Selasa, 01 Oktober 2013

Perangai Pelancong dan Permasalahan Sampah di Pulau Sempu


Pulau Sempu 26-30 September 2013

Setelah menyisir hutan selama kurang lebih satu setengah jam, menemukan laguna biru hijau yang dibentengi tebing-tebing karang dan dihuni monyet-monyet liar adalah harapan setiap orang yang berkunjung ke Pulau Sempu. Pulau kecil di sebelah selatan kota Malang ini belakangan ramai diperbincangkan anak-anak muda yang bersemangat ingin menjajal kemampuan mereka dalam bertahan hidup di alam sekaligus melarikan diri dari rutinitas kota yang hiruk pikuk. Memang, survival dan escape adalah dua kata kunci yang mendorong saya dan tujuh teman saya yang lain: Kunto, Pengok, Made, Adit, Gilang, Anas, dan Arif, untuk mengunjungi pulau ini akhir bulan September lalu.

Masing-masing membawa carrier seberat kurang lebih 10 kilo (kecuali saya yang diperbolehkan membawa ransel biasa berisi barang-barang pribadi dan beberapa perlengkapan kecil milik teman-teman), kami menghabiskan semalaman dan sepagian naik beberapa angkutan berbeda dari kota Jogja ke Pelabuhan Sendang Biru di tepi selatan kota Malang, lalu berperahu ke Pulau Sempu di seberang teluk. Kemudian kami jalan kaki di jalur jalan setapak di tengah hutan. Trekking ini tidak terlalu berat. Sebelum terlalu kecapekan kita sudah akan sampai di beting-beting curam pinggir hutan di mana kita bisa sedikit mengintip keindahan laguna yang akan memacu semangat kita untuk terus berjalan.

Sesampainya di laguna, bayangan kita akan escape dan survival akan sedikit buyar. Lagunanya memang sangat cantik, pantainya memang putih dan mungil, tebing-tebingnya memang tinggi, gagah, dan berbahaya, tetapi keramaian pengunjung membuat kita yang habis backpacking gembel naik angkot-angkot ekonomi dan membabat hutan dengan gagahnya merasa seperti habis naik mobil keluarga ke suatu pantai komersil yang dekat Jogja seperti Sadranan.

Pantai benar-benar ramai waktu kami sampai di sana. Tenda warna-warni bertebaran di lahan pantai yang sempit dan di lereng bukit karang yang landai. Sejumlah orang sudah bermain dengan ribut di laguna dan bahkan memanjat-manjat tebing gerowong yang menghubungkan laguna dengan Laut Selatan di balik tebing. Selagi kami masih melihat-lihat keadaan, di belakang kami datang lagi serombongan pengunjung yang akan menambah populasi pekemah malam itu. Tidak semua orang ini muda seperti kami! Yang sampai di laguna akhir pekan itu terdiri dari berbagai jenis manusia, di antaranya ada rombongan keluarga dari bayi sampai om-om setengah baya. Tidak semuanya juga menggunakan atribut naik gunung selengkap yang digunakan teman-teman saya. Ada yang cuma pakai sepatu kets dan sandal karet biasa, membuat saya yang barusan beli sandal gunung pertama saya untuk perjalanan ini terheran-heran bagaimana mereka bisa melewati berbagai rintangan selama trekking di hutan.

Jumat malam itu kami berkemah bersama puluhan orang lain di pantai laguna yang sempit itu. Keesokan harinya rombongan yang datang untuk melewatkan malam minggu di Pulau bertambah banyak! Bahkan ada serombongan yang terdiri dari sekitar 30 orang yang membawa panji-panji kelompoknya untuk disematkan di kaki bukit dan dibawa berfoto sambil mandi di laguna.

Selain keramaian yang di luar dugaan, over populasi pekemah di laguna sesempit ini menimbulkan permasalahan lagi: sampah. Sampah ada di mana-mana di sudut-sudut area perkemahan. Di lereng tebing banyak sekali sisa-sisa tali raffia dan bungkus makanan. Di sela-sela karang ada banyak bungkus plastik. Di pasir ada banyak sisa arang api unggun bekas pesta semalam. Bahkan di air kamu bisa berenang bersama botol-botol air mineral dan tas plastik bekas. Jorok sekali.

Kami miris ketika melihat tetangga-tetangga kemah kami membakar sampah plastik mereka dengan api unggun, menganggapnya beres ketika sampah itu berubah bentuk menjadi lapisan gosong di sekeliling kayu arang yang mereka kubur di pasir. Kami hanya sesama pelancong, siapa lah kami untuk memperingatkan mereka? Bahkan toh kami sendiri juga masih bandel memanjat-manjat tebing dan mencuri-curi tidak membayar retribusi. Yang bisa kami lakukan mungkin hanya memunguti sampah yang kebetulan kami temui saat berenang atau saat menjelajahi bukit karang. Ada beberapa pelancong yang sadar sampah dan melakukan hal itu juga. Tapi apa daya beberapa pasang tangan yang peduli melawan ratusan pasang lain yang terus menerus membuang sembarangan?

Sabtu siang itu kami mengobrol dengan seorang warga lokal yang menjadi tour guide bagi serombongan keluarga muda yang asyik bermain di air dengan dua anak kecilnya. Sementara si keluarga bermain air, si Pak Tour Guide tiduran di hammock kami sambil membaca novel karangan Coelho yang dibawa Kunto. Setelah itu kami malah mengobrol akrab dengannya. Bapak itu juga mengeluhkan masalah sampah dan perangai orang-orang yang berkemah di pulau ini. Kata Pak Tour Guide, Pulau Sempu mulai ramai dikunjungi wisatawan sejak muncul beritanya di internet tahun 1998. “Tapi puncaknya baru setahun belakangan ini,”katanya. Menurutnya, banyak di antara pelancong yang berasal dari kalangan intelektual tapi arogan dan acuh dengan peraturan-peraturan yang dibuat demi keselamatan mereka sendiri dan kenyamanan bersama.

“Pernah ada bapak-bapak dari rombongan DPRD yang memanjat-manjat sampai ke situ,”katanya sambil menunjuk tebing gerowong tempat air ombak dari laut lepas mengalir ke laguna. Di situ ada papan merah kecil bertulisakan “Berbahaya”. “Walau sudah diperingati dan diberi tulisan seperti itu, tetap saja bapak DPRD itu memanjat-manjat. Akhirnya jatuh, kena karang, dan harus ditandu.”katanya. Lalu dia menunjuk ke puncak bukit karang sebelah selatan yang sangat tinggi, yang di puncaknya ditancapi bendera merah putih. “Naik ke sana juga tidak boleh. Berbahaya!” Puncak bukit itu ramai dinaiki orang untuk menonton matahari terbit dan tenggelam, sekaligus untuk berfoto dan sekedar mencari sinyal buat sms, telepon, atau ngetwit!
Menurut Pak Tour Guide, membuat orang-orang sebanyak ini sadar akan bahaya alam yang nyata sangat susah. Dia dan teman-temannya yang warga lokal kerap kali disepelekan oleh para pelancong yang bandel terutama soal sampah. “Setiap hari Minggu kami di sini, mengawasi orang-orang yang pergi. Kalau ada yang pergi tanpa nenteng sampah langsung kami cegat. Kami suruh kembali ke tempatnya berkemah dan kami suruh memunguti sampahnya.”ujarnya. Dia bercerita pernah ada serombongan mahasiswa yang beradu mulut dengannya lantaran peringatannya untuk membawa kembali sampah mereka ke pelabuhan di seberang tidak diindahkan. “Baru ketika saya bilang saya ketua RT di sini mereka mau menurut dan akhirnya memunguti sampah mereka.”ujarnya sambil terkekeh.

Arogansi kaum-kaum intelektual yang sekedar bergaya jadi petualang ke pulau ini benar-benar masalah gawat. “Mereka suka memandang rendah kami, Mas, Mbak. Ada baiknya kalau kalian yang sesama mahasiswa yang saling memperingatkan,”ujarnya. Pasalnya, bahkan peraturan pemerintah pun tidak ampuh untuk menjaga kelestarian pulau ini. Menurutnya, status Pulau Sempu sebagai pulau konservasi alam tidak memungkinkan adanya pengawasan dari pihak pariwisata untuk memonitor jumlah orang yang datang dan pergi, juga apa saja yang mereka lakukan di sini. Satu-satunya birokrasi yang harus kami tempuh untuk menyeberang dari Sendang Biru ke Sempu adalah sebuah kantor dinas kecil yang menarifkan sekitar sepuluh ribu untuk izin. Itu pun kami lewati saja karena supir angkot carteran kami mengatakan tidak usah. “Seharusnya kita tuh izin di Surabaya jauh-jauh hari, baru setelah dapet suratnya kita izin ke kantor dinas di sini.”ujar Kunto. Memandang banyaknya turis yang memenuhi lahan pasir laguna, saya pesimis ada yang benar-benar melewati berbagai birokrasi itu untuk bermain air di sini.

Selain masalah sampah dan menantang bahaya dengan tidak bijaksana, Pak Tour Guide juga memberi tahu kami beberapa larangan yang sering kali tidak kita ketahui. “Tidak boleh bikin api unggun di sini. Mengotori pantai.”ujarnya sambil menunjuk serpihan-serpihan arang yang bertebaran di garis pantai. Walau arang kayu adalah barang organik dan akan segera busuk, frekuensi sampah arang bekas pesta api unggun tidak sebanding dengan kecepatan alam mengurainya. Menyadari hal itu kami pun urung membuat api unggun malam itu dan memasak menggunakan kompor badai saja.

“Selain itu di sekitar sini binatang liar masih lengkap. Makhluk-makhluk yang tidak kelihatan juga ada. Makanya tidak boleh berbuat mesum di sini!”katanya. “Dulu pernah ada cewek dan cowok yang pergi ke hutan berdua untuk berbuat mesum. Mereka malah didatangi harimau, lalu mereka digiring harimau itu kembali ke pantai.”tuturnya sambil terkekeh. Selain itu dia juga memperingatkan kita untuk tidak berteriak-teriak sembarangan di sekitar pulau. Intinya, kita harus tetap sopan dan hormat walau ceritanya kita ke pulau ini untuk kabur dari peradaban dan bersenang-senang.

Perbincangan singkat dengan Pak Tour Guide yang adalah warga lokal situ mengingatkan kami bahwa kerinduan manusia untuk bersatu dengan alam seyogyanya adalah yang reflektif, bukan yang liar. Kita pergi ke suatu sudut tersembunyi di pulau tak berpenghuni bukan untuk main gila dan mabuk-mabukan, tapi untuk menghayati alam dan bercengkerama dengan kesunyian. Alam punya peradabannya sendiri dengan hukum-hukumnya yang sama tegasnya dengan yang dibuat manusia.

Pak Tour Guide memandu keluarga muda itu kembali masuk ke hutan untuk trekking kembali ke pelabuhan. Sebagai gantinya segera muncul serombongan orang lagi yang muncul dari jalan setapak dan memandang ke laguna dengan mata berbinar-binar. Memandang laguna tersembunyi yang seharusnya tenang setelah dilindungi tetebingan dari gempuran ombak Samudera Hindia itu, saya membayangkan akan seperti apa area ini beberapa tahun lagi setelah menerima jutaan jejak artifisial yang dibuat manusia.







































foto-foto oleh Aditya Adam

2 komentar:

  1. Menawi dipunpirsani wonten peta Atlas, statusipun pulau Sempu menika pancen ugi dados cagar alam kaliyan sanes obyek wisata. Pemanggihipun kula, luwih sae menawi cagar alam mboten dipunsowani kaliyan manungsa, kejaba kaliyan petugas ingkang berwenang, amargi manungsa menika kathah ingkang kagungan watak kirang sae. Awit punika ugi, dalem ndherek prihatin kaliyan nyuwun agunging pangapunten mbokmenawi pamanggahipun kula mboten dados kersanipun mbak Gisa. ^^V

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, matur nuwun komentarnya. kami kemaren juga backpacking ke sana sebagai anak muda yang penasaran dan suka ikut-ikutan. semoga setelah ini kami bisa lebih dewasa menyikapi kekayaan alam ya :))

      Hapus