Senin, 15 April 2013

My Dear Are Enemy

Di awal tahun 2008 dulu, ketika saya baru saja tau yang namanya ben-ben-an, masih lugu, dan masih maba di sastra Inggris, saya dapet sebuah stiker band berjudul My Dear Are Enemy. Kalau tidak salah saya bertemu mereka di depan Vox, sebuah ruang cutting-edge yang menjual merch dan rilisan band-band indie.

Yang jadi pikiran saya dari dulu sampai sekarang tentang band ini bukan tentang musik post-punk ekspresif-depresif yang mereka mainkan, bukan lagu-lagu berjudul 'Provocation' dan 'Son of a Gun', atau koor meriah "Kami! Adalah! Pelacur!" yang dikumandangkan penonton mereka setiap mereka memainkan "Pelacur", tapi nama band mereka yang grammatically incorrect.

Waktu mendapatkan stiker itu, saya sempat gojak-gajek sama pacar saya waktu itu, mau ngasih tau enggak kalo grammar nama mereka salah. Tapi akhirnya karena kurang kenal, malu, dan takut dikira sok tau, kami diam saja.

Nama 'My Dear Are Enemy' menjadi besar dan dikenal di Jogja. Lama-lama mereka lebih dikenal dengan nama M.D.A.E. Saya tidak bermain akrab dengan mereka jadi nama itu sliwar-sliwer saja buat saya selama saya bermain-main di ben-ben-an. Tetap saja yang membuat mereka memorable buat saya adalah nama mereka.

Saya bersyukur waktu itu nggak sok teu dan sok ngasih tau kalau nama mereka itu grammarnya salah. Siapa tau mereka memang tau dan memang pengennya begitu. Siapa tau mereka bisa bahasa Inggris lebih pinter dari saya (yang cuma bisa bahasa Enggres). Siapa tau mereka memang me'miring'kan penggunaan kata-kata bahasa Inggris itu. Karena hanya mereka yang benar-benar menguasai bahasa yang bisa membelokkan dan membengkokkan kata-katanya. Siapa tau mereka tidak seperti saya yang grammar-nazi. Siapa tau mereka menghargai karya lebih daripada bahasa dan kata-kata?

Menonton gig launching album mereka Jumat lalu sangat menyenangkan. Kelima band yang bermain menyuarakan ekspresi depresif kehidupan, yang membuat saya heran karena melemparkan diri saya pada negativitasnya, menonton anak-anak cowok itu saling menaiki satu sama lain dalam mosh-pit, malah mambuat saya terbuai dan gembira. Dan tetap saja saya belum berani tanya sama mereka perihal nama mereka yang miring. Lagipula menurut saya, sekarang, My Dear Are Enemy adalah gabungan kata-kata yang enak diucapkan.

Kami! Adalah! Pelacur!
review saya tentang gigs launching M.D.A.E bisa dibaca di sini.

ketika Akbar dan Hilman ngeband, mereka memainkan gitar menggunakan pipa besi
I'm Gonna Wild! teriak Untitled Joy
πέντε
Agung. Dia salah satu perkusionis dengan suara vokal yang keren. Menjadi puitis dan pop di Jalan Pulang.
Hengga
Bili Borgali
Rizki Baruna
ketika Wednes menjelma Rabu
dan Rabu adalah yang dia yang mampu mendepresifkan seluruh hadirin secara intim
rangga! the most epic gig-goer. dengan kaos-kaos band 90-an nya (aku pernah ketemu rangga pake kaos Hanson dan Backstreet Boys), celana pendek, dan sendal jepitnya. rangga adalah satu dari sedikit mereka yang berani moshing bahkan ketika mosh pit itu tidak ada

hilman! selalu menyenangkan ketika dia ikut bernyanyi saat kita manggung
apa yang kita cari dari mosh-pit? apa yang membuatmu berteriak bersama? kesenangan kolektif dalam keringat dan sebaris kata-kata?

hilman, akbar, yogi, dan ekspresi urat leher
"...you feel true and beautiful passion. And you, for at least that moment, lose your fear of death..." - Hemingway, as rendered by Woody Allen

nico okada. endi babi bajangnyaaaa???

bersama bili, rizki, pengok, dan wipti. ada rendenk juga yang motret

maaak beliin aku kaos to die maaak... biar aku kece maaak




Foto-foto oleh Randy Surya Mukti

Minggu, 14 April 2013

Musim Panas di Kota Wina











Summer in Vienna, band pop manis yang baru saja merangkul saya sebagai basis, segera mengisi hari-hari saya dengan nada-nada pop dan teman-teman baru. Matias dan Dimas, teman kuliah saya masa belajar Sastra Inggris di Sanata Dharma, bersama dengan Latan dan Wipti, telah menyelesaikan lima lagu lucu sebelum saya bergabung. Di bawah ini adalah video live kami di Pekan Belanja sabtu lalu (13/4) berjudul 'Falling Leaves'.


Foto dan Video oleh Randy Surya Mukti

Senin, 08 April 2013

"My Heart Leaps Up When I Behold the Stars in the Sky!"


Semangat William Wordsworth memenuhi diri saya ketika kami sampai di tepi pantai malam itu, suatu malam Sabtu di bulan April. Kami berenam telah menempuh perjalanan yang hujan dan panas selama tiga jam, diakhiri menyusuri jalan setapak gelap yang diapit jurang sambil diawasi kawanan kunang-kunang.
Saya, Komang, Kicrit, Rendenk, Kewi, dan Nadia terhuyung-huyung menyusuri tepi air sambil mengangkut tenda, perbekalan, ransel, dan tripod. Saya sangat bersemangat karena akan kemping menginap di pantai yang sangat sepi, sesuatu yang sangat baru buat saya.
Kami mendirikan tenda di dekat sebuah pohon besar yang menaungi suatu mata air tawar di pantai itu. Pohon itu sangat besar dan penuh cahaya kuning kehijauan kunang-kunang yang magis. Di atas kami langit cerah berbintang, tapi di tengah laut sana kilat menyambar-nyambar. Pantainya landai dan berpasir putih halus, diapit bukit karang tinggi.
Ketika teman-teman saya membongkar muatan dan mendirikan tenda saya malah pergi ke tepi air dan memandang jauh ke samudera Hindia yang bergulung-gulung.
Dulu waktu ke pantai dengan teman-teman yang lain, teman saya pernah bilang, sambil duduk di pasir dan dibelai-belai gelombang, "Ini namanya aesthetic experience."
Mungkin saya juga mengalami aesthetic experience malam itu ketika melihat besarnya samudera di bawah luasnya langit. Saya jadi merasa kecil.
Setelah duduk mengelilingi kompor gas mini, makan mie dan minum kopi, kami tidur-tiduran di pasir, di bawah bintang-bintang, sambil mendengarkan ombak.
Dengan posisi tidur telentang Kicrit mulai menerangkan tentang posisi-posisi bintang yang selalu tetap, yang mana rasi bintang Gubuk Penceng, yang mana galaksi Andromeda. Lalu saya mulai bercerita tentang "My Heart Leaps Up"-nya Wordsworth di jaman Romantis yang mengajak kita kembali pada nikmatnya perasaan dibuai alam. Kita juga diajak untuk gumunan, tetap heran, tetap terkejut, supaya bisa terus menikmati hidup.
Malam itu kami mengobrol dan tertawa, berbaring beralaskan pasir yang hangat di bawah kami, dengan bintang-bintang yang seakan berserakan di atas kami, kunang-kunang beterbangan di sekitar kami, dan ombak yang mendebur karang di dekat kami. Mungkin aesthetic experience adalah itu, dipeluk bumi sambil dikelilingi oleh teman-teman terbaik.









Foto oleh Randy Surya Mukti
"My Heart Leaps Up" adalah puisi Wordsworth yang ditulis tahun 1800an. Kata-kata aslinya adalah "My heart leaps up when I behold the rainbow in the sky," mengajak kita untuk terus terheran-heran akan hal-hal alami yang terjadi di sekitar kita, yang kerap kali kita anggap biasa saja.