Dengan bahu dibebani tas ransel, tas jinjing, dan tas pinggang, kedua tangan menyeret dua koper besar yang sarat barang kesayangan, dan tak lupa sebuah kotak sepatu penuh kenangan dikempit di ketiak kiri, saya berjalan terseok-seok melewati labirin wajah dan peristiwa, mencari rumah yang baru. Berkali-kali saya mampir dan minum dan tertawa dari satu rumah ke rumah yang lain. Berkali-kali saya mengucapkan salam dan menyusuri labirin itu lagi, sambil terus menyunggi semua bagasi yang menggelayuti badan saya. Seperti itu lah gambaran kehidupan saya pada paruh pertama tahun ini.
Di mana rumah? Di mana itu pulang?
Itu lah yang saya pikirkan tadi malam saat menyusuri potongan-potongan jalan Jogja selatan menuju "rumah". Menuju bangunan beratap di mana "keluarga" saya tinggal. Di mana ketiga anjing peliharaan saya akan menyambut dengan girang.
Di mana rumah?
"Setiap tempat beratap bisa berubah jadi istana." kata si Melbi, band yang baru-baru ini saya gandruingi. Saya percaya tiap patah liriknya. Tapi saya tidak butuh istana.
"Rumah" secara harafiah, secara impian, buat saya adalah yang mungil dan bersih, dan berubin, dan bertembok putih dengan beberapa lukisan gambar ikan, dengan halaman yang luas dan pohon-pohon bunga dan pohon-pohon buah (minus nyamuk, jelatang, laba-laba dan segala macam serangga, dan yang liar lainnya). Saya ingin rumah yang baik dan jinak. Being domesticated. Settled. Mapan.
Tapi di mana rumah?
Saya suka iri dengan teman-teman yang bisa betah di rumah, punya zona zen sendiri (baca: waktu, tempat, suasana) untuk menulis atau membaca atau berkarya. Sementara saya? Di kamar saya sendiri pun, saya sering merasa sesak. Di bawah selimut dan diapit keempat tembok batu bata ini saya sering kebingungan dan merasa tersesat. Sering saya mencari rumah dengan menyusuri timeline twitter. Kenapa? Karena di twitter selalu ada teman. Selalu ada orang untuk diajak ngobrol. Selalu ada obrolan untuk disimak. Selalu ada nama-nama yang menyenangkan untuk dilihat. Tapi bahkan sekarang pun rasanya twitter tidak lagi menjadi rumah saya.
Ada seorang teman yang bilang sekarang saya menjadi terlalu virtual, terlalu mengekspos diri dalam lini masa, potongan-potongan buku harian saya tercecer di garis-garis waktu dalam wujud 140 karakter. Itu benar. Sebenarnya apa yang sedang saya cari? Saya sedang mencari pulang.
Pulang buat saya adalah lingkaran wajah-wajah yang bisa membuat saya tertawa lepas. Tangan-tangan yang bersama-sama dengan tangan saya membuat sesuatu yang baru. Telinga-telinga yang mendengarkan dan bahu-bahu yang menyediakan diri untuk disandari. Menyenangkan bukan? Beberapa bulan lalu saya mulai membangun rumah untuk pulang dengan sendi-sendi hubungan saya dengan beberapa teman baru.
Sayangnya saya kerap kali terlalu terburu-buru membangun atap di atas tiang-tiang pasak yang goyah bahkan sebelum pondasinya jadi. Saya kerap kali terburu-buru berlindung di bawah genteng yang masih bolong-bolong karena disusun serampangan. Terlalu cepat dekat. Terlalu sering bertatap. Semuanya jadi terlalu singkat. Di bawah atap rumah hubungan pertemanan yang rompal-rompal itu saya berteduh, berusaha nyaman, tapi tetap tidak bisa menaruh semua bagasi yang menggelayuti tubuh saya. Saya tetap menggelandang. Rumah saya banyak, tapi belum ada yang jadi. Bagasi saya banyak, penuh kenangan. Butuh rumah beneran untuk menyimpan. Daripada tercecer di sepanjang labirin berupa dinding berbagai wajah dan peristiwa.
Belakangan saya belajar bahwa kadang menjaga jarak adalah salah satu cara terampuh untuk menjaga hubungan baik.
Beberapa teman mulai bilang bahwa saya kelelahan. Terlalu multi tasking. Saguh Jaya. Semuanya di sanggupi. Summer in Vienna. Kanaltigapuluh. Lelagu. Jalan Emas. Biennale. Belum lagi kuliah pasca sarjana dan les-les privat bahasa Inggris. Sebenarnya semua label itu saya lekatkan ke diri saya, semua kegiatan itu saya sikat, karena kalau saya selo, tekanan kemiskinan saya sebagai gelandangan jiwa semakin menekan. Sungguh, berada di kamar sendirian tanpa PR untuk dikerjakan membuat saya restless, membuat saya kesepian, dan bahkan, sedih. Sungguh, jam-jam terjaga saya berada di "rumah" terkadang hanya dua sampai empat jam. Selebihnya tidur. Lalu mencari rumah di luar "rumah".
Mungkin mereka bilang keluar "rumah" itu mencari petualangan. Untuk saya yang malang ini, keluar "rumah" adalah untuk mencari pulang.
Jadi itu lah teman-teman, keadaan saya sekarang. Tuna Wisma. Tidak punya rumah. Tidak punya pulang.
pulang gis.. sini aku juga lelah diluar sana haha
BalasHapus