Di luar hujan. Dingin sekali malam itu. Angin mengguncangkan dahan-dahan pohon di luar jendela kamarnya. Sepetak langit di balik siluet pohon berpendar sekilas oleh kilat.
Ia duduk di atas kasur, memeluk lututnya. Ia sudah berganti pakaian bersih. Matanya terpaku ke biji-biji air yang mengalir menyusuri kaca jendelanya.
Kamarnya gelap. Ia tak menyalakan lampu. Cahaya yang menerangi kamarnya cuma dari biasan cahaya malam yang masuk lewat jendela.
Kucingnya tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Mata gadis itu berpaling dari jendela ke kucingnya.
“Pus,”panggilnya. Dijilurkannya tangannya ke bawah, menyuruh Pus melompat ke tanagnnya.
Pus berhenti melangkah.
“Jangan lewat situ, Pus, nanti kamu kotor.”katanya.
Pus-nya mengerti. Kucing itu berjalan mengitari genangan darah, bukannya melewatinya, lalu lompat ke pelukan si gadis.
“Pintar…”pujinya. Dielus-elusnya kepala Pus.
Pus adalah kucing putih bersih dengan mata kuning yang bercahaya seperti neon. Saat ini kepalanya mendongak memandang majikannya. Matanya yang berkilat-kilat seakan bertanya.
“Iya, itu memang dia.”jawabnya masih mengelus-elus Pus.
Pus mendengkur, bertanya mengapa.
“Mengapa… oh ya… ia berdarah banyak. Ia mati, Pus.”
Pus mengeong sedih.
“Iya, makanya ia berdarah. Ia mati, Pus. Orang yang matinya ditikam darahnya banyak.”
Pus mendengkur sekali lagi, lalu mengintip dari atas tempat tidur.
“Iya. Aku…” Gadis itu meraih perut Pus. Ia ikut mengintip dari bawah atas tempat tidur.
Pus mengeong lagi, mendesak.
“Makanya…”gadis itu tercekat. Dipeluknya Pus lebih erat, dialihkannya kepala Pus dari pemandangan itu. “Berkelakuan baiklah padaku…”
Pus berhenti bertanya. Gadis itu kembali memandangi hujan yang makin deras di luar kamarnya. Tapi Pus menyembulkan kepalanya dari lipatan lengan gadis itu dan memandangi pisau yang tertanam di dada kekasihnya.
Pasti sakit, pikir Pus, ditikam seperti itu. Dicabik-cabik perutnya sampai berdarah sebanyak itu. Tiba-tiba pisau itu bercahaya memantulkan kilat yang membelah langit. Lalu guntur menggelegar memenuhi udara.
“Dingin…”gumam gadis itu. Ia memeluk Pus lebih erat. Wajahnya ditenggelamkan ke dalam bulu tengkuk Pus yang putih dan tebal. Menghirup harum sabun hewannya yang segar. “Dingin…”
“Meong.”
“Ia mati, Pus.”
“Meong.”
“Aku tahu… tapi itu dulu, waktu ia masih hidup. Waktu ia masih hidup, ia hangat sekali. Tapi ia mati, Pus. Orang mati pasti dingin.”
“Meong.”
“Tentu…aku ingin sekali memeluknya…”gadis itu berpaling ke mayat kekasihnya yang tergeletak di lantai. “Aku rindu sekali padanya.”
Tiba-tiba air mata yang hangat jatuh ke dahi Pus. Disusul air mata yang besar-besar dan panas.Gadis itu mengangis tersedu-sedu.
Ditaruhnya Pus ke samping, lalu ia turun dari ranjang. Air mata membanjiri wajah cantiknya.
“Sayang, maaf…maaf…”tangisnya. “Maaf, Sayang… maaf…”ia menunduk. Lututnya tergenang darah. Piamanya mulai belepotan.
“Maaf, sayang… Maaf… maaf…”ia terus menangis.
Dicabutnya pisau dari dada kekasihnya. Dibuang ke kolong ranjang. Mayat itu ketetesan air mata besar-besar.
Ditangkupkannya tangannya ke kedua belah pipi laki-laki itu. Mencemonginya dengan darah. “Maaf, Sayang… Maaf….”diciuminya wajah kekasihnya. Tapi kekasihnya tidak balas menciumnya. Diciumnya bibirnya. Pipinya. Dahinya. Matanya yang membelalak. Lehernya, sambil terus menangis. Tapi kekasihnya tetap dingin, tak bergerak.
“Huhuhuhuh… Sayang… maaf….”gadis itu berhenti. Ia mengangkat kepalanya dan memandangi wajah kekasihnya sambil terus menangis.
Dipeluknya kepala yang wajahnya ketakutan itu. Detempelkannya kuping kiri kekasihnya ke dadanya. Tapi kekasihnya gak bisa mendengarkan degub jantungnya.
“Sayang, maaf…”
Tiba-tiba Pus mengeong. Ia mondar-mandir di atas tempat tidur. Kucing itu kebingungan.
Gadisnya tetap menangis. Mencumbui kekasihnya.
“Maaf…”dibaringkannya lagi laki-laki itu ke lantai.
“Maaf…” ia pun berbaring. Dipeluknya tubuh dingin itu erat-erat. Ditenggelamkannya kepalanya ke dada kekasihnya. Tapi ia tak bisa mendengar degub jantungnya. Darah yang tergenang di lubang bekas tikaman membuncah, mengotori rambut dan pipi gadis itu.
“Maaf, sayang…”isak gadis itu. Ia menggesekkan wajahnya menelusuri dada kekasihnya, mencari telinganya.
“Makanya…”bisiknya tercekat. Dipeluknya tubuh laki-laki itu lebih erat. Air mata turun dari matanya. Dielusnya pipi kekasihnya, “Berkelakukan baiklah padaku…”
Mata kekasihnya bercahaya oleh kilat. Lalu guntur menggelegar.
Pus mengeong di atas tempat tidur.
(cerpen ini ditulis tahun 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar