Kamis, 28 Juli 2011

Katolik yang Jawa

Saya adalah orang Jawa dan saya adalah seorang Katolik juga. Saya senang beragama Katolik, dan saya juga senang bersuku Jawa. Saya sering membaca literatur yang berhubungan dengan agama (bukan berarti saya pembaca kitab suci atau majalah gereja loh), tapi buku-buku yang tokohnya relijius atau sedang mencari kebenaran hidup melalui sudut pandang agama. Ambil contoh saja Life of Pi, Angels and Demons, Einstein’s Dream, dll. Saya juga lagi getol-getolnya baca literatur Indonesia seperti Pramoedya (saya baru baca Arok Dedes dan segera terpesona) dan seri Bilangan Fu milik Ayu Utami, dan sedang ingin baca karya penulis Indonesia yang lain juga. Kedua jenis literatur ini yang mengantarkan benak saya pada sejarah atribut yang melekat dalam diri: Jawa dan Katolik. Saya Jawa, bernenek-moyangkan kawula Keraton. Saya Katolik, dididik dengan warisan budaya Eropa yang dibalut berbagai peristiwa post-kolonial.

Namun demikian, terdamparlah saya di Indonesia ini, bahkan di dunia ini, sebagai seorang minoritas. Minoritas karena saya Katolik di tengah-tengah komunitas Islam Jawa, dan minoritas karena saya Jawa dari negeri antah berantah di semesta yang sementara ini didominasi Barat. Ke manapun saya pergi, saya akan menjadi alien. Saya pernah berpikir, di manakah di dunia ini orang-orang seperti saya akan jadi mayoritas? Saya bisa pergi ke daerah Katolik, tapi orang-orang dan budayanya pasti bukan Jawa. Saya bisa pergi ke Barat; Eropa atau Amerika atau Australia, tapi bahkan mereka tidak lagi percaya Yesus. Saya bisa pergi ke gereja di Jawa, tapi mereka semua makan anjing. Hueh…

Jawa di Jawa tidak lagi Jawa yang tergambar dalam roman-roman favorit saya. Mereka telah terkepung Islam, dan mereka menggunakan Islam untuk melegitimasi budayanya sendiri. Coba baca ini, secarik serat Betaljemur yang saya baca untuk referensi tugas Public Speaking saya, di bagian hari tidak baik:

Ora keno kanggo mantu lan sapadhane:

Sasi Sura tanggal 13 sababe Nabi Ibrahim kaobong Raja Namrud

Sasi Mulud tanggal 3 sababe Nabi Adam katurunanke ing ndonya

Lsp lsp…

(Tidak diperkenankan mengadakan acara nikahan dan yang setara dengannya:

Bulan Sura tanggal 13, karena Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud

Bulan Maulud tanggal 13 karena Nabi Adam diturunkan ke dunia

Dst dst…)

Nah lihatkan? Apa hubungannya kejawen dengan Nabi-nabi? Nabi-nabi ini tokoh-tokoh agung di Timur Tengah sana, tidak ada perkaranya dengan Mpu-mpu kita yang menulis kebijaksanaan Jawa dengan lontar.

Tetapi memang, orang Jawa sejak zaman Ken Arok dulu selalu menggunakan agama untuk membenarkan posisi dalam politik. Jadi politik dan agama dicampuradukkan.

Menurut Pramoedya, Mpu Gandring adalah Sudra yang tidak punya ketetapan agama. Apa agama akuwu, itulah agamanya. Jika akuwu Syiwa, Syiwalah dia. Jika Akuwu Wisnu, Wisnulah dia. Jika Akuwu Buddha, Buddha lah dia. Pada masa itu Wisynu lah Kediri, maka Wisynu lah Mpu Gandring. Sebabnya, jika kawulanya tidak mengikuti agama Kediri, niscaya keluarga itu tidak selamat.

Ketika Ken Arok yang Syiwa menapaki puncak karier sebagai Sri Baginda Kediri dan mengubah wajah Kerajaan itu menjadi Singasari, menurut Mangunwijaya, Yang Tersuci Mpu Tanakung, yang tadinya Wisynu sesuai Sri Baginda terdahulu, Kertajaya, langsung pindah agama jadi Syiwa. Ia menulis Lubdhaka, cerita yang bermaksud melegitimasi kedudukan Arok sebagai Sudra yang berhasil menjadi satria. Cerita itu sungguh adalah upaya ia menjilat Ken Arok supaya dia tetap dikukuhkan kedudukannya sebagai Yang Tersuci, Brahmana utama, penghulu negeri Kediri yang telah berubah menjadi Singasari. Agama penting dalam politik, sebab agama adalah kebudayaan itu sendiri.

Warisan itu tetap lestari kini: agama penting dalam politik, dan laku agama dianggap laku kebudayaan. Sayangnya, kebudayaan kita jadi harus mengemis bayangan agama supaya tetap dibenarkan. Kebudayaan harus pandai-pandai mencari celah dalam butir-butir pasal agama supaya jangan dianggap berhala. Contohnya ya seperti aturan hari sial menurut Betaljemur di atas tadi.

Ketika Jawa sudah menjadi Islam, Jawa yang Katolik (dan yang Protestan, dan yang Buddha, dan yang Hindu, apa lagi yang Kejawen murni) pun bingung. Ketika Gunung Merapi meletus dan kami harus makan sayur lodeh bersama-sama, kami bingung harus doa apa, karena aturannya ada doa-doa Islam tersendiri yang mengiringi masuknya tolak bala dari dalam sayur ke dalam raga kami. Doa Rosario? Oke deh… tapi kok kayaknya agak maksa ya?

Sebagai Jawa pada umumnya, kami pun mulai kehilangan makna simbolis berbagai uba rampe Jawa yang kami laksanakan. Kami tidak mengerti apa arti sayur lodeh yang kami makan. Kami tidak mengerti arti tiap-tiap hidangan kenduri yang kami terima ketika ada sripah. Kami minum dawet sesaji arwah nenek kami tanpa segan. Tanpa dihayati kami membuang segenggam beras dan potongan-potongan kunyit ke toilet setiap habis mimpi berak. Semua ini terasa kosong, karena ada pagar agama yang menghalangi artinya untuk muncul ke permukaan. Akibatnya semua ini pun disebut takhayul, karena seakan tidak ada hubungan fisika atau rohani terhadap peristiwa yang kami hadapi. Kami pun dianggap syirik dan tidak kenal agama jika melakukan ritual-ritual itu. Padahal bagian jiwa saya yang Jawa dan purba berteriak-teriak membenarkan setiap ini walaupun tidak mengerti.

Saya, dan mungkin beberapa kawan di luar sana, yang Jawa dan tidak Islam (atau kadang dicap singkat sebagi “non” atau “non-is”) merindukan Jawa yang tidak Islam. Jawa yang Jawa. Jawa yang romantis dan klasik, yang menghormati setiap makhluk dan tidak sombong sebagai manusia. Manusia kadang sombong karena anggapannya sebagai makhluk paling sempurna. Dengan itu mereka menindas binatang, pepohonan, dan makhluk halus sebagai makhluk yang cacat. Jawa yang memiliki banyak Dewa, yang melihat Tuhan dalam setiap sudut dunia, dan tidak hanya di dalam hati dan di atas langit saja, adalah Jawa yang saya rindukan.

Tapi sayangnya Jawa yang seperti itu adalah Jawa yang tidak ada, atau bahkan Jawa yang belum pernah ada. Karena seperti keterangan di atas, ternyata budaya Jawa dari jaman Ken Arok dulu, sudah menjadi alas kaki agama. Hanya saja, bagi orang-orang seperti saya, budaya Jawa bukanlah alas kaki agama saya.

Agama saya adalah agama Eropa yang datang bersama Belanda. Karenanya dianggap sebagai agamanya musuh. Sebaliknya, Islam adalah agama para pahlawan kemerdekaan dan rakyat. Sedangkan saya sendiri Katolik karena ayah-ibu saya Katolik. Ayah saya anak dari pasangan Katolik, sedangkan ibu saya anak istri muda tuan tanah Islam. Kedua orangtuanya Islam, tapi ibu saya diasuh si istri tua yang Protestan. Ibu saya dimasukkan ke sekolah terbaik, yang adalah sekolah Katolik. Maka Katoliklah dia. Di dalam kampung saya, kami yang Katolik memiliki ikatan kekeluargaan tersendiri. Mungkin karena kami minoritas. Jawa yang Katolik. Tapi sayangnya, saya malas merayakan Natal dan Paskah bersama-sama para saudara seiman itu, karena pasti ada hidangan anjing. Saya senang anjing, tapi bukan untuk dimakan. Saya memelihara anjing, maka buat saya makan anjing itu morally wrong. Kenapa kami makan anjing? Bahkan, kenapa anjing dan babi dianggap sebagai hidangan istimewa khas orang Kristiani? Tak lain karena kami minoritas yang hidup di antara orang Islam yang mengharamkan babi dan anjing. Maka kami makan babi dan anjing. Mumpung nggak haram, gitu mungkin.

Karena Jawa dan Katolik yang saya rindukan tidak bisa didapatkan di dalam masyarakat dan kelompok-kelompok orang, maka saya menjadi Jawa dan Katolik sendirian. Jawa dan Katolik yang Gisa. Demikianlah, saya datang ke misa sendiri di gereja paroki saya yang tidak populer, yang bukan tempat untuk mencari jodoh seiman, yang sebagaian besar umatnya adalah orang-orang tua. Saya berdoa sendiri di kamar. Bertato salib. Menggunakan Rosario kemana-mana –sebagai fashion statement aja sih, bukan berarti saya doa Rosario terus. Saya datang ke Sekaten, saya pergi ke gunung dan ke pantai menikmati keagungannya. Yang termudah bagi saya untuk mendekati agama dan budaya saya adalah dengan cara seorang akademisi, karena saya ini pelajar. Saya baca buku dan roman mengenai sejarah dan agama, saya bikin paper tentang nilai agama di dalam novel Life of Pi, saya mengangkat tema kepercayaan Jawa dalam informative speech saya. Berdiskusi juga menyenangkan, karena tema-tema itu sangat menarik bagi kami anak muda abad 21 yang kering dan pongah ini, yang terbirit-birit melihat hantu, terkencing-kencing lihat keris terbang, dan tidak lagi bisa menulis hanacaraka.

Demikianlah, menjadi Jawa dan Katolik itu membuat hidup saya berbeda warna dengan banyak teman lain. Banyak harapan-harapan egois yang adalah benih-benih diskriminasi dalam hati saya. Tapi saya yakin, teman-teman juga pasti begitu juga. Anggapan bahwa kelompok sendiri adalah superior terhadap kelompok yang lain itu sudah built in di dalam diri kita. Padahal agama dan budaya adalah atribut. Hanyalah atribut. Seperti kata Ken Arok dalam pidato pengangkatannya sebagai Akuwu Tumapel dalam Arok Dedes, baik buruknya seseorang tidak ditentukan dengan bagaimana ia menyembah dewanya, tetapi dharmanya kepada sesama. Jadi bolehlah kamu beragama, bolehlah kamu berbudaya, tapi jangan lupa jadi orang baik.

Gisela Swaragita, Yogyakarta, 9 April 2011

6 komentar:

  1. wuahhhh! suka! aku gamau makan anjing dan untungnya keluarga jawaku ga pernah menghidangkan anjing, bahkan babi di hari natal karena banyak sodara muslim juga. aku juga katolik, seneng jadi katolik, tapi percaya kalo nikah beda agama ikut suami aja soalnya demi keluarga kelak, bukan berarti lebih cinta suami daripada Tuhan, soalnya Tuhan mau kita mencintai pasangan kita sepenuh hati terus Tuhan itu satu, agama bukan Tuhan, kalo nantinya keluarga hancur bukan karena dia pindah agama, tapi lebih karena bajingankah pasangannya hahahahah

    BalasHapus
  2. Jawa skrng tak seperti jawa yg dulu2....mereka kuat islam nya....kuat iman nya....handal2 dlm ilmu tauhid ilmu usuludin...ilmu hakikat makrifat....sedangkan yg jawa skrng....habis kelaut semuanya....tak ada jiwa....klu murtad itu namanya bukan kuat iman tauhidnya..itu namanya goblok....lemah kosong nol imannya....ilmunya....lagi2 yg masuk keristian...itu mmg sudah tak punya roh.....mati konyol tu semuanya....tak diterima tuhan amal kebaikannya.....orang seperti ini ...hidup suka mabuk2 arak ..bir....parti2....enjoi2...gembira2.. makan babi anjing kucing....hidup dgn penuh dosa...tetapi tetap ngaku beriman...tetap ngaku beragama...yg hakikatnya....nol

    BalasHapus
  3. Ini bukan masalah agama siapa superior.....ini masalah akidah siapa yg benar....enggak ada bnyk agama...agama hanya satu...itu yg logis....agamanya satu tuhannya satu jugak....enggak ada dua2...atau tiga..atau tiga dlm satu ..satu dlm tiga....fahaman yg keliru menyesat....tuhan hanya satu....kalu ada setiap seorang itu punya tuhan sendiri2....apakah itu logis....tentu tidak bukan....orang a sampai orang z ada tuhannya sendiri....adakah itu logis....tentu tidak bukan....kalu a sampai z bertuhankan satu itu logis.....jadi makna nya agama itu satu jugak tuhan itu satu....persoalannya ialah siapakah tuhan yg satu itu....pasti....yg mahabesar mahaperkasa dia....enggak bisa kita melihat dan tatang dia dgn mata kasar kita....sebab hebat nya dia tuhan itu....kalu kita kata dia mahabesar sudah tentu kita dan alam ini ..kecil bagi dia....alam ini hanya sekelumit kuman aje pada dia....malah lebih kecil dari kuman...itu lah Allah swt

    BalasHapus
  4. Orang di atas saya ini komennya picik ya. Penulis saja sudah mengakui kendati pun "banyak harapan egois dan benih diskriminasi dalam hati"-nya, agama dan budaya itu sekedar atribut. Intinya yang penting berbuat baik terhadap bersama.

    BalasHapus
  5. jawa dapat dikatakan ada setelah pembubaran majapahit alias masuknya islam, jadi sebelum islam masuk tidak bisa disebut jawa. orang osing di banyuwangi yg keturunan majapahit scr langsung saja tidak mau disebut jawa dan selalu bilang 'sing'/ tidak bila dikatakan jawa. bahkan orang bali selau mengidentikan islam dengan jawa.

    bahasa yang digunakan majapahit adalah bahasa jawa kuno, dan setelah masuknya islam bahasa jawa modern baru dibentuk oleh sultan agung, begitupun budaya jawa yg lain spt wayang. wayang jawa dimodifikasi menjadi karikatur spt sekarang akibat desakan ulama karena larangan membuat sesuatu menyerupai manusia. banyak hal2 praktis dijadikan simbol2 oleh kebudayaan sinkretis jawa-islam dan itu dilestarikan sampai sekarang.

    ya memang tidak bisa dipungkiri kalau kristen memang datang belakangan, maka mau tidak mau harus mengikuti budaya jawa yg sudah diislamkan. karena islam pun juga begitu, islam jawa juga mengikuti (kadang memodifikasi) budaya yg ada dari jaman hindu-budha

    beberapa teman saya yg katolik juga di khitan dan dalam keluarganya juga dilarang makan babi, anjing dan minum alkohol. jawa katolik mau tidak mau mengikuti cara hidup jawa islam

    BalasHapus
  6. Suatu saat katolik mayoritas di jawa tengah & jogja dan tinggal tunggu waktu saja...

    BalasHapus