Kamis, 28 Juli 2011

Lindhu

“Jaler, bangun, Nak! ‘Dah siang!”seru Ibu dari balik pintu kamar Jaler. Jam setengah enam pagi di hari Sabtu. Sinar matahari menyembul malu-malu dari balik tirai jendela kamarnya. Telinga Jaler masih nyaman dengerin siaran radio pagi yang sayup-sayup menyapanya. Dia emang biasa dengarin radio mpe ketiduran di malam hari, jadi radio itu menyala sepanjang malam sampai pagi lagi di pas Jaler bangun.

“Jaler, bangun!!”Ibu mengulang panggilannya. Kali ini sambil mengetuk pintu agak keras. “Ya, Bu…”Jaler menyahut malas. Dia merapatkan selimutnya dan bergelung memeluk guling, siap melanjutkan mimpinya yang terputus. Udara pagi di telinganya yang terbuka amat dingin, sementara tubuhnya tetap hangat di balik selimutnya.

Hari Sabtu di bulan Mei, sia-sia jika Jaler bangun pagi. Toh di sekolah udah nggak intensif lagi KBM-nya. Guru-guru udah sibuk ngurusin tetek bengek pasca-UN kelas 3. Jadi untuk siswa-siswa yang masih lama masa berlakunya macam Jaler ini sering ditinggal waktu pelajaran. Kelas 2 dan kelas 1 sering jam kosong.

Hal inilah yang membuat Jaler jadi makin males ke sekolah. Gak akan ada yang peduli kalo dia datang telat. Bahkan Jaler berniat buat bolos satu dua jam pelajaran hari ini. Niat ini semakin mengendap di kepalanya sementara dia tenggelam dalam kasurnya yang empuk di balik selimutnya yang nyaman.

“Bangun pagi sinar mentari hangati hati….”lagu favorit Jaler ini tersiar nyaman di keheningan kamarnya, seakan turut menahan kepalanya untuk tetap tergeletak ngiler di atas bantal. Seruan ibunya menyuruhnya bangun seakan sayup-sayup di kejauhan, menyatu dengan seluruh suara pagi yang melebur dalam lagu “Anak Pantai”. Puing-puing mimpi mulai berkelebat lagi di dalam matanya…

“Iya, Bu… bentar juga bangun…”sahutnya perlahan tanpa sadar.

Tidur paginya ini semakin nyaman ketika dia merasakan ada goncangan kecil di bawah kasurnya.

“Ah… lindhu,”pikirnya tanpa berpanjang-panjang. “Paling cuma bentar.” Lumayan juga, udah lama dia nggak ngerasain gempa. Terakhir kali waktu SD.

Jaler bergelung makin dalam di selimutnya.

Tapi goncangan yang tadi pelan dan nyaman berubah menjadi besar. Tubuh Jaler seakan dilempar-lempar ke atas, bagaikan ada tangan tak terlihat yang menaruh rumahnya di atas tampah dan menampinya macam beras aja.

Kesadaran Jaler seketika penuh. Dia langsung melompat turun dari kasurnya, jatuh terguling di lantai ketika menghindari lemarinya yang jatuh. Kaca lemarinya pecah berserakan. Papan dinding lemarinya ringsek seketika. Baju-bajunya terkoyak pecahan kaca.

Tapi gak ada waktu untuk menangisi lemari pakaiannya. Rak bukunya jatuh menimpa meja belajarnya. Kaca jendela pecah berantakan, pecahannya melukai kulit Jaler. Dinding kamarnya meliuk-liuk seakan terbuat dari karet. Lantai kamarnya seakan terbuat dari air yang berombak. Jaler berusaha berdiri, namun selalu gagal. Gempa ini terlalu hebat, dia hanya bisa ketakutan dan merangkak sambil gemetaran menuju pintu. Bahkan tombol pintu yang dengan susah payah dia raih juga nggak bisa dibuka. Sekeping eternit runtuh menjatuhi kepalanya saat dia berusaha menarik-narik tombol pintu yang seakan macet.

BRAK!!! Tiba-tiba pintu itu menjeblak terbuka. Jaler terjatuh di lantai karena terhantam pintu yang didobrak paksa oleh bapaknya. Dan sebelum dia bangun sendiri, bapaknya udah menariknya bangun dan menyeretnya keluar rumah. Jaler hanya melihat sekelebat pemandangan di dalam rumah saat mereka berhambur keluar. Tapi yang jelas, rumahnya berantakan! Eternit jebol. Bufet jatuh. Barang-barang pecah. Foto-foto dan lukisan-lukisan tergantung miring. Debu yang mengendap bertahun-tahun di sudut yang tak terlihat kini melayang nyata di udara.

Begitu mereka sampai di halaman rumah, gempa hebat itu berhenti. Bapak, Ibu, Jaler, dan Sasta berdiri ketakutan di depan rumah. Para tetangga juga berhamburan keluar. Semuanya menunjukkan wajah panik yang sama. Melihat ini, Sasta mendekap masnya dan mulai menangis.

Dua jam kemudian, Jaler sudah berseragam rapi dan menstrarter vespanya dengan semangat. Kalo tadi dia males masuk sekolah, sekarang dia malah pengin banget segera sampai di sekolah. Pasti temen-temennya punya banyak cerita seru pagi ini.

“Mas Jaler jangan pergi.”rengek Sasta. Adiknya yang baru 8 tahun itu berdiri di sebelah vespa hitam kebanggaan Jaler itu, menarik-narik surjannya yang dia pakai di atas hem sekolahnya.

“Mas cuma ke sekolah kok, Sas.”

“Emangnya sekolahnya Mas buka?”

“Ya… nggak tahu. Mas mau ketemu temen-temen. Mau cerita-cerita.”kata Jaler sambil menekan gas vespanya untuk memanasi mesinnya.

“Ya… besok-besok kan juga bisa, Mas.”Sasta menarik-narik surjan Jaler lagi.

“Aduh, jangan ditarik-tarik dong.”Jaler merenggut surjannya dari tangan adiknya.

“Mas belum mandi, kan?”tuduh Sasta tiba-tiba. Jaler tertegun.

“Kok tahu?”tanyanya.

“Airnya kotor banget kaya lumpur begitu, mana bisa dipake mandi!”sahut Sasta. Sehabis gempa, air keran emang jadi kotor banget kayak lumpur. Gak akan ada yang mau make buat mandi “Ih, jorok deh! Mas mau sekolah kok nggak mandi…”

“Ye.. kalo mandi malah lebih jorok lagi, tau!”sahut Jaler sambil menjitak pelan ubun-ubun Sasta.

Lalu dia merendahkan kepalanya supaya sejajar dengan kepala adiknya dan berbisik dengan suara rendah,“Mas males di rumah. Ntar di suruh beres-beres sama Ibu. Daripada Mas tetep di rumah tapi bikin ribut aja, mending Mas pergi aja ke sekolah. Jangan bilang-bilang Ibu kalo Mas males, lho, Sas!”

Sasta hanya melongo saja mendengarkan masnya.

“Nah, Mas berangkat dulu ya.”Jaler berkata lebih keras lalu mencium jidat adiknya. Lalu tanpa kata-kata lagi dia segera meluncurkan vespanya keluar rumah. Stiker merah-kuning-hijau dengan gambar ganja hitam yang tertempel manis di pantat vespa segera menghilang dari pandangan Sasta, ditelan asap knalpot.

“MAS JALEEEER!!!!!”

Ciiiit….!!!! Vespa itu direm begitu mendadak. Jaler sampai doyong ke depan karena dorongan gaya peristaltik yang terjadi saat dia mengerem. Dengan jengkel dia menengok ke belakang. Sasta berlari terburu-buru ke arahnya. Daster tidurnya melambai-lambai.

“Apaan lagi, sih, Sas?!”Jaler membentaknya.

Sasta terengah-engah, memegangi kedua lututnya dulu untuk mengatur napas sebelum menjawab. “HPnya mas ketinggalan…”sahutnya sambil menyodorkan handphone jadul dengan gantungan boneka voodoo kecil itu.

Jaler menyambarnya,“Thanks. Udah pulang sana!”

“Sasta ikut…”rengek Sasta.

“Iih… ni anak! Mas mau sekolah… ngapain sekolah bawa-bawa adek segala?”Jaler mulai emosi. Pengin rasanya dia ngangkat adeknya dan ngelempar tuyul satu itu jauh-jauh.

“Perasaan gue nggak enak,”jawab Sasta meniru Indra Birowo.

Kemarahan Jaler rasanya sudah sampai di lehernya. Tapi, entah mengapa saat dia melihat wajah polos adiknya, yang keluar dari mulutnya justru, “Huh. Ya udah deh! Naik cepet!”

Dengan ceria, Sasta segera naik ke boncengan vespa dan memeluk erat pinggang masnya.

Perjalanan keluar kampungnya agak mengharukan. Pohon-pohon tumbang. Rumah-rumah banyak yang doyong. Tapi yang ambruk lebih banyak lagi. Pagar-pagar tembok ambruk. Seorang wanita menangis di depan runtuhan rumahnya sambil mendekap sesuatu yang seperti bayi. Gak ada tetangga yang menghiburnya karena yang lain juga sibuk dengan reruntuhannya masing-masing.

“Wow,”pikir Jaler. “Aku nggak ngira bakal separah ini. Untung rumahku nggak kenapa-napa.”

Keluar dari kampung, keadaan lebih parah lagi. Ring Road Selatan yang biasanya ramai jadi lengang. Ada sebuah mobil bak terbuka yang ngebut menyalip vespa rasta Jaler. Dan Jaler yakin yang dia lihat nongol di balik selubung tikar yang menutupi gundukan di bak mobil itu adalah tangan dan kaki manusia asli, dengan darah yang berceceran dan tulang yang bertonjolan dan sebagainya.

Sebelum selesai Jaler molongo, dia harus dikejutkan mobil lain yang nyelonong melintasi jalannya, hampir bertabrakan dengan dia. Sasta memekik ngeri. Jaler sampai harus berhenti di tengah jalan untuk menenangkan dirinya.

“Buset,”pikirnya, “Kok bisa separah ini?”

Dia berusaha lebih tenang dan hati-hati di sisa perjalanannya. Dia sadar lampu-lampu lalu lintas mati, jadi tak ada yang mengatur para pengendara yang kebanyakan panik setelah diguncang gempa itu. Tapi apa yang dia lihat di jalan terlalu menggoncangkan hatinya, seakan ada gempa susulan di dalam tubuhnya.

Menyususuri sebuah jalan tembus yang dia tahu perlahan-lahan, di muka gang di seberangnya seorang pemuda memasang bendera putih. Hati Jaler mencelos. Dan hati itu semakin terasa gamang dan miris, seperti ketika komidi putar yang kita naiki di Sekaten meluncur turun pada porosnya, saat Jaler menyadari di muka semua gang di sepanjang jalan itu, ada bendera putih yang berkibar-kibar.

“Lihat, tuh, Sas…”kata Jaler. Tampaknya Sasta yang membonceng di belakangnya juga ikut terharu. Tak ada jawaban yang terdengar, hanya dia memeluk pinggang masnya dengan lebih erat.

“Mas, Sasta jadi takut.”katanya. “Udah, nggak apa-apa. Semuanya udah selesai kok.”kata Jaler. Padahal dalam hatinya dia teriris. Bagaimana kota Jogja yang selalu aman dan damai bisa hancur kayak ini. Kota yang disebut-sebut selalu luput dari bencana dan adem ayem di tengah krisis yang meliputi Indonesia.

Jaler cuma berharap, gempa kali ini asalnya dari Gunung Merapi saja, jangan dari laut. Jaler takut, jika gempa dahsyat ini asalnya dari laut, bisa-bisa terjadi tsunami kayak di Aceh dulu. Hiiih… dia bergidik memikirkannya. Dia nggak mau mati muda. Tiba-tiba Jaler mengelus-elus tangan adiknya yang memeluk erat pinggangnya. Dia lebih nggak ingin adik kecilnya ini celaka.

Jaler berbelok, masuk Jalan Bantul, apa yang dia saksikan lebih mengerikan. Gedung-gedung ambruk. Orang-orang luka berjajar di jalanan. Darah bececeran. Wanita menangis. Mayat anak-anak dipeluk ayahnya dengan tangannya yang luka.

“Sasta, tutup matamu, Sas.”kata Jaler. Dia berhenti di tengah jalan, lalu membelokkan vespanya. Dia nggak mau meneruskan perjalanan. Dia mau pulang aja. Dia nggak mau menyuguhkan pemandangan seperti ini untuk mata polos Sasta. Sementara itu, Sasta memeluk masnya lebih erat lagi sambil sesenggukan.

Jaler menggeber vespanya masuk jalan kecil tadi. Tapi tiba-tiba di muka gang dia dihadang seseorang. Laki-laki ini basah semua, dari atas sampai bawah. Dia terlihat terengah-engah, setelah berlari begitu jauh sambil berteriak-teriak. Saat terhadang vespa Jaler, dia memegang stangnya, lalu berteriak histeris, “Tsunami!!!!!”

Lalu dia berlari lagi sambil berteriak-teriak, “Tsunami!!!! Tsunami!!!!”

Hati Jaler mencelos. Sasta terisak.

Belum sempat Jaler berpikir jernih, rombongan manusia yang panik langsung menyerbu dari arah selatan.

Sepasukan anak-anak SMA berlarian dengan panik di sepanjang jalan bersama sejumlah besar warga lainnya. Ruas jalan yang seharusnya difungsikan untuk dua arah dihajar habis jadi satu arah, dipadati berbagai macam kendaraan yang mayoritas membawa penumpang yang berlebihan. Bahkan ada motor Mio yang dipake buat boncengan berlima. Semua panik, semua takut, berlarian ke satu arah:ke utara.

Semua kendaraan menyalakan mereka punya lampu dan membunyikan mereka punya klakson. Urgent. Sementara semua mulut menyerukan, “Ngalor. Ngalor!!!’ “Ke utara, ke utara!!!” semua tangan yang melambai mengisyaratkan mereka harus ke utara secepatnya, menghindari serbuan air dari Laut Selatan.

Tanpa pikir panjang, Jaler ikut arus menuju ke utara. Yang ada di pikirannya hanya pergi sejauh mungkin dari pantai dan menyelamatkan dirinya dan Sasta. Tak terasa air matanya berleleran di pipinya.

“Banyune wis tekan Ring Road!!!”seru seseorang

“Bapak dan Ibu gimana, Mas…”rengek Sasta serak.

Jaler tersentak. “Ibu!”serunya kaget. Dia tak bisa lari tanpa Ibu. Dia langsung berusaha mengubah arah. Dia tidak peduli berapa motor yang harus dia tabrak demi bisa mengubah arah dan menggapai Ibunya. Rengekan Sasta dan kepanikan massa di sekitarnya memenuhi kepalanya.

Tiba-tiba dia melihat mobil yang dia kenal menghadang jalannya. Tiba-tiba dia melihat seraut wajah yang dia kenal di belakang kemudi. Wajah Bapak! Di sebelahnya wajah Ibu! Mereka selamat! Jaler dan Sasta selamat!

Jaler makin ngebut. Dia lupa kalau dia naik vespa. Dia kira dia berlari. Berlari sambil menggendong Sasta yang selamat menuju ibunya, dengan bangga.

“MAS JALEEEEEER!!!!!”jerit Sasta.

“IBUUUUUU!!!!!”panggil Jaler.

BRAAAK!!!!!


(cerpen ini saya tulis tahun 2006, setelah gempa jogja waktu itu)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar