
Nenekku terdiri dari masa-masa lalu yang sulit, yang mengukir keriput di pipinya, rapuh tulang-tulangnya, kendurnya kulit, dan kelabunya mata. Kabut yang menyelaputi batas pikir yang melambatkan lahirnya jawaban dari setiap pertanyaan, dan jari-jari tua yang memainkan obat sebelum menelannya.
Nenekku, Marchama, adalah Mbah Bumen bagi cucu-cucunya, cucu-cucu kandungnya yang terasa begitu asing bagi dunianya yang sempit dan cepat. Hari-harinya mulai dari subuh hingga pukul 7 malam, berisi kegiatan menyapu daun kering dan merenung di dapur tua yang dingin. Tuhan memberikan nasi dan tempe goreng setiap hari sebagai rejeki, yang dimakan sedikit-sedikit sebelum merasa kenyang.
Nenekku, 10 tahun yang lalu masih kuat memanjat pohon jambu air untuk menyenangkan cucu-cucu kotanya yang tidak pernah lihat pohon yang bisa dipanjat. Nenekku, 15 tahun yang lalu masih berani naik travel jauh-jauh dari Kebumen sendirian ke Jogja, demi mengantarkan berbutir-butir durian besar dari kebun sendiri untuk cucu-cucu kotanya yang tidak punya halaman di rumahnya. Nenekku puluhan tahun yang lalu melahirkan ibuku dan kakaknya, hanya untuk menyerahkan mereka pada istri tua suaminya... Nenekku puluhan tahun yang lalu adalah gadis perawat yang cantik yang mencuri hati lelaki flamboyan berpenyakit jantung di Bethesda...
Nenekku sekarang tua, duduk bangku di depan dapur, melihat pohon jambu yang berhenti berbuah. Cemas merenungkan pohon durian yang telah mandul, satu-satunya daya tarik yang memastikan cucu-cucu kotanya datang untuk makan durian setahun sekali. Nenekku mengunci ruang depan yang luas karena tidak ada manusia yang berkeliaran di dalamnya lagi, tidak ada manusia yang membersihkannya untuk nenekku. Nenekku tidak membutuhkan ruang depan yang luas untuk dirinya sendiri.
Nenekku menghangatkan diri dengan bedak panas, dua lapis jarik, dan sepotong kebaya panjang lagi. Membungkus rambutnya yang putih dengan kerudung untuk menunjukkan derajatnya sebagai perempuan yang baik.
Nenekku tidur sendiri ketika mengantuk, di kamar sempit berdinding triplek. Mimpinya siapa yang tahu, mungkin tentang masa kecilnya yang berlari-lari di tepi pantai. Masa remajanya yang penuh harapan di Yogyakarta. Kerinduannya akan anak-anaknya yang tidak ia tunggui besarnya.
Nenekku menangis ketika kami tidak bisa menginap. Dia takut dikira simbah sing atine elek. Aku hampir menangis ketika dia bilang dia tidak mau dikira simbah sing jail atine. Aku sungguh sedih ketika dia mencengkeram lengan kami, mengatakan ingin melihat kami lagi secepatnya.
Sepanjang jalan yang mengerikan itu aku termangu karena takut, apakah aku sudah mengucapkan selamat tinggal dengan sempurna? Apakah dia melihat senyum di wajahku dan mempercayai janjiku bahwa kami akan segera ke sana lagi? Apakah simbahku akan baik-baik saja setelah kami mengecewakannya?
Simbahku sekarang mungkin sudah tidur. Aku hanya menyesal bahwa bertahun-tahun hidupku aku takpernah mengerti arti kehadirannya yang jauh bagi kami. Kami hanya tahu duriannya. Jambunya. Empingnya. Kenapa aku tak pernah tahu bahwa dia benar-benar seorang nenekku yang seharusnya menjadi tempat bermanja. Kenapa aku merindukannya setelah aku takpantas lagi bermanja dengannya.
kangeeeeeeeeeeeeeeeeeeen
BalasHapus