Sabtu, 28 Desember 2013

Residensi Dina Danish: Perjumpaan yang Meninggalkan Jejak



Sepanjangtahun 2013 ada beberapa orang asing yang saya dampingi bekerja di Yogyakarta. Ada yang berasal dari Australia, Filipina, dan Mesir. Di antara mereka, Dina Danish dari Mesir adalah yang paling berkesan. Dina Danish adalah seniman konseptual dari Kairo yang telah tinggal selama 6 tahun di Amsterdam bersama tunangannya yang orang Perancis.Atas undangan Sarah Rifky, ko-kurator Biennale Jogja XII dari Kairo, Dina datang ke Jogja bersama Jean-Baptiste, tunangannya. Mereka tinggal di LAF selama 6 minggu. 

Keberadaan Dina dan JB (saya dan teman-teman lebih mudah memanggilnya JB daripada Jean-Baptiste) membuat saya menyadari betapa besar efek sebuah program residensi bagi seorang seniman dan orang-orang di sekitarnya.“Pada dasarnya saya membiarkan diri saya bereaksi terhadap lingkungan sekitar, dan membiarkan lingkungan sekitar bereaksi terhadap saya.”tutur Dina pada suatu sesi wawancara dengan Rony dari tim PMPSK. Dina sudah berkali-kali melakukan residensi di beberapa tempat di dunia, dan menurutnya yang paling baik adalah membiarkan segalanya spontan terjadi. “Sebelum berangkat saya tentu saja mencari informasi tentang vaksin dan imigrasi. Tapi saya tidak mencaritahu tentang hal-hal spesifik seperti sejarah politik dan keadaan budaya.Saya tidak ingin kesan saya terhadap kota ini terbentuk oleh apa yang saya baca. Saya lebih suka datang dan mengalaminya sendiri.”lanjutnya.

Setelah enam minggu berproses di sini, ia merasa Jogja seperti dunia pararel yang terpisah dari tempat asalnya. “Jogja adalah tempat yang sangat jauh.Saya tidak bisa menyamakannya dengan tempat lain di dunia.”katanya. Dina pernah tinggal di San Francisco untukbelajar, dan jarak kota itu ke Kairo sama jauhnya dengan jarak Kairo ke Jogja. “Tapi berada di Jogja sangat aneh. Berada di udara tropis, melihat orang-orang hidupdengan cara yang sangat berbeda dari cara kami, merasakan makanannya, segalanya… semuanya terlihat sangat normal bagi kalian, namun tidakbagi kami. Semuanya yang hanya kami lihat di film sedang kami alami sendiri.”katanya.

Satu hal yang menurutnya aneh sementara bagi kita normal adalah bahwa kita percaya pada pawang hujan. Kebetulan hari-hari pertama ia tiba di Jogja adalah ketika Keraton mengadakan upacara pernikahan agung putri Sultan. “Saya mengeluh tentang cuaca yang terlalu panas dan aneh. Kemudian Gisa mengatakan bahwa mungkin itu karena Sultan sedang mengadakan pesta pernikahan untuk putrinya. Menurutku itu sangat aneh karena hujan dan pesta pernikahan kan tidak ada hubungannya. Lalu Gisa mulai bercerita tentang pawang hujan.Semua orang di sini percaya bahwa pawang hujan dapat memindahkan hujan! BahkanAgung (Jennong, kurator Biennale), seorang yang sangat terpelajar dan memiliki akal sehat, percaya akan hal itu! Dan lebih anehnya lagi, it works! Hujan tidak turun selama pesta pernikahan agung dan setelahnya hujan turun lebat sekali.”

Dina mengaku, masalah pawang hujan ini membuatnya makin berpikiran terbuka. “It’s nice to stop being so narrow minded, to stop thinking reasonably and scientifically. Hal ini membuat saya belajar untuk tidak sinis tentang hal-hal baru. Bahkan jika ada cabang filsafat tentang magical thinking, saya akan menjadikannya minat baru.”ungkapnya. 

Tapimenurutsaya, Dina Danish dan JB memang sudah sangat berpikiran terbuka dari sononya. Sebagai sepasang seniman, mereka sudah seperti tim yang saling membahu dalam menyelesaikan proyek seni, mengeksplor daerah sekitar, dan bersenang-senang. Mereka sangat suka mencoba makanan baru, dari yang kelas atas sampai yang pinggir jalan. Mereka bisa naik bus umum ke Prambanansendiri tanpa saya (bahkan saya sendiri males kalau disuruh naik kendaraan umumnya Jogja ke Prambanan). Dengan google map di tangan, mereka mengarahkan sopir taksi ke Sarang Building ketika saya dan Pak Sopir gagal membaca Art Map keluaran tahun ini. Mereka bisa merencanakan liburan ke Bali selama tiga hari sendiri. Dengan sedikit arahan dari saya mereka bisa pergi ke Amplaz dan Jogja Tronik sendiri, bahkan berjalan-jalan di daerah Jalan Cenderawasih untuk melihat-lihat distro dan mengalami “Jogja Utara”.

Namun yang membuat Dina dan JB berkesan bagi saya adalah kemampuan mereka untuk berteman. Beberapa seniman asing bisa sangat menyebalkan dan arogan, sementara Dina dan JB, walau rewel dan perfeksionis masalah logistik karya, sangat ramah dan terbuka. Tidak hanya dengan saya, mereka bisa berteman dengan sahabat-sahabat saya di Biennale seperti Cecep, Vito, Indra, Irine, Mala, dan Alif. Kami hanya serombongan mahasiswa, masih di tengah early 20s crisis, coffee break lebih menarikbagi kami ketimbang diskusi kuratorial, tapi Dina dan JB bisa nyambung dengan kami dengan menyenangkan. Teman-teman saya ini bahkan dengan senang hati membantu saya mendampingi Dina dan JB walau mereka punya job-desk sendiri-sendiri di Biennale.

Seperti kebanyakan orang asing yang pernah tinggal beberapa minggu di Jogja, Dina merasakan betapa luar biasanya keramahan orang Jogja.“Semua orang di sini baik dan sopan.Salah satu hal yang paling saya nikmati di sini adalah interaksi dengan orang-orang.”katanya.

Menjalani sebuah program residensi di tempat yang begitu asing dan berbeda dari tempat asal adalah pengalaman yang memperkaya seseorang dengan cara yang begitu unik. Dina memberi contoh penampilan Tisna Sanjaya di upacara pembukaan Biennale Joga XII. Pak Tisna naik kora-kora yang diinstal di halaman JNM. Di haluan kora-kora ia membaca puisi sambil melempari penonton dengan bola plastik. Di buritan kora-kora seorang ustadz memberikan ceramah ala shalat Jumat. Sementara, kora-kora berayun dengan ganas, di bawahnya sekelompok kosidahan tradisional menari sambil menembangkan aji-ajian dari Al-Qur’an, dan hujan gerimis turun mengguyur semuanya.

“Kehebatan pertunjukan ini tidak bisa diceritakan atau ditonton lewat video.Kamu harus berada di sana untuk mengalaminya sendiri.”kata Dina. “Ada hal-hal yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata lisan, ada perasaan yang tidak dapat ditransfer lewat rekaman film.Kamu harus berada di sana dan merasakannya.”

Karya-karya batik yang ia pajang di LAF pun merupakan hasil residensinya. “Secara fisik, panitia Biennale telah memindahkan saya dari rumah ke sini. Jika saya tidak berada di sini, saya tidak akan menghasilkan batik-batik tersebut.”katanya. Menurutnya Lined Papers, karyanya di LAF, adalah hasil dari perpindahannya dari rumah di Amsterdam ke Jogja.

Selain itu, perpindahan dari rumah di Amsterdam, menetap di rumah sementara di LAF, dan perjumpaan dengan hal-hal baru yang aneh di kota asing ini membawa perubahan pada hati dan jiwa Dina. “Something in me has changed. Kota ini telah meninggalkan sesuatu bagi saya. Hal ini membekas di hati saya dan akan selamanya ada. Siapa yang tahu jejak apa yang saya tinggalkan di sini?”tuturnya.

Dina Danish dan seniman-seniman lain yang mengunjungi kota saya untuk residensi membuat saya iri. Project based trip adalah cara bepergian paling keren. Sebuah perjalanan bisa menjadi begitu kaya ketika kamu bisa meninggalkan jejak karya di tempat yang begitu jauh dari tempat asalmu, atau ketika karyamu membawamu keliling dunia, atau ketika menjadi asing di suatu tempat membuatmu menghasilkan suatu karya yang begitu unik. Tentu saja, yang memperkaya sebuah perjalanan bukan hanya apa yang dihasilkan, namun juga apa yang dilihat, dirasakan, dialami, dan dijumpai selama itu. Segalanya itu tidak dapat dialami sambil duduk di rumah dan membaca buku.



berdiskusi dengan Agung Jennong, kurator Biennale di Sarang Building

Menikmati pemandangan dari Studio Biru

Welcoming Dinner di LAF

1 komentar: