Wawancara ini dimuat di Jogjanews.com, tapi karena satu dan lain hal banyak sekali dipotong oleh editor saya. Di bawah ini adalah tulisan asli saya tanpa diedit.
Oleh Gisela Swaragita
Ditemui di Kedai Kebun Forum selepas melaksanakan aksi
damainya bersama paduan suara Vox Populi
Vox Polis Minggu (13/10), Agung “Leak” Kurniawan dengan bersemangat menjelaskan
apa dan bagaimana sebenarnya Festival Seni Mencari Haryadi itu. Dijelaskan, pergerakan
ini dimulai dari kegelisahannya akan permasalahan kota. Menurutnya, Jogja makin
ke sini makin semerawut sementara pihak pemkot tidak pernah punya solusi
konkrit untuk mengatasinya. Terlebih lagi walikota Haryadi Suyuti tidak pernah
muncul di depan publik untuk melaporkan kinerjanya.
“Belum lama saya
ketemu dengan teman saya yang sekarang menjadi petinggi di pemkot. Katanya
pemerintahan kota sekarang melakukan operasi senyap.”kata pria yang kerap
dipanggil Pak Leak itu. Menurutnya, operasi senyap tidak relevan dilakukan oleh
pemerintah. Kinerja mereka seharusnya diumumkan ke publik lewat media massa sehingga
masyarakat bisa menilai dan mengevaluasi keberhasilan maupun kemundurannya.
“Kalau tidak ada yang disembunyikan, tidak mungkin mereka bekerja diam-diam
saja. Mereka itu hanya tidak punya konsep jelas tentang kota.”
Pak Leak secara khusus menyoroti permasalahan kemacetan yang
belakangan ini selalu terjadi di Jogja pada jam-jam tertentu. “Kalau tidak
diatasi bisa makin parah. Jogja sudah seperti Jakarta kecil.”komentarnya. Berdasarkan
pengamatan pria yang sudah tinggal di Jogja sejak tahun 1978 itu, kota Jogja
sedang mengalami kemunduran terutama di sistem transportasinya. “Dulu dari SD
sampai kuliah saya bisa mengandalkan angkutan umum. Sekarang warga harus punya
kendaraan pribadi kalau mau praktis. Semua orang punya motor. Bukan karena
harganya makin murah, tapi karena dimudahkan oleh sistem kredit.”katanya.
“Haryadi Suyuti sudah terpilih secara sah untuk masa jabatan
5 tahun. Kita sebagai warga berdaya hanya bisa melakukan kritik.”katanya. Untuk
mewujudkan niat kritisnya ini, Pak Leak yang berasal dari kalangan seniman
akhirnya menggandeng teman-teman sesama pekerja seni untuk beramai-ramai melakukan
pergerakan untuk menyadarkan masyarakat atas masalah-masalah yang terjadi di
kota. Festival ini juga sekaligus cara alternatif mereka untuk mencoba
berkomunikasi dengan pemkot pimpinan Haryadi yang dinilai terlalu hening. Selain
masalah kemacetan, Festival Seni Mencari Haryadi akan menyoroti pembangunan
berbagai mal dan hotel yang sedang marak di kota, permasalahan lahar dingin di
Kali Code yang tak kunjung usai, juga bentroknya dua kelompok supporter PSIM (Brajamusti
dan Maident).
Peran seniman dalam Festival Seni ini adalah fasilitator
aspirasi dan pemantik kesadaran masyarakat mengenai permasalahan nyata yang
sedang terjadi. Festival ini akan melibatkan berbagai cabang seni yang ada di
Jogja. “Seni musik, pertunjukan, seni rupa, fotografi… apa pun itu. Selama ini
orang menganggap seni bersifat elitis, tidak politis. Kalaupun politis, tidak
berakar pada hal yang riil. Nah Festival Seni ini ingin mengambil masalah yang
nyata di masyarakat untuk membuat karya.”jelasnya. Direncanakan, Festival Seni
ini akan berlangsung dari bulan Oktober 2013 sampai Maret 2014. Agenda besar bulan
Oktober ini adalah kegiatan publikasi untuk mengenalkan pergerakan ini ke
masyarakat. Yang sudah berlangsung adalah Lelagu#4: Ode Buat Kota pada Jumat
(11/10) dan paduan suara Vox Populi Vox Polis. Mengenai paduan suara ini, Pak
Leak melibatkan sekitar 15 orang sahabat senimannya dan beberapa guru vokal
dari kelompok Gregory Caecilia, GHSP Maria Tak Bercela, Kumetiran Yogyakarta. “Saya
mengajak teman-teman seniman untuk jadi volunteer, lalu saya sisipi penyanyi
gereja yang benar-benar bisa menyanyi.”kata Pak Leak. Kelompok ini berlatih di
Kedai Kebun Forum dan Ark Galerie beberapa kali sebelum “pentas” di depan rumah
dinas Haryadi Suyuti pada Minggu sore. Tujuan dari koor ini adalah untuk
menarik perhatian sebanyak mungkin orang untuk akhirnya mengajak mereka ikut
terlibat dalam pergerakan. Terbukti, akhirnya ada banyak warga yang secara
spontan ikut bergabung ketika paduan suara tersebut menyanyi di depan rumah
dinas. Rencananya paduan suara ini akan
merekam sebuah lagu tentang pemerintahan Haryadi yang kemudian akan disebarkan
lewat sosial media.
Gaya penyampaian aspirasi yang tidak biasa ini dianggap
efektif dalam menarik perhatian warga kota. Masyarakat mulai waspada akan
pergerakan ini sejak ada kasus mural “Jogja Ora Didol” yang menyebabkan
tertangkapnya M. Arif, remaja 17 tahun warga Kotagede, yang iseng memperbaiki
tulisan tersebut. “Gerakan Jogja Ora Didol itu dari anak-anak street artist. Mereka juga bagian dari
kami. Perannya adalah sebagai tim taktis.”ungkapnya. Tugas para street artist adalah untuk segera merespon
isu yang sedang hangat di masyarakat dengan membuat karya kritis di
jalan-jalan.
Dengan gerakannya ini, Pak Leak berharap bahwa kesenian bisa
berguna bagi khalayak umum sebagai kanalisasi kegelisahan akan permasalahan
kota dalam wujud positif. “Selama ini kadang-kadang seni dianggap tidak
berguna. Art for art sake. Dengan
pergerakan ini kami ingin membuat proyek seni berdasarkan permasalahan yang
nyata.”ungkapnya.
Pak Leak memang terkenal berani dalam menyampaikan aspirasi
yang berlawanan dengan pemerintah. Sudah beberapa kali ia mengadakan pergerakan
kesenian sebagai wujud protes. Misalnya di tahun 2010 ia mengadakan gerakan “Semenit
Senyap” di Titik Nol KM untuk membangun kesadaran masyarakat akan bahaya kecelakaan
lalu lintas. Di tahun 2011 ia membuat gerakan “Jogja dalam Bahaya” untuk
mengkritisi masalah kekerasan oleh ormas. Pergerakan alternatif seperti ini
sangat efektif dalam menarik perhatian media massa karena menawarkan nilai
berita. “Tidak perlu membayar media massa untuk memuat press release kita seperti yang dilakukan pemerintah.”katanya.
Menurutnya jika diibaratkan tim sepakbola, media massa adalah ujung tombak atau
striker. “Kita tinggal memberi umpan,
mereka yang mencetak gol. Dalam hal ini, Pemkot adalah kiper yang selalu
kemasukan gol!”katanya.
Pak Leak mengajak segala lapisan masyarakat untuk ikut
bergabung dalam Festival Seni Mencari Haryadi. “Daftar saja lewat email ke infomencariharyadi@gmail.com.”
katanya. Festival seni ini bersifat merangkul dan terbuka. “Tidak hanya dari
kalangan seniman. Kami sudah merangkul komunitas sepeda, suporter bola, warga
bantaran Kali Code, dan banyak lagi.”katanya. Diharapkan, pergerakan warga
berdaya ini akhirnya bisa membuat Pemkot tidak lagi bungkam, sekaligus mengajak
Pemkot untuk duduk bersama rakyat dan membahas bersama konsep pembangunan kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar