Rabu, 14 Agustus 2013

GIG REVIEW:YOU AND ME LAWAN KORUPSI – TAMAN BERINGIN SOEKARNO, 16 MEI 2013

Kamis (16/5) adalah tengah minggu yang sibuk di kompleks paska-sarjana Universitas Sanata Dharma (USD). Hari itu serangkaian acara hasil kerjasama Indonesian Corruption Watch dan sekolah paska-sarjana Kajian Ilmu Religi dan Budaya USD sedang dilangsungkan. Acara-acara yang dimaksudkan untuk mendorong dan menggandeng anak-anak muda untuk terlibat aktif dalam pemberantasan korupsi ini terdiri dari pemutaran film, kuliah serta diskusi tentang isu-isu korupsi di Indonesia, dan diakhiri dengan konser musik di bawah pohon Beringin Soekarno yang ikonik. Acara-acara ini terselenggara dalam rangka Kampanye Hari Anti Korupsi selama 2011-2012 dan berlangsung di beberapa tempat di Indonesia, antara lain Jakarta, Bali, Pontianak, dan akhirnya Jogja.
Risky Summerbee, sebagai yang ditunjuk untuk mewujudkan rangkaian acara ini di Jogja, menyatakan bahwa ia memutuskan untuk menggandeng kampus IRB USD karena dipandang sebagai institusi pendidikan yang mumpuni dan “less dirty”, maka pantaslah jika diajak ramai-ramai mengusung tema anti korupsi. Bersama Romo Benny Hari Juliawan, seorang personel pengajar di IRB, Risky Summerbee dan timnya berhasil merangkaikan acara tersebut di bawah bendera besar “Berani Jujur, Hebat”. Tentang tema ini Risky menjelaskan, “Ini adalah tema Kampanye Hari Anti Korupsi kita selama dua tahun ini. Ide besarnya adalah menyadarkan kita bahwa berani jujur itu hebat. Jadi bukan hanya dengan tidak korupsi.”
“Selain itu IRB punya taman Beringin Soekarno ini.”lanjutnya mengimbuhi nilai plus dari sekolah paska-sarjana tersebut. Venue tersebut memang sangat unik, terdiri dari sebuah taman di tengah kompleks ruang kelas peninggalan zaman kolonial. Taman ini sangat teduh karena selain dikelilingi pohon-pohon, sebatang pohon beringin tua yang sangat besar dan rindang tumbuh di tengahnya. Pohon beringin raksasa yang ditanam oleh Bung Karno limapuluh tahun lalu itu terlihat ikonik terutama karena bentuknya yang berkeriapan dengan sulur-sulur dan akar-akar gantung yang saling melilit. Sayangnya venue yang menarik ini hampir asing bagi gig-goers Jogja karena biasanya tempat ini dikhususkan hanya untuk menghelat acara-acara internal kampus.
Tetap saja, sekitar pukul setengah delapan masa mulai memadati area depan beringin. Membayar tiket masuk sebesar Rp 20,000,- , audiens disuguhi musik dari Morfem, Risky Summerbee and the Honey Thief, Simponii, Iksan Skuter, Festivalist, dan Aurette and The Polska Seeking Carnival. Konser bertajuk “You and Me Lawan Korupsi” ini adalah perpanjangan tangan dari album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus, album berisi lagu-lagu yang mengkampanyekan isu anti korupsi. Empat band yang disebutkan di depan adalah band-band yang tergabung dalam kompilasi tersebut, sementara Festivalist dan Aurette digandeng Risky Summerbee untuk ikut memeriahkan acara sebagai band tuan rumah.
Pukul delapan, Aurette membuka acara dengan suasana karnavalnya yang khas. Mereka membawakan beberapa lagu jagoan mereka seperti “I Love You More than Pizza” bersama beberapa lagu kover seperti “Postcard from Italy” milik Beirut dan “Siboh Kitak Nangis”-nya Zee Avi. Aurette mengakhiri sesi mereka dengan “Wonderland”. “Semoga Indonesia bisa menjadi Wonderland yang tanpa korupsi,”imbuh sang vokalis optimis.
Diiringi tepuk tangan meriah penggemarnya, Aurette memberikan panggung pada Simponii, sebuah band pop rock asal Jakarta yang lagu-lagunya sarat agenda propaganda tentang anti korupsi dan anti kekerasan terhadap perempuan. “Duabelas korban pemerkosaan sehari itu jumlah yang terlalu banyak. Saya punya saudara perempuan. Kamu punya saudara perempuan. Kita semua punya saudara perempuan. Kita wajib melindungi saudara-saudara perempuan kita dari kekerasan. Sudah saatnya kita mengajari para laki-laki untuk menghormati perempuan.”ujar sang vokalis.
Setelah itu giliran Iksan Skuter, pendekar bergitar asal Solo, yang menyanyikan nyanyian protesnya. Tiga lagu ia bawakan sambil berdialog asik dengan para penontonnya. Lagu yang paling memorable mungkin adalah “Partai Anjing” dengan lirik kuat yang menyindir habis para petinggi politik negeri ini. Setelah puas meneriakkan protes bersama Iksan, audiens dihajar musik garage Festivalist. Uniknya, penampilan Festivalis kali ini dibuka oleh seorang penyanyi jalanan yang mereka ajak berkolaborasi. “Barusan tadi kami culik dari jalan,”jelas Farid. Dalam pentasnya kali itu, Farid membuka suaranya dengan sepenggal syair tentang susah payahnya seseorang membangun pencitraan dan meraih ketenaran yang semu.
Setelahnya Festivalist memberikan panggung pada Risky Summerbee and the Honey Thief yang membawakan repertoire jagoan mereka, termasuk “Flight to Amsterdam” yang mereka persembahkan bagi kenangan akan Munir. RSTH juga mempersembahkan penampilan mereka pada kenangan akan Moses Gatotkaca, seorang mahasiswa yang gugur dalam kisruhnya kerusuhan menuju gerbang reformasi lima belas tahun yang lalu. Kebetulan nama Moses Gatotkaca diabadikan sebagai nama jalan di depan kampus Sanata Dharma.
Penonton yang tadinya duduk santai di pelataran taman akhirnya bangkit berdiri demi Morfem, dengan ikonnya Jimmy Multhazam yang melepaskan atribut disko warna-warninya. Jika band-band sebelumnya menitikberatkan kampanye antikorupsi dengan attitude yang serius, tajam, bahkan hitam, Morfem mengajak penontonnya untuk menyikapi korupsi dengan cara yang bengal tapi asik. “Kalau mereka bisa dapet cewe pakai duit, kita pikat cewe-cewe pakai pesona.”ujar Jimmy percaya diri. “Kalau band lain bisa dapet penggemar pakai skill, kita pakai pesona!”ujarnya lagi. Sesi Morfem sangat pecah, dibuktikan dengan merdunya para penonton sing along sambil stage diving di area yang dinaungi dahan-dahan pohon beringin itu. “Tapi Crowd Jogja memang Istimewa #RenunganMorfem” kicau @morfem_band tentang gig tersebut selepas acara.
Konser kecil besutan ICW dan IRB di tengah minggu itu memberi warna tersendiri dalam sibuknya Mei bagi para pemburu pertunjukan musik Jogja. Konser tersebut memperkenalkan Beringin Soekarno sebagai venue yang mumpuni dalam membangun atmosfer, sekaligus menyuguhkan agenda propaganda etika politik dalam bungkus musik pada anak-anak muda kota ini.
Text by: Gisela Swaragita 
Photos by: Komang Adhyatma | Yefta Gilbert
 Diterbitkan oleh KANALTIGAPULUH, 20 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar