keyport”. Keduanya merupakan rancangan benda-benda canggih sungguhan karya ayahnya yang adalah seorang penemu. Kebetulan saat Dina berada di Jogja, ayahnya berulang tahun. “Jadi karyaku ini bisa jadi hadiah ulang tahunnya. Nanti bisa ia pasang di ruang kerjanya.”katanya. Kedua rancangan ini dibuat sekitar tahun 80-90an. “Ini adalah rancangan suatu alat yang berhubungan dengan komputer jaman sekarang. Suatu teknologi yang sangat, sangat awal.”jelasnya. Singkatnya, kedua alat ini berguna untuk menghantar perintah ke peranti komputer yang belum menggunkan mouse. “Intinya ini adalah sistem yang bekerja ketika kita memencet sebuah tombol untuk mengirim perintah ke komputer.”kata Dina.

Electronic Stylus
Yang menarik dari gambar teknis ini bagi Dina adalah bahwa gambar-gambar ini merupakan bahasa bagi orang-orang yang memahami teknik informatika, namun tidak berarti apa-apa baginya. “Jika saya membuat kesalahan dalam menggambarnya, hanya orang-orang yang ahli informatika yang akan menyadari kesalahannya. Kebanyakan dari kita hanya akan melihatnya sebagai rancangan teknis yang tidak kita pahami.”katanya. Menekan satu tombol dengan mudah untuk membuat suatu mesin bekerja, “Bagi saya yang bukan ilmuwan, hal seperti keajaiban.”



Polytel Keyport


Proses pembuatan batik sendiri menurut Dina juga seperti keajaiban. “Just like magic!”serunya (seru kami bertiga sebenarnya, Dina, saya, dan Jean-Baptiste), ketika Bapak yang bertugas mewarna batik mengeluarkan kain-kain yang sudah berwarna biru dari bak pencelupan penuh cairan berwarna kuning. “Proses pewarnaannya melibatkan reaksi kimia dari cairan-cairan itu, sinar matahari, efek lingkungan, segalanya bekerja. Tapi karena ketidakpahaman saya akan ilmu alam, saya melihatnya seperti keajaiban.”katanya.

Menurut Dina, proses pembuatan batik sangat mengesankan, bahkan sedikit poetik. “Saya melihatnya seperti teknik fotografi. Dalam fotografi kita menutup beberapa bagian kertas dari cahaya. Sedangkan dalam batik kita menutup bagian-bagian yang kita inginkan dari warna. Saya melihat ada wacana pengaturan warna negatif dan positif di situ.”katanya.

“Saya sangat senang bisa belajar teknik-teknik membatik di Jogja. Jika saya tidak ke sini, saya tidak akan dapat membuat karya-karya ini.”ujarnya. Menurutnya bisa datang ke suatu bengkel batik, duduk mencanting di dekat kompor minyak dengan sewajan lilin panas adalah pengalaman yang sangat berharga.



proses pembuatan pola di kain dengan pensil dan proyektor





Tidak ada komentar:

Posting Komentar