“Requiem aeternam dona eis, Domine… requiem aeternam dona eis, Domine…”
Anak kecil itu adalah hantu, menyanyi lirih sambil mendekap bonekanya yang juga hantu. Rambutnya yang kecokelatan menjulur berjumbai-jumbai menutupi matanya yang biru cerah tetapi mendelik. Ia sedang duduk di atas salah satu meja tulis di dalam ruangan kelas itu. Kakinya yang pendek tak menyentuh lantai bergoyang maju mundur seiring dendangnya yang wingit. Sepasang kaki itu bergoyang-goyang menembusi perut seorang gadis yang sedang terkulai sekarat di bawahnya. Gadis itu masih mengenakan seragam, setengah tertidur, terbujur di atas dua bangku.
“Et lux perpetua, et lux perpetua, luceat… luceat eis…”
“Diam.”bisik gadis itu.
“Te decet hymnus Deus in Sion…”
“Diam…”bisik gadis itu lunglai.
“et tibi redetur votum in Ierusalem…”
“Diamlah.”
“Aku berbaik hati menyanyikanmu lagu untuk mengiringimu.”
“Mengiringiku apa..”gadis itu menjawab. Ia berkeringat banyak sekali, dan jantungnya berdebar-debar.
“Kau mati sendirian, bukankah itu menyedihkan? Aku menemanimu, menyanyikanmu lagu. Lagu kata-kata doa yang seharusnya kau panjatkan saat ini.”
“Benar…kah?”
“Ya.”jawab si hantu. “Aku berdoa, semoga hilanglah dosa-dosamu ketika kau kembali ke Keheningan abadi.”
“Baik sekali kau.”
“Aku memang baik.” Hantu itu menjawab. Ditelengkannya kepalanya ke kanan. Rambutnya memburai menutupi wajahnya yang pucat membiru, lalu mulai menyanyi lagi.
“Exaudi orationem meam…. ad te omnis caro veniet….”
“Apakah kau dinyanyikan, dulu?”
“Tentu saja.”
“Lalu kenapa kau jadi hantu?”
“Karena aku tak ingin pulang ke Keheningan.”
“Kenapa?”
“Karena aku suka di sini, di Hiruk-pikuk. Tidakkah kau suka di Hiruk-pikuk?”
“Tidak.” Desah gadis itu. “Aku menderita berada di Hiruk-pikuk. Itulah kenapa aku ingin kembali ke Keheningan.”
Hantu itu marah. Hanya saja agak susah untuk mengetahui bahwa ia benar-benar marah, karena hantu tidak memiliki ekspresi. Matanya yang mendelik tetap mendelik, dan kepalanya tetap terteleng miring dan setengah tertunduk. Rambutnya berkeriapan.
“Kau gadis jahat,”katanya. “Kau memanggil Keheningan, padahal kau dianugerahi riuhnya Hiruk-pikuk kehidupan. Tidakkah kau malu.”kata hantu itu. Ia melayang sedikit. Kakinya tergantung di udara. Gaunnya yang putih berkibar-kibar.
“Mengapa begitu putus asa?”tanyanya.
“Kematian datang mengendap-endap mencuri jiwamu. Aku tak ingin Kematian yang pencuri. Aku ingin Kematian yang adalah tamu ketika diundang.”kata gadis itu. Mengapa ia bisa berkata lancar? Ah barangkali gadis itu tidak berkata-kata dengan mulutnya yang lemah dan terengah-engah itu. Barangkali hatinya yang menggerakkan bibir atmanya.
“Kematian yang kau panggil itu bukanlah tamu. Kematian, untukmu adalah pesuruh yang datang buru-buru ketika kau berteriak memanggilnya. Tidakkah kau malu? Merendahkannya begitu rupa? Hei, anak bodoh, lebih baik kau berteman dengan kehidupan. Bergandengan dengannya lebih hangat dan nyaman.” Hantu itu menurunkan wajahnya yang pucat dan buruk sehingga hidungnya dengan hidung si gadis nyaris bersentuhan.
“Kehidupan tidak mau bergandengan tangan denganku. Malahan, tanganku dibakarnya.” Kata si gadis getir. “Lagipula, kau yang bodoh,” kata si gadis, tersenyum. Matanya yang hitam memandang mata biru si hantu, yang pucat seperti kulitnya. “Kau pasti telah mati ratusan tahun yang lalu, bukan? Kau ditarik ke Keheningan, tetapi kau tak mau. Kau terjebak. Hunianmu hanya sudut kelas yang sempit dan sepi ini.”
“Jangan ganggu dia,”ternyata Kematian telah tiba. Jubahnya yang hitam, yang disulam dari kegelapan, berkibar-kibar memenuhi ruangan.
“Apa yang akan terjadi padanya?” si hantu, anehnya, terdengar memohon. Padahal ekspresinya tak berubah. Tetap mendelik dan kepalanya terteleng miring. Rambutnya berkeriapan.
“Itu bukan urusan kita.”jawab Kematian.
“Tapi kitalah Tuhan!”jawab si hantu. “Aku lah Tuhan! Kau juga. Dia juga. Semua yang masih bersuara di Hiruk-Pikuk dan yang telah Hening adalah Tuhan. Urusan siapa lagi kalau begitu?”
“Diamlah.”kata Kematian, “Dan janganlah rewel.”
Tiba-tiba si Hantu terisak. “Bawalah aku, bawalah aku, aku bosan sekali di sini.” Hantu itu memeluk lengan Kematian seperti mencari kedamaian di lengan ayahnya. “Ternyata Kehidupan takmau lagi menggandengku. Aku menderita berada di Hiduk-pikuk. Bawalah aku juga.”
Kematian memeluknya ke dalam pelukannya yang dingin dan tragis, wajahnya tertutup selubung bayang-bayang abadi sehingga tak ada yang dapat melihatnya. “Diamlah.”
“Kalau begitu tinggalkanlah gadis itu untuk jadi temanku,”kata si Hantu. Ia menunduk memandang si gadis. Tapi ternyata ia sudah meninggal. Jiwanya duduk di sisi Kematian yang lain.
Si hantu pun berhenti menangis. Ia duduk diam lagi, mendekap bonekanya yang juga hantu, lalu menggoyangkan kakinya maju mundur menembusi perut si gadis yang sekarang sudah meninggal. Kematian dan si gadis telah menghilang ke Keheningan.
Tinggallah hantu itu sendiri, di dalam ruang kelas yang sepi itu. Ia tertunduk miring, mendelik memandang jenazah yang terbaring diam di atas dua bangku.
“Requiem aeternam dona eis, Domine… et lux perpetua luceat eis…”
Gisa, 29 Juli 2011
(Cerpen ini pertama kali ditulis saat saya SMP atau SMA, dengan judul dan konsep yang sama, tetapi alur berbeda.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar