Minggu, 21 Juli 2013

Kamu Butuh Penggemar, Kami Butuh Panggungmu: 10 Years of Archiving those Who Run under the Spotlights, in Front of Cameras

Tentang malam minggu 20 Juli 2013


courtesy foto: instagramnya Irvin Domi

Sudah pukul 17.30 ketika saya memasuki auditorium atas Kedai Kebun Forum untuk mengikuti diskusi "You Need More Fans, We Need More Stages". Saya buru-buru duduk di kursi yang tersisa di lingkaran diskusi, di belakang Tinta, Komang, dan Panca. Di sentra lingkaran kursi, di depan screen besar, sudah duduk mas Anom Sugiswoto, fotografer panggung yang dedikasinya selama 10 tahun memotret gigs sedang dirayakan, bersama Woto Wibowo (Wok the Rock) sang kurator pameran yang saat itu bertindak sebagai moderator, juga Indra Ameng dan Keke Tumbuan, duo fotografer handal yang sedang residensi di MES 56, Jogja.

Sedikit lucu ketika sore itu saya melihat mas Anom sebagai fotografer. Saya kenal mas Anom pertama kali beberapa tahun yang lalu sebagai gitaris di band punk Djiwalangkadji (DJWK), lalu di band all star Skandal. Jadi, perspektif saya pada mas Anom adalah: doi anak band. Walau saya sangat tahu bahwa dia memotret, saya masih harus menggeser perspektif itu dan mulai melihat dia sebagai fotografer. Fotografer handal malah. Bayangkan saja, selama sepuluh tahun mas Anom menekuni fotografi di panggung-panggung hardcore, jauh sebelum kamera DSLR menjadi bawaan wajib mereka yang datang ke acara musik, bahkan jauh sebelum anak-anak gigs paham apa itu pentingnya dokumentasi.

Yup, dokumentasi adalah kata kunci pameran tunggal ini. Beberapa ratus giga foto yang dipadatkan menjadi tiga slideshow berdurasi 180 menit itu menjadi album kenangan anak-anak gigs yang tumben-tumbenan datang meramaikan sebuah acara pameran foto. Dokumentasi menjadi sisi fotografi yang ditonjolkan saat itu, lebih daripada fungsi foto sebagai alat jurnalistik dan karya seni. Bincang-bincang singkat sore itu banyak mengupas asyiknya mengabadikan momen sehingga terpatri menjadi alat pemanggil kenangan.

"Mungkin teman-teman tadi malam sudah banyak yang bilang, Anom berhasil mengabadikan aib kalian. Ya itu benar. Banyak hal yang muncul lagi ketika melihat foto-foto ini." kata Anom. Dia juga menambahkan bahwa fungsi foto sebagai sarana nostalgia tidak muncul begitu saja setelah memotret. Peristiwa yang diabadikan dalam potret akan diperam waktu menjadi kenangan. Kenangan baru bisa dinikmati setelah lima tahun, sepuluh tahun berlalu, saat wajah-wajah di dalam foto itu berjarak dengan peristiwa tersebut. 

"Tapi ada juga beberapa foto yang tidak saya tampilkan. Misalnya, ada teman yang saya foto bersama pacarnya saat itu, tapi sekarang sudah berpisah dan punya pasangan lagi. Kalau saya tampilkan nanti bisa jadi masalah. Ada juga teman yang saat itu saya potret ketika sedang sangat mabuk. Saya unggah ke Facebook. Ternyata dia dimarahi sama pacarnya dan saya disuruh menghapus foto itu." ujar Mas Anom tentang berbagai kenangan yang lebih baik tidak diekspos karena bisa mempengaruhi pencitraan.

Pencitraan memang adalah hasil dari fotografi, apalagi fotografi panggung. Mereka yang lalu lalang di bawah lampu sorot tidak akan mau terlihat jelek di depan kamera. Indra Ameng dan Keke Tumbuan sebagai fotografer panggung senior berbagi rahasia para artis yang menjadi objek fotografer panggung. "Katon Bagaskara dan Dwiki Dharmawan cuma mau difoto dari angle tertentu. Marylin Manson juga ketat sekali dalam hal seleksi siapa saja yang boleh memotret dia dan mendekati dia pakai kamera di atas panggung." Katanya kalo sampai ada foto yang melanggar peraturan-peraturan itu lalu diunggah ke media, media itu bisa benar-benar dibredel dan fotografernya bisa kena masalah.

Mas Anom sepuluh tahun menjelajahi berbagai macam panggung bersama Kongsi Jahat, Halang Rintang, dan berbagai komunitas lainnya, mengabadikan berbagai macam pose teman-teman band yang berkudalumping di atas panggung dan bertindak bodoh di bawah panggung. Secara terus terang, ia mengaku malah lebih senang ketika mengabadikan ekspresi-ekspresi tak terduga yang muncul ketika musik keras disiram minuman keras. "Saya lagi seneng banget ngikutin Dub Youth. Soalnya kalau sudah pada mabuk banget, ada banyak yang bisa dipotret... yang lagi muntah-muntah kewer gak jelas lah... saya juga kadang-kadang mabuk ketika memotret. Nanti waktu saya lihat lagi hasilnya di rumah, buram semua."katanya sambil tergelak. Walau berangkat dari scene hardcore, mas Anom juga sering lalu lalang di pit indie-pop. Biasanya dia dan teman-teman hardcorenya sedikit menghembuskan nafas lega ketika singgah ke acara indie pop yang lebih "santun" dan "cantik".

"Lha, mbok nek nggawe acara ki koyo ngene... akeh wedoke. Ra koyo biasane, lanang tok, mabuk, gelut..." ("Kalau bikin acara tuh begini lho, banyak ceweknya. Nggak kayak biasanya, cowok semua, mabuk, berantem...") ujarnya tergelak.

Diskusi yang diselingi ngemil buka bersama itu berlangsung hangat dan menyenangkan. Banyak wacana tentang fotografi, panggung, dan musik yang muncul dari berbagai tokoh yang hadir saat itu. Misalnya Panca dan Hoho, yang juga adalah fotografer/videografer panggung, berbagi pengalaman mereka dalam mengabadikan momen-momen pertunjukkan. Dina, sebagai anak Kunci Cultural Studies, di mana pameran ini digodok, berbagi pengalamannya ketika beberapa hari sebelumnya menyaksikan foto-foto ini bersama Gufi, anak Kongsi Jahat. "Kayak nonton video dokumenter yang ada komentatornya,"ujar Dina karena Gufi tak henti-hentinya mengungkapkan nostalgianya tentang setiap panggung yang mereka telaah kembali. Mbak Nuning yang saat ini sedang di Jogja untuk mengumpulkan data-data mengenai wacana musik populer di kalangan side-stream untuk disertasinya di Leiden University juga hadir dan merekam diskusi itu dalam bentuk audio.

Saya sendiri bukan orang foto, cuma kebetulan suka band-band-an, dan sekaligus penasaran apakah akan muncul muka saya di antara ribuan foto yang akan dipertunjukkan. Memang inilah salah satu uniknya acara ini: memamerkan mereka yang datang menonton. Mereka yang datang menyaksikan pameran ini juga bisa dibilang memperlakukan acara pameran ini layaknya acara band-band-an. Konsep pameran adalah pertunjukkan slideshow digital selama beberapa jam, bukan display foto-foto cetak selama beberapa hari. Ada tiga screen yang menampilkan kumpulan foto: screen utama di selatan ruangan untuk foto-foto aksi panggung dan keriuhan penonton, screen kecil di sudut barat laut untuk foto-foto persiapan panggung, dan sebuah iPad kecil untuk foto-foto "aib" teman-teman selama tour, di backstage, di berbagai area venue saat acara, pokoknya dokumentasi sikap-sikap random selama ngegigs. Ketiga slideshow ini ditampilkan dengan diiringi mixtape remix lagu-lagu indie karya Uma Guma. 

Setelah rehat satu jam selepas diskusi, pertunjukkan pameran dimulai pukul delapan malam. Duduk di lantai di tengah ruangan bersama teman-teman, mengekspos diri pada kumpulan wajah dan nama, saya mendapati diri saya sendiri dan teman-teman yang lain mengomentari foto-foto itu dengan komentar-komentar yang akan terlontar saat membuka sebuah album foto. 

"Wah itu acara bego banget di LAF!" "Ini gigs perpisahannya Armada Racun." "Duh, kangen banget deh ngegigs di basement-nya JNM." "Bunker! Bunker!" "Waaa itu ada muka ku, alhamdulilah aku eksis." "Duh, mas Ugo ini emang selalu ganteng mau difoto kayak gimana juga." "Ini acaranya Frau di Tembi." "Bukaaan... itu acaranya Tika." "Edan lawas tenan."  "King Khan kalo manggung pake jubah begituan tuh," "Kayak orang gila ya." "Ini waktu anniversary-nya Seek Six Sick, jaman kapan itu." "Maaaak, jelek banget mukaku! Kok ya pas itu, dan pas di screen gede!" "Heh, ada mukamu tuh sama mantanmu. Itu yang di iPad." "Wedyan Menus isih kuru banget, Cah!" "Joko Problemo! Tu orang ke mana sekarang?" "Katanya udah pensiun dari gigs, sekarang menekuni hobi memancing." "Haahahahaha... ini lho Domi ponian!" "Liat fotonya Rully yang tadi ga? Ternyata dulu dia mukanya kayak Pengok, badannya kurus kayak Dadan, beneran!" "Itu Adya? Seriusan itu Adya?" "Woy, kene, aman kok, saiki foto-foto anyar, foto-foto lawas wes mau. Wes ra sah isin."

Komentar-komentar lucu itu terlontar ketika kita diajak menyusuri satu dekade foto. Misalnya, lucu sekali ketika menyadari potongan rambut yang hip lima tahun lalu bisa bikin kita malu sekarang, atau bahwa ciri-ciri kemudaan yang terekam di kumpulan foto itu sekarang sudah tidak melekat di kita lagi. 

Jumlah band dan wajah yang terekam kamera juga tidak terhitung. Sepertinya semua yang hadir di KKF petang itu menikmati momen-momen wajah mereka terpajang di screen, atau lagu band-nya dimasukkan dalam remix jenius DJ Uma Gumma. Menjadi bagian dari potongan-potongan peristiwa yang dijepret Anom membuat kita menyadari bahwa kita punya tempat di komunitas ini. Mungkin tangan-tangan kalian adalah salah satu dari ratusan tangan terkepal yang mengacung ke atas pada sebuah gigs metal yang ini. Mungkin band kalian adalah yang membuat ratusan orang kelojotan di mosh pit yang itu. 

Memang unik ketika karya fotografi disikapi sebagai album kenangan, dipamerkan dengan konsep pertunjukkan, dihadiri anak-anak berbagai scene musik yang merupakan wajah-wajah yang dipajang, lalu disajikan dengan sikap seni rupa: dikuratori segala, dan dipamerkan di Kedai Kebun lagi. Pemilihan judul pameran "You Need More Fans, We Need More Stages" (yang mau nggak mau membuat saya teringat lirik lagunya Kimya Dawson - Anyone Else but You), memang benar-benar menggambarkan fungsi foto-fotonya mas Anom: kami senang aksi panggung kami diabadikan, profile picture kami jadi oke, pencitraan kami jadi keren, dan orang-orang yang penasaran sama musik kami jadi bertambah. Sedangkan dari sudut pandang fotografer, mereka butuh panggung yang lebih panas lagi, aksi panggung yang lebih gila lagi, dan ekspresi penonton yang lebih heboh lagi untuk menghasilkan foto-foto yang lebih keren. "Kamu butuh penggemar, kami butuh panggungmu," benar-benar menunjukkan simbiosis mutualisme yang terjalin antara pemain musik dan fotografer panggung. Acara di KKF malam itu memang dengan sahih menunjukkan scene musik Jogja dari segi dokumentasi. 



sebagai penghargaan, saya beli (minta dibeliin tepatnya, makasih Rangga) paket memorabilia pameran: Zine berisi foto-foto, dua stiker, dan CD berisi kompilasi mix tape karya Uma Gumma


Tulisan versi jurnalistik saya tentang event ini juga bisa disimak di KANALTIGAPULUH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar